"Jadi, apa pesanan yang Nyonya maksud dari tadi?"
Setelah berhenti dan menenangkan diri, Nyonya Peruglia mengambil tempat di salah satu kursi kayu bundar yang ada di dapur.
Wanita itu terlihat kelelahan saat ini. Wajar saja, di umurnya yang mungkin sudah lewat setengah abad, berjalan cepat bolak-balik di ruangan yang bagian dalamnya cukup luas hingga bisa dimasuki sekumpulan bison afrika ini tidak bisa dikatakan sebagai perilaku normal.
Alih-alih menjawab, wanita itu malah kembali berdiri, berjalan menuju ruang pribadinya yang hanya beberapa petak itu, lalu kembali dengan catatan kecil di tangan kanannya. Wanita itu duduk lagi lalu melipat kakinya.
"Pesanan kue. Setiap tahun pasti selalu ada. Toko ini juga mendapat penghasilan untuk satu tahun dua puluh persennya dari pesanan ini." Nyonya Peruglia berucap, sedang matanya tidak lepas dari kertas di tangannya.
Aku diam saja mendengarkan. Pun, setelah dia selesai, aku masih tidak mengerti dan pertanyaanku tadi tidak dijawabnya dengan jelas. "Pesanan apa?"
"Kue. Sudah kubilang kan tadi?"
"Kue apa, Nyonya? Tidak mungkin kan kita memberikan kue dari kol dan bawang bombai muda untuk walikota?" tanyaku lagi.
Salah jika aku menganggap bahwa wanita ini adalah orang normal dari sekian banyak penduduk Scallian yang sifatnya kebanyakan tidak jelas itu.
Nyonya Peruglia tenggelam lagi dalam catatan lusuhnya. "Benar juga. Kenapa tidak bertanya dari awal?"
Lagi-lagi salah total jika menganggap bahwa bekerja di tempat ini seribu tingkat lebih baik dibandingkan dengan bekerja sebagai loper koran di tempat Tuan Gulliver.
Ingin sekali aku berjalan ke arahnya, berjinjit sedikit untuk menjangkau daun telinganya, lalu berteriak kuat-kuat sambil mengatakan bahwa aku sudah bertanya seperti itu sejak saban menit.
Tapi, jika bisa pun pasti aku akan langsung kehilangan pekerjaan di tempat ini semenit setelahnya dan aku tidak ingin hal itu terjadi.
Bisa gawat jika aku berada di kota ini sampai tahun depan.
"Jadi, kita akan membuat kue spesial."
"Kue spesial seperti apa?"
"Ya ... spesial. Dibuat setahun sekali," jawabnya singkat.
"Kalau itu aku juga sudah tahu, Nyonya. Ada hal lain yang sekiranya bisa lebih menggambarkan seistimewa apa kue pesanan dari walikota itu?"
"Ada di catatan."
"Mana catatannya, Nyonya?"
"Sedang kubaca."
Demi peradaban aneh di pegunungan Eropa Barat, aku tidak tahu apakah Nyonya Peruglia sedang bercanda, tidak suka kepadaku, atau memang pikirannya sudah dipenuhi oleh resep-resep kue sehingga fungsi dasar otaknya mati semua.
Aku memutuskan untuk tidak bertanya lebih jauh lagi--walau sebenarnya dari tadi yang kami lakukan hanya berputar-putar di lingkaran pertanyaan yang sama.
Ada kemungkinan ia akan mengabaikanku atau malah menjawab dengan balasan yang lebih bodoh lagi dari sebelumnya. Jadilah, aku memilih untuk pergi ke ruang penyimpanan demi mengambil margarin--mentega saat ini tengah mahal dan Nyonya Peruglia belum menambah stok di penyimpanan toko.
Aku kira masalah yang bisa membuat kepalaku pusing hari ini sudah habis. Yang ada, Nyonya Peruglia mulai berkata yang aneh-aneh saat aku tengah mengaduk adonan pai labu.
"Kuenya spesial karena dibuat setahun sekali dan dipesan oleh walikota, kuenya spesial karena dibuat setahun sekali dan dipesan oleh walikota, kuenya spesial karena dibuat seta--"
Dia mengulang-ulang kalimat itu sambil bersenandung ria. Nyonya Peruglia masih duduk di posisinya, tidak berlenggak-lenggok lagi di bagian dapur seperti kucingnya Bargin Meath ketika tengah merayu salah satu kucing hitam di belakang rumahku.
"Nyonya, apa yang kau lakukan?"
Lagi-lagi dia berhenti lalu mulai menatapku dengan tatapan terkejutnya yang beberapa detik sebelumnya sama sekali berbeda itu--raut bahagia seperti baru saja menambang satu gerobak emas. Pula, apa reaksi yang ia harapkan dariku setelah satu menit menyanyikan lagu aneh yang liriknya diulang-ulang itu?
Cepat-cepat wanita itu merapikan celemeknya yang terlipat karena sudah terlalu lama berada dalam posisi duduk, berdiri, meregangkan persendian dan tulang-tulangnya hingga ada bunyi kemeretak setelahnya, lalu berjalan menuju meja tempat menguleni adonan kue seakan-akan tidak ada hal yang terjadi.
"Ngomong-ngomong, ada kerjaan baru yang harus kau lakukan mulai besok." Nyonya Peruglia menyelaku ketika akan memasukkan salah satu adonan pai ke dalam pemanggang kayu bakar.
Aku menoleh. Kerjaan baru? Apa itu artinya aku akan dipecat dari sini dan dipindahkerjakan ke tempat lain?
Pikiran-pikiran jahat memenuhi otakku. Sebenarnya, kontrakku dengan toko ini belum genap seminggu jadi mana mungkin aku akan dipindahkan tapi tetap saja, aku merasa takut jika benar-benar akan dipindahkan ke tempat lain.
"Tidak, tidak, kau tidak akan kupindahkan ke tempat lain. Jika pindah pun, tidak pindah tempat kerja secara keseluruhan. Kerjaanmu di toko ini akan bertambah mulai besok. Setiap jam sembilan pagi, kau harus berdiri di depan pintu toko sambil menerima benda apa saja yang ada di daftar yang akan kuberikan nanti," tambahnya, seperti berusaha menenangkanku yang sudah ancang-ancang untuk memasang wajah memelas jika saja memang benar dipindahkan ke tempat kerja yang lain.
Aku mengembuskan napas lega. Untung saja aku tidak benar-benar dipindahkan ke tempat kerja yang lain. Hanya berpindah dari dapur menuju teras toko. Berjarak satu lapangan bola pun tidak sampai.
Pun, kerjaan baruku tidak seburuk yang kuperkirakan di awal. Menerima paket kedengarannya tidak terlalu susah dan aku yakin bisa melakukannya dengan senang hati. Itu sama saja seperti kebalikan dari kurir jadi aku yakin aku tidak akan kelabakan nantinya.
"Jadi, itu saja?"
"Tentu. Mau ditambah lagi dengan mengepel dan membetulkan genting serta papan nama toko?"
Terima kasih, Nyonya Peruglia. Tapi sayang, aku tidak mau.
••••
Akhirnya aku bisa pulang juga setelah seharian bekerja di tempat milik Nyonya Peruglia. Hari ini wanita itu memutuskan untuk membukanya lebih lama sehingga aku harus bekerja di situ sampai sore--matahari bahkan sudah mau tenggelam di balik Gunung Telulang saat aku sedang berjalan di blok nomor empat.
Tadi, di toko Nyonya Peruglia, pelanggannya lebih banyak dari hari kemarin. Di akhir hari, jika dilihat-lihat, tokonya masih tetap sepi juga. Paling hanya bertambah selusin pembeli saja dibandingkan hari kemarin.
Dia sendiri yang berkata bahwa di saat-saat seperti ini toko kuenya sedang berada dalam masa surut pelanggan tapi dia sendiri juga yang masih tetap bersikeras untuk membuka toko sampai senja.
Terlanjur membuat banyak roti gandum yang hanya bertahan satu malam di dalam toko mungkin menjadi salah satu alasan yang ia pilih namun tetap saja, ucapannya kemarin berkebalikan sekali dengan hal yang wanita berambut abu sebagian itu lakukan hari ini.
Hari ini jalanan pun masih sama sepinya seperti kemarin. Daun kering berubah menjadi lemas, ceruk di bawah pohon ceri masih berlumpur, dan bau tanah basah tercium di mana-mana.
Ah ....
Orang-orang dengan pakaian yang sama dengan rombongan yang kulihat saat pulang kerja kemarin mendadak muncul dari balik salah satu belokan. Kali ini arak-arakannya makin besar dan jumlah orang di dalamnya bertambah.
Tidak bersuara, apalagi mengacau sekitar. Yang orang-orang itu lakukan hanya berjalan sambil sesekali melirik ke arahku--tidak semuanya, hanya satu atau dua orang saja.
Aku tidak tahu mereka mau melakukan apa, tapi aku harap apa pun itu tidak akan ada hubungannya denganku.
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scallian : The City of Cloud [END✓]
FantasySelamat datang di Scallian! Di sini, kami memiliki beberapa hal yang harus diperhatikan oleh para pelancong--atau penyintas yang memasuki kota ini sepertimu. Kota ini bukan milikmu atau nenek moyangmu. Jadi, jangan terlalu penasaran mengenai seluk b...