Pesanan dari Pria Jangkung

71 15 6
                                    

Seperti perkiraanku puluhan menit yang lalu, aku benar-benar kesusahan saat akan pergi ke tempat kerjaku hari ini.

Hujan makin lama makin deras dan tidak ada tanda-tanda akan berhenti. Awan di atas sana menggelap seperti asap perapian yang membumbung. Petir baru muncul dua kali, tapi aku yakin ke depannya pasti bising guntur akan makin ramai terdengar.

Jalanan sepi. Lagipula, siapa penduduk bodoh yang mau-mau saja berjalan di tempat ini di tengah hujan? Jika tidak ada kepentingan pun, sudah pasti aku akan berdiam diri di rumah sambil menggulung diri menggunakan selimut.

Kakiku sakit. Jalanannya berlumpur, tapi masih ada kerikil yang tersebar di mana-mana. Pula, beberapa kali aku menginjak batu seukuran biji oak yang permukaannya kasar dan bisa merobek kulit kaki.

Sepatu dan kaus kakiku kusimpan di dalam mantel--aku bersyukur setelah tahu bahwa ada kantung yang cukup lebar di dalamnya. Aku lebih memilih untuk berjalan sambil mengaduh berkali-kali dibanding harus dimarahi Nyonya Peruglia sembari mengepel bekas lumpur di lantai toko.

Ketimbang kemarin, perjalanan menuju toko Nyonya Peruglia terasa lebih jauh hari ini. Aku sudah memakai mantel tebal, tapi aku masih merasa dingin--mungkin karena udaranya masuk dari bagian betis ke bawahku yang tidak tertutupi kain.

Tidak bisa berlari. Risiko terjatuh cukup besar saat tengah hujan seperti ini. Akan lebih konyol rasanya jika datang dalam keadaan wajah penuh tanah coklat basah dibandingkan telat satu jam.

Untung saja tidak ada hal-hal aneh atau mengganggu selain hujan di perjalananku menuju toko kue di bagian depan kota itu. Geraman aneh dari arah salah satu pohon di belokan nomor tiga dan lambaian tangan Tuan Bargin ketika aku melewati rumahnya adalah pengecualian. Setiap hari aku mengalaminya, jadi hal itu tidak istimewa lagi.

Sebelum mencapai tempat wanita tua itu aku sudah mengira-ngira jika tempatnya kosong melompong di jam-jam seperti ini. Ketika melewati belokan terakhir, tebakanku seratus persen benar.

Bagian depan toko lengang. Tidak ada siapa-siapa.

Kantor jasa antar di sebelahnya juga tidak kalah sepi--mau jam berapa pun sebenarnya tempat itu memang tidak pernah ramai. Pada hari pertama, jika tidak ada orang lain yang keluar dari tempat itu pun aku pasti akan mengira kalau kantor Tuan Gulliver adalah bangunan terbengkalai yang entah bagaimana caranya belum juga diratakan oleh pemerintah kota.

Blok ini bahkan seperti tidak ada tanda-tanda kehidupannya sama sekali. Hanya ada suara air hujan yang mengetuk kuat atap-atap bangunan blok depan kota. Bau tinta, kue, dan pemanggang kayu bakar tertutupi oleh aroma tanah basah.

Sunyi.

Aku berjalan menuju pintu depan toko kue. Bagian depan toko itu basah juga. Tidak ada kanopi, atap tambahan, atau penutup metalik jadi wajar saja jika bagian itu ikut basah.

Sepatu dan kaus kaki kukeluarkan dari mantel. Tidak basah dan masih sama seperti terlihat di rumah terakhir kali. Baguslah. Artinya, kakiku yang sakit tidak sia-sia berjuang demi keringnya sepatu ini.

Setelah dikeringkan sedikit, aku akhirnya memasangkan kaus kaki dan sepatu ke kakiku yang hampir mati rasa dari tadi.

Aku membuka mantelku. Bajuku masih kering--di bagian dadanya saja yang sedikit basah. Celanaku kuyup, tapi tidak ada air yang menetes jadi masih aman. Setelah aku menyisir sedikit rambutku yang basah terkena air hujan, aku sudah siap untuk masuk ke toko.

"Selamat pagi Nyonya Peruglia!"

Aku mengentaskan pintu depan kuat-kuat sampai ada bunyi terbanting tak lama setelahnya--aku menyesal melakukannya, tapi ya ... tak apalah.

