Istana Belakang Kota

30 9 0
                                    

Tiga puluh menit. Kami membutuhkan waktu tiga puluh menit--atau mungkin lebih karena kami tidak menghitungnya dengan serius--hanya untuk mencapai rumah Nyonya Griffith. Sepuluh menit dihabiskan dengan berlari hingga blok nomor empat ditambah dengan dua belokannya, sedang dua puluhan menit sisanya dihabiskan untuk menunggu Annabeth mengatur napas sekaligus berjalan pelan untuk menyesuaikan langkah.

Seperti yang sudah diperkirakan oleh Annabeth ketika masih berada di dalam rumah, jalanan kota malam ini sama sepinya seperti kemarin. Tidak ada penduduk yang keluar untuk melihat pemandangan kota--wajar, siapa juga yang mau melihat panorama alun-alun kota yang masih berbercak darah penduduk lain itu--, sekedar berjalan-jalan, apalagi membunuh waktu dengan minum-minum di bar kota.

Ah, aku bahkan ragu apakah kota ini memiliki tempat minuman kerasnya sendiri.

Mengesampingkan hal tersebut, beberapa pria bertopi tinggi terlihat mondar-mandir di beberapa blok yang kami lewati. Ketika kami tengah berlari, makhluk-makhluk itu melirik kami sekilas dengan tatapan lapar, mengendus dengan gerak tubuh yang santer terlihat, kemudian lari tunggang-langgang ketika membaui garam dapur yang ada di saku kemeja kami. Saran Annabeth berhasil rupanya.

Idenya gila, tetapi dilihat dari berbagai segi, ujung-ujungnya tetap masuk akal juga.

Apabila Annabeth tidak merengek kelelahan dan berhenti di beberapa titik, kami berdua pasti sudah mencapai tempat wanita itu sebelum jam makan malam. Bulan sudah meninggi dan bersinar jelas di langit Scallian. Berkebalikan dengan benda langit itu, perut Annabeth jauh dari kata bersinar. Berbunyi gemuruh dari tadi, bahkan hingga membuatku salah sangka karena mengira bahwa aku telah mendengar longsoran salju--yang sebenarnya adalah bunyi perutnya yang lapar.

Ah, di blok terakhir sebelum mencapai rumah wanita tua itu, keadaannya jauh berbeda dengan di blok dekat pusat kota. Jika dibilang keadaan agaknya tidak terlalu benar. Toh, suasananya sama saja. Sepi seperti pesta perayaan ulang tahun anak pembantu walikota--tidak disediakan makanan, minuman, apalagi permainan. Tidak ada anak kota yang mendatangi tempatnya kala itu.

Akan tetapi, karena berada di bagian belakang kota, seperti yang sudah kulihat di kunjunganku terakhir kali, rumah-rumahnya jauh lebih bobrok jika dibandingkan dengan rumah-rumah penduduk yang ada di blok dekat pusat kota, apalagi dengan yang ada di bagian depan kota--bagai pengibaratan Gunung Andes dan gundukan tanah jadi-jadian buatan Hisk ketika di panti dulu.

Hanya ada tiga rumah yang memiliki cerobong asap dan perapian dari puluhan rumah yang terlihat. Itupun tidak keluar asap abu pekatnya dari tempat tersebut. Namun, aku harap mereka memiliki tumpukan selimut yang tebal. Paling tidak ada lima untuk masing-masing anggota keluarga.

Banyak rumah yang tidak memiliki jendela. Barangkali dicongkel dan dibawa ke pasar gelap oleh goblin-goblin tangan panjang dari Hutan Pencecak. Jika tiba musim panas dan bagian dalam rumah disiram oleh cahaya matahari, pasti akan gerahlah seisi rumah itu. Serangga, kelelawar, dan burung-burung malam entah sudah berapa kali masuk dan bertengger di kamar-kamar penduduk yang rumahnya tidak memiliki jendela.

Miris.

Annabeth sempat bertanya mengenai perbedaan yang terlalu kentara ini. Mengapa rumahnya jelek-jelek, tidak ada cerobong asap, dan dinding-dinding kayunya lebih lapuk daripada yang ada di rumah kami. Aku tidak tahu harus menjawab apa selain memberi jawaban yang berputar-putar di sekitar permasalahan tentang kasta dan kelas ekonomi--yang mana sebenarnya hal itu benar-benar kuragukan kehadirannya di Scallian.

Ketika puncak rumah Nyonya Griffith sudah terlihat oleh sudut mata Annabeth, barulah gadis itu diam. Angin musim dingin melewati kawasan ini berkali-kali. Cahaya lembut bulan sabit bulan Desember menyinari satu-satunya rumah yang memiliki ukuran raksasa di tempat itu. Sekelilingnya diselimuti oleh kumpulan pohon pinus tua dengan ujung yang runcing dan menusuk langit malam.

Annabeth terpaku. Aku juga. Meski sudah pernah datang, rahangku masih menganga ketika melihat kediaman wanita itu. Lagi pula, keadaannya jauh berbeda dengan ketika aku datang ke rumah ini pada pagi hari.

Rumah itu terlalu gemerlap jika dibandingkan dengan rumah tetangga paling dekatnya. Jika rumah-rumah penduduk di bagian depan kota adalah Gunung Andes, maka rumah Nyonya Griffith adalah rangkaian besar pegunungannya.

Aih.

Perasaan takut yang sempat kukubur dalam-dalam mendadak muncul lagi ketika kami berdua sudah sampai di gerbang rumahnya yang masih berkilau walau dimakan kegelapan. Megahnya pagar emas itu membuatku--dan mungkin juga Annabeth--merasa terlalu kecil untuk bisa bertemu, apalagi bertatap muka hingga menjalin hubungan pembicaraan dengan wanita pemilik rumah ini. Mungkin saja kami akan terkena serangan jantung duluan jika wanita itu tiba-tiba keluar dari dalam rumah untuk menyambut kami.

Hewan-hewan peliharaannya yang ketika kukunjungi terakhir kali masih berada di halaman depan untuk berjemur kini juga sudah hilang entah ke mana. Mungkin beberapa sudah dimasukkan ke kandangnya--entahlah, wanita itu kemungkinan besar mempunyai kandang atau kerangkeng untuk menjaga hewan-hewan itu agar tidak berkeliaran di langit kota--lalu dibiarkan semalaman.

Agaknya, hewan-hewan itu juga akan stress jika dirantai di depan rumah satu malam penuh dengan hanya bisa melihat pemandangan hutan gelap dan jalan setapak kecil di seberangnya yang bahkan entah bisa atau tidak untuk dilewati oleh kereta kuda kerajaan. Membosankan hingga bisa memunculkan niat untuk bunuh diri.

Lain dengan hewan-hewan peliharaan Nyonya Griffith yang wajahnya menjijikan itu, penjaga-penjaga berkepala burung berbadan manusia yang dipekerjakannya masih bertegak-tegak memunggungi pintu. Ada dua. Bentuk wajahnya tidak ada bedanya, seperti salinan satu sama lain. Salah satunya sesekali menguap, meregangkan persendian, lalu tersadar dan kembali ke posisi berjaganya dengan siaga.

Konyol.

Bila saja penjaga-penjaga itu tidak memiliki bentuk yang mengerikan, aku pasti sudah tertawa keras-keras saat ini--Annabeth sudah tertawa sambil memegangi perut tetapi mulutnya masih bisa kubekap sebelum bisingnya terdengar oleh para penjaga rumah Nyonya Griffith.

Masalah utamanya muncul di sini.

Aku tidak tahu bagaimana cara masuk ke rumah wanita itu.

Annabeth sempat memberi saran. Oh, tidak, tidak. Sarannya kali ini tidak cemerlang sama sekali. Ia menyuruhku untuk membantunya melempari gerbang rumah Nyonya Griffith dengan kerikil untuk menarik perhatian penjaga-penjaganya, bersembunyi, kemudian muncul lagi dengan tiba-tiba untuk melemparkan batu berat tepat ke kening kedua penjaga abnormal itu.

Hahaha.

Sial.

Pikiran gadis gila ini sudah kacau lagi sejak mendadak menjadi lancar jaya beberapa jam ke belakang. Walau dipaksa berkali-kali pun, aku tidak akan menurutinya. Sarannya malam ini terlalu berbeda jauh dengan sarannya tadi siang. Menjaga sikap omong kosong. Belum bertemu dengan wanita itu saja Annabeth sudah berencana untuk membuat kekacauan.

Oh, Tuhan. Semoga Annabeth tidak lanjut mengacau nantinya.

"Hei, Arthur, ayo masuk."

"Bagaimana caranya?"

"Seperti tadi," ucapnya, "kulempar dulu kerikil-kerikilnya. Lihat, sudah kukumpulkan beberapa. Setelahnya, nanti dahi burung-burung berseragam itu kita tumbuk dengan batu besar. Di kakimu ada beberapa yang ukurannya lumayan. Ambil saja yang itu."

"Tidak, Annabeth. Apa-apaan?!"

"Ah, aku ada saran lain!"

"Apa?"

"Kita masuk lewat belakang saja."

Demi Tuhan ....

Tbc.

Scallian : The City of Cloud [END✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang