Badai Malam Hari

101 22 2
                                    

Protes adalah hal pertama yang ingin kulakukan saat ini tetapi ketika aku mendengar ada suara menggeram di dekat kepalaku, aku mengurungkan niat itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Protes adalah hal pertama yang ingin kulakukan saat ini tetapi ketika aku mendengar ada suara menggeram di dekat kepalaku, aku mengurungkan niat itu.

Ya sudahlah, mau bagaimana lagi? Aku sendiri yang menjatuhkan diri ke dalam masalah ini dan aku sendiri yang harus bertanggung jawab.

Malam nampaknya akan datang sebentar lagi. Langit di luar sudah berubah menjadi jingga dan angin malam sudah mulai keluar dari sarangnya--dan tadi, ia juga sempat berkata bahwa kertas ramalan cuaca yang biasa ditempelkan di dekat balai kota mengatakan bahwa malam ini akan ada badai hebat.

Aku memutuskan untuk melihat-lihat bagian kamar mandi. Aku sudah banyak berkeringat dan jika ada tiga hal yang saat ini sangat aku butuhkan selain makanan, maka itu adalah air bersih, sabun, dan sikat gigi.

Aku langsung menyesali perbuatanku satu detik setelah aku melongokkan kepala ke dalam ruangan itu. Aku bersumpah bahwa kamar mandi yang ada di gubuk ini adalah salah satu kamar mandi paling terkutuk di seluruh dunia.

Aku tidak akan pernah bisa lagi membayangkan hari-hariku tanpa bayang-bayang gumpalan hitam yang mengendap di dalam bak mandi. Baunya bahkan lebih parah daripada keju fermentasi yang pernah Nyonya penjaga beli dari pengembara kota lain.

Bagian dapur tidak jauh berbeda, tapi setidaknya masih lebih baik daripada kamar mandi. Ada jamur di dua sudut ruangan, sarang laba-laba yang sudah membentuk satu daerah jajahan di langit-langit, dan, hei, ada seekor kucing yang baru saja mengencingi bagian bawah lemari penyimpanan makanan--hewan itu langsung pergi tanpa merasa bersalah. Setelah diselidiki, ternyata dia adalah kucing tetangga yang selalu dilepas menjelang malam.

Ini benar-benar buruk. "Aku tidak bisa tinggal di sini," ucapku pada akhirnya. Bukannya iba, suara itu malah makin menjadi dalam memarahiku.

"Baiklah, kau bisa tinggal di luar jika kau mau," balasnya sambil menyindir. Tidak ada nada penyesalan di kata-katanya barusan.

Yah, mau tidak mau sepertinya aku memang harus bertahan hidup dengan tinggal di gubuk menjijikan ini. Setelah pulang dari tempat ini, aku berjanji akan langsung memeluk Nyonya penjaga, Hisk, anak-anak panti, dan setiap orang yang ada di kota--termasuk di antaranya Tuan Ruthford dan Nona Lindsay.

Aku memutuskan untuk kembali ke kamar. Benar-benar lengang. Kasur saja tidak ada. Aku terduduk di lantai kayu yang dingin itu cukup lama hingga aku tidak menyadari bahwa malam sudah menjemput.

Angin yang berlomba-lomba untuk menyusup lewat celah-celah papan kayu semakin gencar saja melancarkan serangannya. Aku belum mandi, badanku masih lengket dan berkeringat, dan bajuku masih basah. Jika terus seperti ini, aku pasti akan kedinginan seakan membeku nanti malam.

"Tidak ganti baju?"

"Maunya begitu, tapi aku tidak membawa baju ganti ke sini."

"Kau belum melihat isi lemarimu, kan?"

Ah, dia benar juga. Aku belum melihat apa isi lemari pakaian dan kotak kayu yang ada di sudut kamarku. Karena dari luar baunya sudah tengik, tadinya aku memutuskan untuk tidak akan pernah membukanya. Tapi sepertinya, di dalam situ ada baju-baju dan perlengkapan bertahan hidup lain yang sudah seseorang siapkan untukku.

Benar saja. Di dalam lemari, ada tiga atau empat setel pakaian lengkap--hingga ke topi dan ikat pinggang kulitnya. Ada beberapa baju yang bolong, tapi itu tidak masalah asalkan aku masih memiliki pakaian layak pakai. Setelah itu tidak ada lagi. Bentuknya saja yang besar, tapi isinya hanya ada beberapa potong kain.

Di kotak kayu lapuk yang ada di sebelah lemari juga tidak ada banyak hal yang bisa dilihat. Di dalamnya hanya ada satu buah selimut lusuh yang penuh dengan tambalan dan sebuah bantal sekeras batu sabak.

Ada lampu minyak di atas lemari. Tapi, kata suara yang dari tadi memarahiku, minyak di rumah ini sudah habis digunakan oleh Bargin Meath tua untuk membakar rumput kering di depan rumahnya. Jadilah, aku akan berselimut dalam gelap malam ini--rencananya aku akan membeli minyak tanah ketika kondisi di luar sudah cukup terang, itu pun kalau aku memiliki uang.

"Hujan," ucap suara itu tiba-tiba. Aku menatap langit di luar untuk membuktikan ucapannya. Ia ternyata benar.

Langit menggelap, namun bukan karena matahari sudah tenggelam. Awan-awan berkumpul dan menutupi bulan sabit yang ada di atas sana, lalu berputar-putar, dan akhirnya turun hujan. Sedikit demi sedikit, hingga tak lama kemudian tetes air mulai terdengar seperti menampar-nampar atap gubuk berdampingan dengan bunyi gemuruh guntur. Aura dingin menyembul dari renggangan kusen.

Perutku keroncongan. Aku menagih janji suara itu tadi sore. "Mana makananku?"

Singkatnya, ia memberi tahu bahwa di lemari penyimpanan makanan yang ada di dapur, terdapat beberapa lembar roti tawar dan semangkuk kecil selai kiwi.

Aku menuju dapur dengan susah payah hanya demi mendapatkan jatah makan malamku. Beberapa kali aku hampir tersandung karena tidak hati-hati. Aku kembali ke dalam kamar lima menit setelahnya.

Adonan rotinya bantat, keras, dan baunya perat. Ada titik-titik biru kecil di pinggirannya. Jamur.

Aku sudah menaruh harapan cukup besar ke selai kiwinya namun ternyata sama saja. Rasanya masam dan aneh. Tidak ada makanan normal yang bisa aku makan di sini.

Terdiam. Hanya ada suara angin ribut dan hujan yang menampar kaca jendela. Air hujan bahkan menetes dari langit-langit di atasku. Atapnya bocor.

Menyedihkan sekali ....

Aku mengunyah roti selai kiwi yang pinggirannya sudah kubuang dalam hening. Setidaknya, aku tetap harus bersyukur karena masih bisa mendapat makanan yang entah disediakan oleh siapa ini. Jika tidak, mungkin aku akan mati kelaparan malam ini.

Aku menaruh sisa selai kiwi ke dapur dengan cepat dan meneguk segelas air ledeng setelahnya. Aku berjanji akan mendapatkan makanan yang lebih lezat esok hari, bagaimana pun caranya--kecuali mencuri, tentu saja.

Setelahnya, aku kembali ke kamar. Mataku sudah berat untuk tetap terjaga. Tetapi, menemukan bagian lantai yang masih belum terkena cipratan air cukup sulit untuk dilakukan. Aku memungut selimut lusuh berbau apek dari dalam kotak kayu.

Ada sedikit perdebatan mengenai apakah selimut tersebut harus digunakan sebagai alas atau digunakan untuk melapisi tubuh dari bagian dada ke bawah. Di akhir, aku memutuskan untuk menggunakan selimut itu sebagai pengganti kasur dan matras--tidak ada yang tahu hewan apa yang bisa muncul dari celah-celah retakan lantai kayu di malam hari. Aku menggunakan baju dan celana yang tidak terpakai sebagai pengganti selimut.

Aku tidak bisa tidur dengan nyaman. Aku mencoba berbagai posisi yang kiranya tidak akan membuat leherku sakit, bagian belakang badanku pegal, atau pun nyeri pada pinggang.

Hmm ....

Bagaimana kabar Nyonya penjaga saat ini, ya? Apakah dia masih mencariku atau malah senang karena aku menghilang dalam semalam? Dan mengenai Hisk, apakah dia sudah makan malam dengan baik malam ini? Aku harap dia mau menghabiskan jatah makan malam yang seharusnya menjadi milikku.

Tak apa, semoga saja besok akan menjadi hari yang lebih baik daripada hari ini.

Semoga.

Tbc.

Scallian : The City of Cloud [END✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang