"Kau benar-benar sudah memeriksa bagian luar gerbang?"
"Tentu saja!" Annabeth mengangguk lalu mendengkus. Sepertinya gadis itu tersinggung karena dianggap main-main ketika memeriksa gerbang tadi. "Aku sudah berjalan bermenit-menit di luar gerbang. Kau sendiri yang menyuruhku memeriksa di sana."
Annabeth berdiri cepat-cepat lalu menunjuk tiga patung besar yang berjalan lamban itu. "Mereka pasti menggunakan sihir!" serunya kuat-kuat, sengaja agar tiga patung itu mendengar ucapannya--pun, aku meragukan apa mereka bisa mendengar karena tidak satu pun yang memiliki telinga.
Satu dari tiga patung itu berjalan lebih cepat. Ada gempa bumi kecil yang tercipta saat itu. Annabeth duduk lagi, melirikku, lalu cepat-cepat memandang blok terdekat, pura-pura tidak melihat tiga patung itu.
Patung itu makin dekat.
Aku takut. Annabeth tidak. Gadis itu hanya pura-pura ketakutan dan memegangi pundakku kuat-kuat--lebih mirip mencengkeram. Pundakku sampai sakit dibuatnya. Saat ditanya alasannya pun, gadis itu berkata bahwa ia ketakutan dan bisa mati jika tidak berlindung di belakangku.
Padahal, setelahnya dia hanya tertawa-tawa seperti orang bodoh.
"Patung itu menggigit tidak?"
Satu lagi pertanyaan sinting yang keluar dari mulut Annabeth.
"Patung yang rambutnya panjang bisa membesarkan diri lagi tidak?"
Sudah dua.
"Ah, kenapa mata yang paling kecil tidak sebesar dua yang lainnya?"
Tiga. Masih tidak kujawab. Semakin didiamkan, Annabeth malah semakin menggila.
"Yang itu--"
"Aku bersumpah, Annabeth. Jika kau bertanya sekali lagi tentang patung-patung itu yang aku tidak tahu sama sekali apa jawabannya, aku akan langsung memukul kepalamu dengan ranting ini."
"Jangan nangis, Arthur. Malam nanti aku akan beli banyak permen agar emosimu tidak meledak-ledak lagi seperti ini."
Sial.
Benar dugaanku. Semakin diladeni, dia akan semakin menjadi tidak waras. Tapi, jika didiamkan, hasilnya akan sama saja.
Kami baru kenal beberapa hari--belum sampai tiga hari, malah. Namun, gadis ini, dari kemarin selalu mempermainkanku seperti sudah kenal bertahun-tahun layaknya Hisk. Aku kira, lelaki yang masih kecil saja sudah rabun dekat itu adalah satu-satunya anak otak miring di panti.
Aku salah.
Haahh ....
Ah, tapi dibelikan kembang gula tidak ada salahnya juga.
Ya sudahlah.
Toh, karena Annabeth, pikiranku yang sepenuhnya terpusat kepada tiga patung tadi tiba-tiba hilang entah ke mana.
Monumen batu berbentuk manusia berbadan aneh itu tidak berbicara apa-apa. Jalan mereka malah ikut dipelankan--mungkin sakit hati karena tidak dipedulikan, tapi lagi-lagi, apa peduliku?
Karena tidak sadar, patung-patung itu sudah berdiri lagi di tempat mereka biasa berjaga. Di atas tanah yang lembap dan sedikit lebih dalam daripada tanah di sekelilingnya--jika hujan, aku yakin tempat mereka berpijak bisa menjadi kubangan air atau kolam kecil untuk kodok hijau.
Setelah ini, aku tidak tahu lagi harus melakukan apa.
"Apa yang harus kita lakukan?" Annabeth bertanya seperti itu, tapi yang ia lakukan malah berjalan mendekati salah satu patung.
Gadis itu berpose.
Berpose.
Berpose seperti orang yang tidak memiliki akal, tepat di sebelah salah satu patung yang tampangnya seperti ingin cepat-cepat melenyapkan siapa saja yang ditemuinya, sambil sesekali mengetuk-ngetuk kaki patung itu menggunakan salah satu batu besar yang ada di dekatnya hingga menimbulkan bunyi bertumbuk yang nyaring.
Aku mulai meragukan bahwa ucapannya yang menyuruhku untuk bertanggung jawab ketika dia mati beberapa menit yang lalu bukan main-main.
"Apa yang kau lakukan?" Aku berdiri. Bukan karena ingin mengejarnya, tapi gara-gara kakiku kesemutan--jika terus berada dalam posisi duduk seperti tadi, bisa-bisa aku tidak akan bisa berdiri lagi nantinya.
Annabeth diam saja. Ia malah makin kencang memukul-mukulkan batu di tangannya ke kaki patung itu, memanjatnya, lalu memukulkan batunya lagi ke bagian betis patung.
"Kau bisa mati, hei!"
"Aku mencoba untuk membangunkan patung pemalas ini. Diajak berbicara saja ia tidak mau, bagaimana mau menjaga gerbang?"
Demi pai wortel Nyonya Crocombe, gadis ini benar-benar sudah gila.
"Kau bisa terjatuh jika mereka bergerak."
"Aku akan bangun lagi."
"Tidak bisa, Bodoh! Kalau mereka langsung menginjakmu bagaimana jadinya?"
"Tidak apa, Arthur. Aku tidak lamban sepertimu. Jika terinjak pun, belum tentu aku akan mati."
Aku tidak mau lagi meladeninya. Tingkahnya benar-benar membuatku sakit hati. Lihat, sekarang gadis itu malah beralih ke patung yang lain, mengambil salah satu ranting pohon yang kurus dan ditutupi salju, lalu menyelipkan benda itu di sela-sela kaki yang sedikit retak lalu berteriak kencang-kencang bahwa ia sudah berhasil membuat sebuah penemuan hebat berupa kaki batu berduri landak.
Tidak ada lagi yang bisa kulakukan. Patung itu tidak akan mau berbicara hari ini, besok, berhari-hari ke depan, dan untuk siapa yang tahu. Patung itu bahkan tidak bisa membuka bibirnya. Jika berbicara, aku akan lebih terkejut daripada didiamkan sebulan penuh.
Tuan Suara-tanpa-nama juga tidak memberikan saran apa-apa untuk dipakai saat ini. Orang itu pergi begitu saja kemarin siang setelah mengabarkan bahwa aku sudah bisa bekerja di gerbang kota.
Apalagi yang bisa dilakukan selain menunggu? Annabeth, di sana, juga tidak tahu lagi ingin melakukan apa setelah berhasil membuat kaki patung terakhir lecet dengan bentuk kepala beruang. Gadis itu duduk, bersin sekali, berdiri, berjalan sebentar, lalu duduk lagi di sana.
Salju masih turun. Tidak banyak, tapi tetap saja dingin. Aku kedinginan. Mantelku dipakai Annabeth dan aku tidak memakai pakaian tebal--lebih tepatnya tidak punya. Pakaian tidurku pun tidak bisa membuatku berhenti pilek di pagi hari.
Satu jam, patung-patung itu tidak bergerak juga. Ini adalah pekerjaan paling membosankan sejauh ini. Dari tadi, yang kami lakukan hanya menunggu, duduk selonjor kaki sambil sesekali bermain lempar bola salju yang susah-susah dibentuk karena salju di tanah belum cukup banyak.
Ah.
Jika diingat-ingat lagi, Tuan Suara-tanpa-nama belum memberikan informasi mengenai upah yang bisa kami dapat dari bekerja di gerbang kota. Kalau saja aku dan Annabeth tidak mendapat upah di atas lima puluh koin, aku akan marah-marah selama seminggu.
"Arthur, apa dari kemarin tugasmu hanya seperti ini?" Annabeth berjalan mendekati pohon. Wajahnya lesu, jalannya terhuyung-huyung. Semangatnya tadi pagi mendidih, menguap, dan hilang dalam waktu beberapa jam.
Aku menggeleng, mengendikkan bahu. "Tidak tahu," jawabku. Setelahnya, aku menunjuk gerbang setelah mendapat satu ide. "Tapi, menurutmu, jika kita berdiri di depan gerbang, apa kita akan mendapat hal-hal yang lebih menarik daripada berdiam di sini saja?"
Annabeth berpikir. Wajahnya berseri karena baru saja mendengar ide bagus. "Kenapa tidak menyarankan dari tadi?"
"Belum terpikir."
"Ya sudah, ayo menjaga gerbang depan. Tugas kita memang itu, bukan? Jika berdiam di sini saja dan berlagak seolah sudah menjaga gerbang, itu bukan bekerja namanya."
Hari ini, tiga kalimat yang Annabeth ucapkan barusan adalah kata-katanya yang paling bijaksana sejak pagi tadi.
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scallian : The City of Cloud [END✓]
FantasiSelamat datang di Scallian! Di sini, kami memiliki beberapa hal yang harus diperhatikan oleh para pelancong--atau penyintas yang memasuki kota ini sepertimu. Kota ini bukan milikmu atau nenek moyangmu. Jadi, jangan terlalu penasaran mengenai seluk b...