Coklat Panas, Teh Bunga, dan Gosip Hangat di Ruang Tengah Nyonya Griffith

32 11 0
                                    

Nyonya Griffith berbalik memasuki rumah. Satu jari telunjuknya terangkat dan membuat gestur agar kami berdua bisa mengekorinya ke mana pun ia akan berhenti. Tidak ada percakapan lagi. Ucapannya yang terakhir masih berhenti di kelakar tentang coklat panas, kue kering, dan daging babi panggang.

Andaikata ketika melihat gerbang dan bagian luar rumah Nyonya Griffith bisa membuat rahangku dan Annabeth membuka lebar hingga menggantung di udara selama satu menit penuh, maka bagian dalam rumahnya akan membuat rahang kami hilang dari tempatnya jika-jika tidak dilapisi daging.

Istana. Rumah Nyonya Griffith tak ubahnya istana kerajaan kontemporer. Beberapa ukiran kayu terlihat menggantung rapi di salah satu sisi dinding. Sisi satunya berisi foto-foto wanita itu dengan orang lain--barangkali bersama kolega sepermakmuran Scallian. Ketika memasuki ruang tengah, ada hiasan kepala rusa jantan tua lengkap dengan tanduk-tanduknya di dekat jam kayu besar yang berdentang dua kali ketika kami lewat.

Biru dan merah muda lapis. Nuansa lorong menuju ruang depan saja sudah cukup untuk membuat kami merasa satu kasta lebih tinggi dibanding walikota Blisshore.

Mengherankan, tetapi aku tidak akan protes.

Karpetnya merah tua royal. Apabila diinjak, kaki kami serasa tengah berjalan di hamparan kelopak bunga lili merah. Ada tangga besar yang meliuk-liuk di dekat salah satu pintu. Agaknya di atas sana ada ruangan lain tempat Nyonya Griffith bekerja atau melakukan kegiatan pribadinya. Namun yang pasti, ruang tengah adalah tempat wanita itu menjamu tamu.

Wanita itu berhenti di ruang tengah. Ia berjalan lambat menuju kursi beludru panjang yang ada di dekat perapian, menepuk-nepuk bokongnya sedikit, lalu duduk hingga tenggelamlah sofa empuk itu di belakangnya. "Duduk dulu. Mari perbincangkan sebentar perihal makan malam apa yang ingin kalian minta malam ini," katanya kemudian dengan nada serak.

Annabeth duduk, aku mengikutinya. Sepertinya sudah sedari memasuki pintu depan gadis itu ingin mendudukkan diri ke salah satu kursi empuk milik Nyonya Griffith. Begitu dipersilakan, betapa bahagianya wajah gadis berbibir tipis itu. Bagai pemburu yang berhasil memanah kijang besar di hutan.

Sejak duduk, Annabeth diam saja. Kepalanya berputar-putar untuk melihat keadaan dalam rumah. Gadis itu masih kagum dan tidak bisa menyembunyikan rasa antusiasnya--aku juga, tetapi tetap kutahan agar tidak menjadi bahan olok-olok oleh Annabeth ketika pulang nanti.

Barulah ketika ditanyakan untuk yang kedua kali, salah satu dari kami mulai menjawab. Tidak sopan juga rasanya jika mengabaikan wanita yang sudah memiliki niat baik untuk membantu kami itu. Annabeth yang membuka suara. Ia berkata, "Kami ingin minta apa saja, Nyonya. Yang penting bisa dimakan, tidak berjamur seperti roti yang Arthur simpan di lemari penyimpanan, apalagi busuk seperti sosis daging dari Bargin Meath yang lupa untuk Arthur keluarkan."

Nyonya Griffith tertawa setelahnya. Entah karena apa, tetapi aku akan dengan mudah berpikir kalau-kalau wanita itu terbahak hingga terlihat gusinya sebab perkataan Annabeth yang menunjukkan bahwa hidup kami di kota ini sudah luar biasa susah. Jangan lupakan juga kata-katanya yang walau dicoba untuk diperhalus seperti apapun, tetap saja di akhir hari akan membuatku seolah-olah mengambil peran 'anak ceroboh' di kelompok.

"Ada babi panggang di dapur. Kue keringnya belum dimasukkan ke dalam pemanggang kayu. Mau menunggu dulu beberapa puluh menit? Tenang saja, aku akan menemani kalian setelah memasukkan adonannya ke dalam oven. Kalian tidak akan mati bosan di rumah ini."

Nyonya Griffith tersenyum lagi. Lalu wanita itu berdiri, berangkat dari duduknya. Tanpa butuh persetujuan kami, ia langsung berjalan cepat menuju dapurnya yang berada di sebelah tangga. Aku menunggu beberapa menit dan dari dapur sudah banyak terdengar bunyi buka-tutup pemanggangan dan dentingan sendok adonan yang beradu dengan loyang.

Annabeth ingin melihat lebih jelas. Gadis itu telah berdiri dan sudah mengambil ancang-ancang. Kemungkinan besar gadis itu akan mengacau di dapur sebelum dirinya kuperingatkan tentang janji yang ia buat beberapa jam yang lalu. Menjaga adab. Bagaimanapun juga, aku ragu dengan janji yang Annabeth katakan tadi siang. Jika tidak diperhatikan, aku pasti akan mendapat masalah besar karena Annabeth yang membuat onar.

Haahh ....

Rumah Nyonya Griffith, bagian dalamnya berbau vanila. Tidak jauh berbeda dengan toko roti milik Nyonya Peruglia. Wanita itu senang memanggang dan memasak. Aku jadi yakin kalau hanya rumah Nyonya Turner dari Blisshore seorang yang bau ruang tengahnya seperti kol rebus dan tomat asam. Pun, bagian luar rumah wanita ini beda lagi. Bau tanah guyuran hujan. Sepertinya lagi, Nyonya Griffith sering menyirami halamannya dengan air danau tiap waktu kecuali musim dingin tiba.

Hampir lima belas menit sebelum wanita itu kembali lagi menghadap kami. Namun, ketika sudah hampir duduk, Nyonya Griffith malah kembali lagi ke dapur. "Aku lupa membuatkan kalian coklat panas," ucapnya panik, kemudian berjalan terburu-buru kembali ke dapur.

Menunggu lagi. Wajah Annabeth langsung cerah begitu mendengar kata 'coklat panas'. Keadaan malam ini juga dingin dan mendukung, sama seperti malam-malam sebelumnya--ah, memang seperti itu hukum alam di Scallian dan Blisshore. Tidak ada rumah yang ketika malam musim dingin ruangannya menjadi gerah kecuali dalam satu kamar ada tiga anglo kayu bakar sekaligus.

Nyonya Griffith kembali lagi setelahnya. Wanita tua itu berjalan kesusahan karena tangannya memegangi nampan yang penuh oleh tiga cangkir porselen besar. Dua berisi coklat panas dengan asap yang mengepul dan krim kocok manis di puncaknya, sedang satu sisanya berisi teh bunga--barangkali untuk wanita itu minum ketika berbicara bersama kami. Diletakkannya nampan itu di atas meja kaca lebar yang ada di dekat kayu dengan hati-hati.

"Aku baru pertama kali melihat kalian datang ke rumahku. Mengapa tiba-tiba sekali?" Begitu ucap Nyonya Griffith, sedang tangannya memasukkan bongkahan gula ke dalam cangkir tehnya. Ia menyesapnya sekali, berdehem kecil, kemudian lanjut membuka mulut. "Untung saja malam ini aku sedang luang. Jika tidak, mungkin aku tidak akan bisa berbincang dengan kalian seperti sekarang, hahaha."

Sebagai tamu yang baik, aku ikut tertawa. Annabeth tidak. Tatapannya berubah bingung karena tidak mengerti dengan ucapan Nyonya Griffith.

Hahaha.

Aku juga.

"Kami kelaparan, Nyonya. Upah kami sudah habis karena dirampas paksa oleh penduduk kota yang lain." Aku berkata apa adanya. Nyonya Griffith terlihat kaget sebentar, lalu setelahnya berlagak seolah semua yang dilakukan penduduk kota adalah hal senormal memetik bunga di musim semi dekat kaki gunung.

"Penduduk-penduduk di sini memang seperti itu."

Setelah pertanyaan terakhirnya kujawab dengan baik, wanita itu bercengkerama lagi. Ia menanyakan namaku, nama Annabeth, asal kami berdua--yang kujawab dengan alamat rumah tumpangan kami--, serta hal-hal lain perihal dirinya yang ingin kembali menjadi muda ketika melihat kami yang nekat berjalan melintasi kota di malam dingin seperti sekarang.

Perbincangan dan gosip-gosip hangat terus berlanjut hingga teh bunga wanita tua itu habis, cangkir coklat panas Annabeth sudah tersisa setengah, dan bau kue di pemanggang sudah tercium oleh hidung Nyonya Griffith yang berkeriput.

Sambil kembali dengan membawa loyang kue kering, wanita itu duduk lagi. Tangannya menawarkan dan menyuruh kami untuk menyantap satu atau dua kue kering yang baru saja ia keluarkan dari oven. Panas. Aku menolak dan mengatakan bahwa aku akan menunggu hingga kuenya sudah cukup dingin untuk dipegang.

Sembari menunggu, aku tidak pernah menyangka bahwa kalimat yang keluar dari Nyonya Griffith akan kudengar malam ini.

"Arthur, aku tahu ini tidak mungkin tetapi kau harus tahu satu hal. Wajahmu persis dengan orang yang kukenal ketika masih kecil dulu."

Tbc.

Scallian : The City of Cloud [END✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang