Aku tidak bisa lagi lanjut bekerja hari ini. Aku butuh istirahat. Bukan badanku yang kelelahan, tapi kepala dan pikiranku yang rasa-rasanya ingin kabur ke hutan kalau saja memiliki kaki sendiri.
Kejadian barusan membuat kepalaku sakit. Annabeth saat ini tengah tertidur di pangkuanku--gadis itu sama patuhnya dengan domba peternakan ketika kusuruh untuk meletakkan kepalanya di pangkuanku hingga tertidur setengah jam setelahnya. Bagaimanapun juga, walau gadis di dekatku ini lebih menyebalkan daripada si penagih pajak di Blisshore, aku tetap tidak sudi melihatnya ketakutan karena kejadian tidak menyenangkan tadi.
Pun, setelah pria aneh yang memaksa diri untuk keluar tadi mati, gerbang tiba-tiba terbuka lagi. Tidak ada angin sama sekali, tapi pagar berkarat itu langsung terhempas hingga bunyi engsel berkaratnya bising terdengar.
Ketiga patung yang telah membunuh pria aneh tadi sekarang entah berada di mana. Aku tidak berani melihat mereka barang satu detik saja. Salah-salah, bisa aku yang menjadi sasaran keduanya hari ini. Walau Annabeth sudah mengejek, mengikis-ngikis, hingga melempari ketiga patung batu raksasa itu dengan bola salju berulang kali tapi tidak digubris juga, aku masih tidak mau mengambil resiko untuk mendekati batu-batu itu di saat-saat seperti ini.
Aku masih sayang nyawa.
Haahh ....
Tidak ada lagi yang terjadi setelahnya. Salju tetap turun dan hidungku sempat mimisan tadi. Mantel yang Annabeth pakai masih belum cukup untuk melindungi tubuh gadis itu dan jika aku mengambilnya untuk menghangatkan tubuh, sungguh tidak terpuji diriku.
Semoga saja dalam beberapa jam ke depan, ketika matahari hampir tenggelam, jejak darah dan cekungan besar di dekat pagar tadi sudah hilang tertutupi salju karena jika tidak, aku akan kebingungan setengah mati perihal bagaimana caranya untuk menutupi mata Annabeth hingga gadis itu tidak bisa melihat darah pria yang baru saja ia takuti di tempat yang sama dengan tempatnya membuat boneka salju kecil beberapa jam sebelum kejadian.
Tuan Suara-Tanpa-Nama berbohong lagi untuk yang kesekian kalinya. Kemarin pagi, pria itu berkata bahwa selain memastikan bahwa semua pendatang yang terlihat harus memasuki gerbang, kami juga harus mengusir siapa saja yang ingin keluar dari dalam kota.
Nyatanya, sudah ada patung-patung di belakangku yang bisa membunuh semua penduduk Scallian yang ingin keluar gerbang kapanpun yang mereka mau.Cih.
Aku tidak tahu kalau bekerja sebagai penjaga gerbang bisa seberbahaya ini. Malam ini, aku akan berbicara ke Tuan Suara-Tanpa-Nama tentang kejadian siang ini, mengeluh sedikit, lalu berkata kalau aku tidak sanggup lagi mengambil pekerjaan ini apabila masih sayang dengan kewarasan yang kupunya--yang mana belakangan ini sudah banyak terkikis karena Annabeth, dan akan tambah parah bila melanjutkan kerja sebagai penjaga gerbang.
Jam lima sore, udaranya sudah jadi makin dingin. Annabeth sudah bangun sejak lima menit yang lalu sambil bertanya-tanya saat ini dia tengah berada di mana. Tugas untuk hari ini sudah selesai dan tidak ada alasan kuat untuk kami agar mau berlama-lama di luar rumah sampai malam.
Ketiga patung yang berdiri di depan gerbang tidak merubah posisinya lagi. Jejak darah yang ada di tanah bersalju sudah hampir hilang sepenuhnya--di beberapa bagian masih ada darah yang terpercik dan ketika Annabeth menanyakan tentang apa gerangan yang menyebabkan salju di dekat gerbang berubah warna, aku hanya menjawab bahwa pria yang ia lihat tadi siang tiba-tiba terkena mimisan dan saat ini sudah dibawa ke rumah tabib terdekat oleh Tuan Gulliver.
"Pulang?"
"Pulang. Sudah hampir malam. Sebentar lagi udaranya akan tambah dingin. Kata Nyonya Penjaga Panti dulu, tidak boleh berlama-lama di luar ruangan, apalagi ketika malam hari di musim dingin. Krampus sering berkeliaran di waktu-waktu seperti ini."
"Oh, yang di kepalanya ada tanduk kambing itu?" Annabeth mengetuk-ngetuk dagunya pelan. "Yang musuhnya Tuan Santa itu?"
Aku mengangguk-angguk. Nyonya Penjaga Panti sering sekali bercerita tentang Tuan Santa dan Krampus tiap malam-malam sebelum Natal. Jadi, tidak mungkin ada anak panti yang tidak tahu dengan dua makhluk yang selalu menemani kisah-kisah pada musim dingin bulan Desember itu.
"Lalu," sambung Annabeth pelan-pelan, "menurutmu, apa makhluk itu bisa terbang hingga Scallian?"
Benar juga.
Aku ragu apakah Tuan Santa dan Krampus tahu dengan kota di atas awan ini. Jangankan mereka. Aku, yang sudah dua belas tahun di Blisshore saja masih tidak tahu kalau ada sebuah peradaban baru di atas kota kecil kami yang walikotanya belum diganti selama dua puluh empat tahun itu.
Yang pasti, jika Krampus tahu dengan kota ini pun, aku yakin kalau makhluk dengan badan dan kepala tidak sinkron itu akan dengan senang hati berlagak pura-pura tidak tahu. Bisa dijadikan kambing guling dia jika berani mendekati kota aneh ini.
Tapi, demi membuat Annabeth ketakutan dan melupakan janjiku tadi siang--membelikannya makanan manis sepulang dari tempat kerja--, aku mengiyakan pertanyaannya cepat-cepat. Gadis itu tidak mengulangi pertanyaan yang sama atau menambah pertanyaan baru. Annabeth buru-buru berjalan pulang hingga aku sempat tertinggal beberapa langkah di belakangnya.
Gadis itu takut dengan Krampus.
Coba tebak, apalagi yang gadis itu takuti dan ingin sekali hindari sore ini? Nyonya Peruglia.
Wanita itu, yang salah satu tangannya patah dan kaki kanannya sakit hingga jalannya pincang-pincang, tiba-tiba keluar dari dalam tokonya tepat ketika kami melewati bangunan beraroma rosemary dan adas manis itu. Wajahnya masam, suaranya serak, dan tangan kirinya yang masih bisa digerakkan menunjuk-nunjuk batang hidung Annabeth dengan kasar.
"Kau gadis dari Blisshore itu?!"
Annabeth, mau tidak mau mengangguk pelan. Kami berdua masih tidak tahu apa yang ada di pikiran wanita tua ini dan satu-satunya jalan yang tidak boleh dipilih di waktu-waktu seperti sekarang adalah berbohong.
Nyonya Peruglian, setelah mendengar penuturan Annabeth, serta merta masuk lagi ke dalam tokonya. Dari luar, aku sudah bisa mendengar suara panci metalik yang dilempar, bunyi berdebam pintu gudang penyimpanan yang dibanting, dan bising nampan pai apel yang dihempaskan ke lantai dengan kuat. Annabeth takut, aku juga. Dalam waktu beberapa hari saja, wanita yang pernah mengajariku cara membuat strudel apel kini telah menjelma menjadi seorang nenek sihir dengan kepribadian kasar.
Nyonya Peruglian kembali lagi beberapa menit setelahnya sambil marah-marah. "Seseorang baru saja mengambil kue dari Scallian. Betapa menyedihkannya orang itu. Ciri-cirinya adalah seorang gadis, berambut pirang, beralis tipis, bertelinga lebar dan cocok menjadi tukang menguping, serta memiliki bintik wajah yang lebih terlihat seperti tanda lahir bodoh. Aku penasaran siapa orang itu. Agaknya dia tidak jauh dari sini."
Annabeth jatuh terduduk.
"Nyonya berbicara apa?!" Aku tidak tahan lagi dengan Nyonya Peruglian. Aku baru mengenal Annabeth beberapa hari namun jika ada yang membuatnya menangis, siapa saja orangnya, aku tidak akan segan-segan melawannya.
"Mari simpulkan satu hal. Arthur, jika seseorang membuatmu berada dalam kondisi sepertiku ...," ucap Nyonya Peruglian sambil menunjuk tangannya yang patah lalu beralih ke bagian dalam tokonya yang berantakan seperti baru saja diobrak-abrik kuda liar, "apa yang akan kau lakukan? Diam saja?"
Cih.
Sial.
"Satu lagi, Arthur. Aku sudah memberimu upah. Jika kau masih melawan, aku akan dengan senang hati meminta kembali upah yang sudah kuberikan kepadamu tempo hari."
Hahaha.
Dua belas tahun bernapas, aku baru tahu kalau seloyang kue dengan gula warna-warni bisa mengubah kepribadian seseorang secepat petir yang menyambar pohon tertinggi di Hutan Pencecak.
Tbc.
Note: Saya kesel sendiri nulis ini chapter--
KAMU SEDANG MEMBACA
Scallian : The City of Cloud [END✓]
FantasySelamat datang di Scallian! Di sini, kami memiliki beberapa hal yang harus diperhatikan oleh para pelancong--atau penyintas yang memasuki kota ini sepertimu. Kota ini bukan milikmu atau nenek moyangmu. Jadi, jangan terlalu penasaran mengenai seluk b...