Lampu ruangan sudah dihidupkan, rak-rak yang berada di sesi kanan sudah diisi penuh oleh roti gandum dan pai apel bertabur bubuk kayu manis.

Sapaanku tadi tidak dibalas. Mungkin dua wanita itu sedang berada di dapur, ruang penyimpanan, atau bagian belakang untuk membersihkan loyang dari kerak adonan gosong yang masih menempel seperti lumut di pedati Tuan Srunt.

Aku memanggil mereka lagi--sebenarnya aku hanya menyebutkan nama Nyonya Peruglia seorang, tapi aku akan menganggapnya ikut mewakili satu pegawainya yang lain.

Jawaban tidak kudapat, tapi aku bisa mendengar seorang wanita mengoceh dari arah dapur. Aku bergegas menuju ruangan itu, bermaksud untuk melihat apa yang sedang terjadi di tengah-tengah hujan deras seperti ini.

Yang kulihat setelahnya lumayan mengagetkanku. Nyonya Peruglia, salah satu karyawan berambut pirangnya yang kutemui pertama kali kemarin, dan seorang pria jangkung dengan tulang pipi menonjol yang sama sekali asing bagiku tengah mengobrol sambil menuliskan sesuatu di sebuah kertas.

Aku memutuskan untuk berdiam diri dulu sebentar di dekat pintu yang menghubungkan dapur dengan lorong menuju ruang utama.

Apa lagi yang akan kulakukan selain menguping pembicaraan ketiga penduduk asli Scallian itu? Dikatakan tidak boleh pun aku akan tetap melakukannya. Siapa tahu mereka tengah membicarakan tentang rahasia untuk keluar dari kota ini cepat-cepat, bukan?

Pikirku begitu sebelum salah satu karyawan Nyonya Peruglia menyadari kehadiranku yang tengah termenung di dekat pintu. Wanita itu menepuk pundak wanita tua di sebelahnya pelan lalu mulai berbisik di telinganya. Satu-satunya pria dewasa yang ada di situ ikut menatapku dengan pandangan bersalah. Tak lama setelahnya, aku dipanggil untuk menghampiri mereka.

Kata mereka, setelah akhirnya aku duduk manis mendengarkan sambil menumpu tangan di meja pendek, toko roti ini baru saja mendapat pesanan spesial dari walikota dan orang-orang berpengaruh di Scallian--Nyonya Griffith tidak termasuk.

Lima hari. Tidak lebih tidak kurang. Pesanannya harus sudah selesai dalam lima hari.

Mereka akan mulai mengerjakan pembuatan kue spesial ini besok, dan akan selesai lima hari ke depan. Entah sebuah kebetulan atau memang sudah direncanakan, tetapi tenggat waktu sampai aku selesai dipekerjakan di tempat ini dengan batas waktu pembuatan kue itu sama.

Persetan, eh.

Toh, aku tidak diharuskan untuk pusing-pusing memikirkan hal itu jadi untuk apa aku mengacuhkannya? Satu-satunya hal yang harus kucari titik terangnya adalah bagainana cara mengumpulkan ratusan koin emas Scallian dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dan dengan mengeluarkan tenaga serendah-rendahnya.

Hari ini pun, masih sama seperti hari kemarin--kecuali dari segi kue yang harus kubuat, tentu saja. Nyonya Peruglia menyuruhku untuk memecahkan telur dan mengembangkan adonan roti kismis setelah pria jangkung itu pergi sambil meninggalkan sepucuk kartu nama di meja pembayaran.

Jika ada hal lain yang berbeda selain menu toko kue hari ini, maka itu adalah tentang sikap aneh wanita tua itu dari tadi. Berkali-kali ia bolak-balik dari ruang penyimpanan, ke dapur, ke rak-rak roti di bagian depan, kembali ke dapur, masuk ke ruang penyimpanan, melenggang menuju bagian belakang, lalu bergegas lagi menuju ruang penyimpanan seperti tengah mengejar tempat terakhir di pesta dansa kerajaan.

"Nyonya, ada apa?" Karena tidak tahan lagi--sekaligus risih, aku memutuskan untuk bertanya kepada wanita itu.

Nyonya Peruglia berhenti berjalan, tersenyum kecut, lalu menghampiriku. "Tidak apa," jawabnya. Setelah itu pun, ia cepat-cepat duduk di kursi bundarnya.

Hmm ....

Jelas-jelas dirinya ada apa-apanya saat ini.

Hmm ....

Mencurigakan.

Tbc.

Scallian : The City of Cloud [END✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang