Ajakan Annabeth

29 8 0
                                    

Wajah takut Annabeth berubah cepat menjadi raut murung. Mulutnya menjelma masam dan matanya berkaca-kaca di bawah sinar matahari Scallian bulan Desember. Aku merasa tidak enak hati karena seakan-akan menjadi penghancur kebahagiaannya hanya dengan satu kalimat.

Belum makan. Sejak kemarin, perut Annabeth tak kunjung mendapat asupan makanan. Perutnya sudah berbunyi bahkan sedari di komplek pertokoan roh tadi. Gadis itu lelah. Tidur telat, bangun terlalu cepat. Entah berapa jam gadis itu tertidur sebelum pergi ke kawasan penuai roh itu. Badannya seakan ingin remuk, tulangnya serasa patah semua, dan pikirannya yang sebelumnya memang sudah kacau pasti akan semakin runyam setelah mendengar ucapanku tadi.

Aku tidak bisa berbuat banyak. Kenyataannya, malam ini kami memang tidak bisa makan apa-apa. Koin scallian kami sudah habis dibawa Tuan Gulliver dan beberapa penduduk kota beberapa jam yang lalu. Persediaan makanan di dapur sudah kosong. Lagi-lagi karena diambil paksa oleh penduduk-penduduk kota.

Tidak. Aku tidak akan mau repot-repot untuk mendapat sakit perut hanya karena nekat memakan roti berjamur yang masih tersimpan rapi di salah satu sudut lemari penyimpanan. Jika saat ini salah satu dari kami jatuh sakit, keadaan  akan tambah gawat ke depannya.

Annabeth tadi sempat berinisiatif untuk mengunjungi rumah Tuan Bargin Meath. Barangkali masih ada beberapa daging yang belum dijual, digonggong anjing liar yang memasuki rumahnya, atau membusuk dimakan belatung. Ia kembali beberapa belas menit setelah pergi dengan tangan kosong dan mata sendu.

Rumah Tuan Bargin Meath kosong melompong. Semua peralatan pemotong daging, perabot di ruang tengah, dan simpanan dagingnya sudah dibuang. Jangankan daging merah segar, sumur di belakang rumah pria itu saja bahkan sudah dibongkar habis saat ini.

Rumah Tuan Bargin Meath ikut mati bersama pemiliknya.

"Aku tidak mau kelaparan malam ini, Arthur." Annabeth merengek seperti bayi kelaparan. "Sudah seharian aku belum makan. Perutku perlu diisi, Arthur. Kau juga. Ayo cari makan dulu malam ini."

Aku mau saja menuruti kehendaknya. Pergi ke pusat kota sembari mengemis terdengar menjanjikan untuk dilakukan di ... Blisshore. Kota ini tidak akan bisa sama seperti Blisshore di malam hari. Apabila ketika di Blisshore masih ada pejalan kaki yang mondar-mandir di kawasan pasar untuk membeli makanan tambahan pada malam hari, maka di tempat ini hal itu tidak akan mungkin terjadi kecuali ada perayaan.

Bukannya mendapat makanan, bisa-bisa kami yang akan menjadi makanan dari makhluk-makhluk penunggu kota--siapa lagi kalau bukan para pria topi tinggi dari komplek pertokoan roh yang bisa menerkam kami kapan saja?

Menyedihkan.

Aku menggeleng. Annabeth cemberut lagi. Ia masuk ke dalam rumah sambil terhuyung-huyung, menuju kamar, lalu melompat ke tumpukan selimut hingga kain tebal itu tenggelam di bawahnya. Ia memeluk lutut lagi. Selalu seperti itu. Annabeth masih tidak suka dengan keadaan saat ini. Perutnya yang kurus akan semakin mengempis jika terus-terusan dibiarkan.

"Arthur, aku punya ide bagus." Annabeth memanggilku lagi satu kali. Matanya membuka lebar dan sepertinya gadis itu sudah menemukan satu ide cemerlang. "Bagaimana kalau kita meminta makan kepada Nyonya Griffith?"

Hah?

Aku tidak mau. Aku tidak mau. Aku tidak mau. Mendengar nama wanita itu saja sudah bisa membuat bulu kudukku berdiri semua. Aku tidak mau mati konyol hanya karena bersikeras meminta makan ke rumah wanita tua itu.

Aku menggeleng. "Tidak mau."

"Kenapa?"

"Tidak mau. Aku masih sayang nyawa."

"Aku juga," balas Annabeth, "oleh karena itulah kenapa kita harus mendatangi rumah Nyonya Griffith Ombudsman malam ini. Perut yang kosong harus segera diisi jika tidak mau sakit lambung. Nyonya Penjaga Panti sudah berkali-kali mengatakan hal itu sebelum ini, bukan begitu?"

Aku masih bersikukuh. Sudah berkali-kali aku menolak, tetapi berkali-kali juga Annabeth mencecarku dengan banyak pertanyaan. "Tidak mau. Nanti aku mati dibunuhnya."

"Dari mana kau tahu kalau kau akan dibunuh begitu mencapai tempatnya? Prasangkamu buruk sekali. Mengherankan." Annabeth berdiri lalu berkacak pinggang. "Aku tidak akan bertingkah bodoh di sana. Kalau kau takut untuk pergi ke sana karena khawatir dikacaukan olehku, aku akan menjamin kalau hal itu tidak akan terjadi."

"Tuan Suara-Tanpa-Nama sudah mengatakan berkali-kali kalau wanita itu berbahaya. Ah, kau belum melihat burung-burung peliharaannya, ya? Percayalah, itu adalah burung-burung besar paling jelek yang akan kau temui seumur hidup."

"Tuan Suara-Tanpa-Nama mengatakan berbahaya seperti apa? Burung-burung peliharaannya tidak usah dipikirkan. Anjing gembala juga jelek jika dilihat dari jarak dekat jadi tidak ada yang perlu ditakutkan dari burung-burungnya."

Aku kehabisan kata-kata. Tuan Suara-Tanpa-Nama hanya mengatakan bahwa wanita itu berbahaya tetapi tidak pernah mengatakan alasannya apa. Pun, ketika datang ke kediamannya, burung-burungnya juga bertindak tak ubahnya kuda peliharaan walikota. Satu-satunya hal yang membuatku yakin harus menjaga jarak dengan hewan peliharaan wanita itu adalah fakta bahwa desisannya memekakkan telinga dan sepasang di antaranya adalah pemegang kunci dari insiden penyembahan naga tempo hari.

Tapi tidak, aku tetap tidak mau. "Dia orang paling berpengaruh di kota dan aku sudah menghancurkan serulingnya. Bayangkan bagaimana jadinya jika orang itu bertemu denganku yang sudah dengan mudah menghancurkan benda favoritnya itu." Pada akhirnya, aku masih menolak tawaran Annabeth.

"Kalau wanita itu kaya, dia pasti akan dengan mudah memaafkan kita. Seruling itu memangnya semahal apa sampai-sampai wanita itu mau saja repot-repot membawa dan menahanmu di kota ini? Tidak masuk akal. Ayolah, Arthur. Kau juga sudah kelaparan, bukan?"

Aku menggeleng. "Tidak." Begitu jawabku, sebelum kemudian aku menyesal karena Annabeth menunjuk perutku yang tiba-tiba berbunyi nyaring saat kalimatku selesai.

"Ayolah, Arthur."

"Tidak."

"Aku janji tidak akan berbuat bodoh. Ayolah. Tiga lembar roti saja. Tidak lebih. Wanita itu pasti akan memberi kita tanpa harus berpikir panjang."

"Kenapa tidak mengemis ke penduduk kota yang lain saja?"

"Tidak bisa. Aku takut dengan para penduduk kota," jawab Annabeth, "tidak ada yang baik hati. Semuanya jahat-jahat kecuali wanita yang toiletnya kugunakan untuk buang air dua hari yang lalu."

"Nah, ayo minta saja ke wanita itu."

"Rumahnya jelek. Wanita itu miskin. Toiletnya saja tidak memiliki pintu. Seratus persen kita pasti akan diusirnya jika meminta makan di tempat itu. Lagi pula, aku tidak akan sanggup berjalan hingga ke bagian depan kota."

Annabeth menunjuk kaki kurusnya sesaat setelah ucapannya selesai. Memar-memarnya belum hilang--tentu saja--, luka sobek di lututnya masih ada, dan kondisinya tidak memungkinkan untuk dibawa berjalan lebih dari enam blok. "Rumah Nyonya Griffith tidak terlalu jauh dari tempat kita. Mengapa tidak mencobanya dulu?"

"Tidak bisa, Annabeth."

"Kenapa lagi, Arthur?"

Aku menghela napas berat. Aku menatap dalam-dalam ke arah kedua bola matanya lalu berkata, "Aku takut jika semua hal-hal tentang Griffith Ombudsman yang ditulis di buku informasi kota tidak ada yang benar."

Tbc.

Scallian : The City of Cloud [END✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang