Kunjungan Malam Tuan Ruthford

248 47 15
                                    

Aku terdiam bak patung marmer yang Tuan Walikota bangun di alun-alun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku terdiam bak patung marmer yang Tuan Walikota bangun di alun-alun. Cahaya itu masih ada, berkilau layaknya matahari pagi di bulan Juni.

Cahaya itu tampak misterius. Cocok sekali dengan suasana dan tumbuhan-tumbuhan yang ada di hutan ini. Tidak ada yang menyadarinya--kecuali diriku sendiri tentunya, walau cahaya itu bisa menyinari separuh koridor Gedung A.

Ah, tidak juga. Terlalu berlebihan itu namanya. Tapi, bagaimanapun juga, cahaya itu tetap saja menyilaukan.

Bukannya serta merta menarik tapakku dan berjalan menuju pendaran biru itu, yang kuyakini berbentuk seperti sebuah tongkat panjang berlubang lima, aku malah mematung di tempatku berdiri saat ini.

Aih.

Padahal, aku sendiri yang menjatuhkan diri ke dalam perangkap aura biru itu. Tapi, kenapa malah aku yang takut?

Heran.

Aku mendengkus. Baiklah, kali ini, aku memutuskan untuk menyerah pada rasa penasaranku. Tidak ada orang lain di sini dan lagi, sepertinya aku masih memiliki waktu untuk sekedar memeriksa benda apa itu.

Tanganku menyibak semak belukar yang ada di depan. Dengan gagah berani, aku berjalan mendekati cahaya biru itu. Aku menghalau sulur hijau tak bernama, tidak mengacuhkan bunga kenikir coklat yang entah bagaimana masih bisa mekar di akhir musim gugur, dan terus berjalan hingga tepat berada di depan benda biru itu.

Cahaya terpancar, suara seruling tiba-tiba terdengar lagi. Lebih jelas, malah. Aku hanya perlu membungkuk untuk meraih benda itu--yang sepertinya merupakan seruling milik pengembara dari utara yang terjatuh dari kereta kuda mereka, sebelum akhirnya aku menghirup serbuk sari secara tidak sengaja

Hidungku tergelitik. Aku bersin cukup kuat hingga membuatku terjengkang ke belakang dan menjadikan bokongku menghantam tanah hutan cukup keras. Saat itulah, aku mendadak benci luar biasa dengan bunga yang sedang melakukan penyerbukan.

Seruling itu tiba-tiba menghilang bagaikan angin. Benar-benar menghilang hingga tidak ada setitik debu yang menjadi jejak kunjungan seruling tersebut pun yang tertinggal.

Aku mengucek-ngucek mataku. Sangat naif memang jika berharap bahwa seruling tersebut akan kembali muncul secara ajaib setelah aku membuka mataku kembali--walau pada akhirnya, aku tetap melakukannya. Dan, ya, seruling tersebut masih menghilang.

Ya Tuhan ....

Aku menunduk frustasi. Padahal, seruling itu sudah berada di depan mataku. Tinggal sedikit lagi sebelum aku bisa mengantongi benda yang membuat susu dan kue jaheku kemarin malam tersita.

Cih.

Sial.

Suara seruling tersebut ikut pergi bersamaan dengan menghilangnya benda biru berpendar itu. Aku bingung antara harus bersyukur atau mengumpat. Masalahnya, aku yakin sekali bahwa suara itu akan datang lagi, entah kapan, seperti kemarin dan hari ini.

Tapi, yah ... semoga saja hal itu tidak terjadi. Walau sepele, aku tetap tidak bisa hidup berdampingan dengan suara itu.

Aku mendongak. Langit sudah mulai senja, lembayung mulai terlihat. Anak-anak panti pasti sudah selesai memetik beri dengan bonus kebahagiaan parsial, bercampur dengan senyuman besar dan gigi merah marun--terutama Hisk. Nyonya penjaga kemungkinan besar sedang merapikan peralatan merajutnya sambil berdiri dan menghitung satu per satu anak panti dari pijakan tanah yang lebih tinggi.

Aku harus cepat-cepat kembali ke sana. Bisa gawat jika aku telat dan Nyonya penjaga membuat perhitungan lagi denganku. Aku terancam tidak akan bisa lagi menemui hal paling berharga nomor kesekian malam ini--manisan beri ala Mediterania.

Langkahku kupercepat. Aku benar-benar tidak mau membuat masalah dengan orang yang sama untuk yang kedua kalinya. Sejauh ini, aku selalu menjadi anak panti yang baik dan masuk ke dalam daftar penerima hadiah saat Hari Natal. Akan sangat disayangkan rasanya jika pada malam bersalju itu aku hanya bisa meringkuk di bawah selimut sambil menangis, sedangkan anak-anak panti yang lain sedang bergembira di gedung utama setelah menerima kaus kaki polkadot atau baju rajutan bergambar rusa hidung merah.

Untunglah, Nyonya penjaga dan anak-anak panti yang lain masih ada di sana. Beberapa malah sedang tertidur di atas rumput, sedang sebagian sisanya masih memetik dewberry dengan riang gembira. Nyonya penjaga juga masih duduk dan belum beranjak dari posisi awalnya. Sepertinya, dia akan merajut stoking merah dengan pola berendanya yang kedua.

Aku menghela napas lega. Tak lama, sekembalinya diriku dari perjalanan kecil-kecilan itu, Nyonya penjaga memberi perintah agar kami segera bersiap sebelum pulang ke panti. Kami berbaris dalam pola yang berbeda namun tetap membentuk dua garis lurus dan berjalan pulang menuju panti dengan Nyonya penjaga yang memimpin di depan. Kami semua ingin mencuci kaki, mandi, dan berkumpul di ruang makan untuk menikmati makan malam hari ini.

Sejujurnya, aku masih penasaran dengan seruling tadi. Aku memang baru pertama kali melihat seruling secara langsung tadi--sebelum-sebelumnya, aku hanya bisa melihatnya dari jauh ketika sedang berada di perayaan kota. Tapi, aku juga yakin kalau sebuah seruling tidak akan bisa memancarkan cahaya biru ganjil dan meniup dirinya sendiri seperti yang kutemui tadi.

Aku ingin kembali ke daerah hutan itu, mengecek untuk yang terakhir kalinya sebelum benar-benar kembali ke panti. Tapi, aku sudah cukup lelah untuk melakukan itu semua. Aku butuh istirahat sebentar dan kiranya jika suara itu muncul lagi di malam hari, aku tidak akan segan-segan melarikan diri menuju hutan tersebut.

Semoga ....

•••

Kedua belas anak panti mengharapkan jamuan makan malam yang menyenangkan. Tetapi, agaknya mereka akan sedikit takut malam ini ketika melihat Tuan Ruthford, yang memainkan peran sebagai tuan penagih pajak sekaligus penjaga kota berjalan, tiba-tiba datang tadi sore dan bergabung di meja makan panti bersama dua koleganya malam ini.

Biasanya, anak-anak panti akan merasa tidak nyaman jika harus berbagi ruangan dengan pria berkumis jangkar itu. Ia suka bertele-tele dalam menceritakan sajak pujangganya--yang sebenarnya sudah cukup tua untuk ia bacakan, atau mulai bercerita tentang perjalanannya dalam menaiki kereta kuda di jalan menanjak menuju panti ini dengan dramatis.

Biasanya lagi, Nyonya penjaga akan memberikan tawa palsunya di setiap lelucon yang pria tua itu masukkan di sela-sela ceritanya--yang bahkan jika orang dengan selera humor paling rendah mendengarnya pun, mereka tidak akan tertawa. Namun, wanita itu bisa apa jika di akhir anjangsana Tuan Ruth mulai berpidato tentang pentingnya membayar pajak ke kota.

Jika saja panti ini tidak membutuhkan bantuan dari pria itu, sudah lama kami menendang bokong pria tambun itu beserta kedua rekan sejawatnya yang lain agar tidak pernah kembali lagi ke tempat ini.

Tapi, tidak ada seorang anak panti pun yang menyangka maksud kedatangan pria bermata koin emas itu ketika ia mengutarakannya dengan gamblang setelah menegak segelas anggur merahnya. Namun, di sini, akulah yang paling terkejut mendengarnya.

"Nona Lombridge mendengar suara aneh yang berdesis tiga kali ketika tengah memasak di dapurnya. Para penebang kayu melihat seekor burung berwajah aneh terbang mengitari pohon berangan kuda dengan pola janggal, berlalu dengan menimbulkan suara yang memekakkan. Warga yang bermukim di pusat kota mendengar sebuah suara seruling aneh dari arah kaki gunung dan seorang pria aneh--yang kali ini akan kami percaya, memberi laporan tentang cahaya biru aneh yang ia lihat dari kejauhan ketika sedang memancing di malam hari."

Ternyata aku tidak sedang berhalusinasi dari kemarin.

Tbc.

Scallian : The City of Cloud [END✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang