"Katamu kau mau membersihkan rumah ini!"
"Benar."
"Lalu kenapa tidak dilakukan?"
"Aku tidak memiliki badan. Bagaimana caranya aku bisa memegang sapu dan gombal basah?" jawab Tuan Suara-tanpa-nama. Aku mencelos mendengarnya.
Tadi, setelah membuka pintu depan, keadaan rumah bukannya menjadi lebih bersih malahan berubah menjadi seperti kapal dagang yang tergulung ombak.
Ada keluarga tikus yang mencicit di pojok ruang tengah, entah menyanyikan apa. Kucingnya Bargin Meath, Nyonya Ruby, muncul lagi setelah kemarin pergi tanpa jejak--benar-benar tidak memiliki tabiat. Mungkin Bargin Meath tua sudah kewalahan menghadapinya.
Debunya masih banyak, jendelanya belum dibuka. Tidak ada yang tahu sudah seberapa anehnya hawa kamarku gara-gara bekas jalur panas dari perapiannya bergabung dengan air hujan yang masih terperangkap di lantai kayu--bagaimana bisa menguap jika cahaya mataharinya saja tidak ada.
Aku masih ingin mengoceh dan mengaduh kepadanya, tetapi setelah suara itu mengatakan kalau aku di sini hanya menumpang dan sikapku tidak menunjukkan sikap yang baik untuk ukuran seorang tawanan, aku diam. Bisa-bisa aku akan diusir jika terus melanjutkan protesku.
Karenanya, aku memutuskan untuk merombak tempat ini secara besar-besaran. Susah sekali jika harus mengharapkan ada keajaiban yang datang untuk membantuku membersihkan kekacauan ini dalam satu jentikan jari--dan lagi, kalau ada pun, tidak akan mau orang-orang itu membantuku. Mereka pilih-pilih.
Tapi aku lelah.
Ya sudahlah, aku akan tidur siang sebentar dan ketika sudah bangun nanti, aku akan langsung meluncur ke kamar mandi untuk membersihkan bak dan dinding-dindingnya yang jamuran dan berflak coklat-kuning itu.
Masalahnya, belum cukup Tuan Suara-tanpa-nama membohongiku tadi pagi, ia malah tidak mau melihatku tertidur. Katanya tadi, aku harus membersihkan kamarku dulu sebelum tidur. Padahal mataku sudah susah sekali untuk tetap terjaga tapi dia malah memerintahkanku untuk mengelap kaca jendela dan membersihkan debu di atas lemari pakaian.
"Kau harus tahu bahwasanya rumahmu itu harus selalu berada dalam keadaan bersih. Jangan menjadi pemalas seperti itu, nanti tidak ada yang mau memperkerjakanmu lagi."
"Ucap seseorang yang tadi pagi berkata mau membersihkan rumah ini sementara pemiliknya pergi bekerja dan menyambung hidup hanya agar bisa memiliki kilah untuk tidak menemani anak laki-laki berumur dua belas tahun yang baru saja datang di kota antah berantah yang penuh dengan orang-orang aneh dalam mendaftar kerja sebagai loper koran di tempat yang jaraknya dua kali memutar ladang dari rumahnya. Menyedihkan sekali."
"Maaf? Kau masih beruntung memiliki rumah untuk ditempati, ya." Suara itu membalas dengan sengit. "Ini juga demi kebaikanmu sendiri."
Aku pura-pura tidak mendengarkan ucapannya lagi. Aku kesal karena dua hal. Pertama, Tuan Suara-tanpa-nama sudah berbohong kepadaku dan itu adalah sebuah cerita lama yang akan aku pastikan untuk tidak terulang lagi besoknya. Sedang yang kedua, ia bisa dengan mudahnya membantah ucapanku.
Pada akhirnya, aku memutuskan untuk menyerah saja. Perang mulut dengannya sama saja membuang-buang energi sia-sia seperti keledai yang berlari kencang padahal di leher berbulunya dipasangi tali kekang.
Aku berencana akan tidur sebentar setelah berhasil menyapu debu terakhir keluar dari kamar ini. Sarannya ternyata tidak terlalu buruk. Kamar ini terasa lebih baik dibanding sebelumnya. Walau alasannya tadi masih kuragukan keabsahannya--bisa saja dia asal sebut seperti kejadian pagi hari tadi, di akhir hari aku tetap memercayainya.
"Kau mendapat banyak barang bagus ternyata," ucap Tuan Suara-tanpa-nama di tengah-tengah kegiatan membongkar isi lemari pakaianku. "Penduduk di sini baik-baik denganmu."
Aku berhenti sebentar. "Aku juga tidak menyangka bisa mendapat barang-barang sebagus itu. Di panti dulu tidak ada kemeja dan sepatu sebagus ini jadi aku tidak tahu apakah aku harus senang atau tidak setelah menetap di kota ini untuk sementara."
"Jadi, kau mau tinggal di kota ini?"
"Tidak juga ...."
"Katamu kau senang dengan orang-orang di sini. Kenapa tidak mencoba untuk tinggal lebih lama lagi?" tanyanya.
"Tidak bisa. Aku harus cepat-cepat kembali ke panti. Satu minggu paling lama."
"Satu tahun ...."
"Satu minggu."
"Kau tidak akan bisa kembali ke pantimu dalam waktu satu minggu, Arthur," ujar suara itu. Ia berdehem sedikit lalu mulai berbicara lagi. "Sekarang, berapa upah yang tadi kau dapat dari Tuan Gulliver?"
"Dua puluh koin. Itu sudah banyak, kan?" Jika dihitung-hitung, dua puluh sepertinya sudah cukup banyak. Jika dibawa ke Blisshore, aku pasti sudah bisa menjadi bangsawan abal-abal.
"Belum. Kau saja tidak bisa membeli dua tiga potongan kecil daging rusa jantan dengan koin segitu." Tuan Suara-tanpa-nama terus menentang, berusaha menghentikan kesenanganku yang tadi hampir saja meledak seperti meriam kerajaan. "Koinmu paling banter hanya bisa untuk membeli dua wortel dan kol di pasar kota."
"Bisakah dinaikkan sedikit menjadi empat?"
"Tidak bisa. Emas tidak ada apa-apanya di kota ini, bahkan lebih tidak berharga daripada besi. Ya, walau ahli pedang masih membuat pedangnya dari bijih besi yang dilelehkan, tetap saja. Jadi ya, kau bisa lihat sendiri. Seekor keledai petani lebih berharga daripada setumpuk koin emas Scallian."
Aku tidak lagi membalas perkataannya. Jika seperti ini, rencanaku untuk bisa kembali dalam waktu dekat akan hancur berantakan. Belum lagi dengan hal-hal lain yang harus kubeli untuk menyambung hidup di tempat ini. Ini sama saja seperti menyiapkan bayaran agar bisa ikut ke ekpedisi Tuan Columbus yang mahal-mahal itu.
Aku kembali membersihkan dan memasukkan baju-baju yang baru kuterima ke dalam lemari. Paling tidak, aku mendapat hal bagus hari ini. Baju di lemariku bertambah dan aku tidak perlu susah payah lagi mencari baju bersih yang akan kupakai di tiap awal hari.
Tapi, apa sebetulnya alasan dari orang-orang di kota ini?
Ah, anggap saja itu sebagai sebuah keberuntungan pemula. Aku masih kecil, badanku pendek, tubuhku kurus, dan aku masih kesusahan dalam mengayuh pedal sepeda. Peluang untuk bisa dikasihani sangat besar jika melihat kondisiku saat ini.
Akhirnya selesai. Lemariku sudah rapi, kotak kayu di sebelahnya kukeluarkan--kayunya basah, jadi aku keringkan di luar. Jendelanya sudah tidak gelap lagi dan aku bisa melihat dengan jelas keadaan di luar. Lantainya juga tidak berdebu lagi.
Kamarku yang kotor dan menjijikkan kini sudah hampir sama bagusnya dengan kamarku di panti. Berterima kasihlah pada Tuan Suara-tanpa-nama yang sudah menyuruhku untuk membereskan tempat ini cepat-cepat.
"Kau tidak boleh tidur! Masih ada banyak hal yang harus kau pikirkan untuk bekerja besok-besoknya!"
Terima kasih, tapi akan kutarik lagi ucapanku tentangnya tadi.
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scallian : The City of Cloud [END✓]
FantasiSelamat datang di Scallian! Di sini, kami memiliki beberapa hal yang harus diperhatikan oleh para pelancong--atau penyintas yang memasuki kota ini sepertimu. Kota ini bukan milikmu atau nenek moyangmu. Jadi, jangan terlalu penasaran mengenai seluk b...