Aku berhasil sampai ke rumah dengan selamat. Orang-orang tadi seperti pura-pura tidak melihatku, jadilah aku juga melakukan hal yang sama kepada mereka. Keberadaan mereka sama mengganggunya seperti arak-arakan sirkus konyol di tengah kota yang di dalamnya ada dua ekor gajah betinan berbau kulit lapuk.
"Aku pulang!" seruku begitu sampai di rumah. Pintu depan kubuka lebar-lebar agar udara segar dari luar masuk ke dalam. Persetan dengan anai-anai dan serangga malam yang lain. Bau kayu basah yang disimpan dalam ruangan tertutup selama berjam-jam lebih tidak baik untuk kesehatan dibandingkan dengan sayap laron yang sering lepas dan masuk ke lubang hidung itu.
Tidak ada jawaban. Tuan Suara-tanpa-nama juga sepertinya sedang tidak berasa di rumah. Jadwal kunjungannya ke rumah ini masih abu-abu, tapi ia selalu saja berlagak seolah-olah orang paling disiplin seantero dunia atas dan bawah.
Aku masuk ke rumah. Tidak ada jawaban berarti tidak ada larangan masuk. Lagipula ini rumahku sendiri.
Pintunya kututup pelan setelahnya--tidak lucu jika Nona Ruby tiba-tiba terbangun hanya karena mendengar suara engsel yang berderit.
Sepatunya kusimpan di dekat pintu. Jika di lemari nanti dimakan rayap, pun jika ditaruh di dekat dapur bisa-bisa dikencingi tikus. Setelah disimpan, aku langsung pergi ke kamar mandi. Badanku lengket oleh keringat di segala bagian.
Pakaianku malam ini tidak ada bedanya dengan malam kemarin. Jumlahnya banyak, tapi modelnya itu-itu saja. Baju yang bagian bawahnya kebesaran dengan jahitan asal-asalan, pun di bagian bawahnya hanya memakai celana pendek dengan kaki telanjang--sudah beberapa kali kakiku menjadi jalur bagi kecoa dan luwing kayu yang tinggal di bawah lantai, tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk mengatasinya.
Ah, benar juga, aku hampir melupakan satu hal. Koin Scallianku lupa kuperiksa malam ini.
Untung saja koin-koin emas itu masih ada di bawah tumpukan baju di lemari. Jumlahnya sembilan belas. Satunya aku temukan jatuh menggelinding di dekat kotak selimut yang terlipat. Tadinya aku mau menyalahkan tikus dapur yang sering kulihat mondar-mandir di sini, tapi untung saja hal itu tidak perlu kulakukan.
Hmm ....
Jumlah koinku masih dua puluh. Jika aku selesai bekerja di tempat Nyonya Peruglia, aku akan mendapat tambahan koin paling tidak seratus buah.
Ah, tapi saat ini toko itu juga sedang menerima pesanan spesial yang katanya bisa menutupi banyak pemasukan dan pengeluaran toko selama satu tahun terakhir. Apa itu artinya aku akan mendapat upah tambahan?
Mengingat aku juga ikut ambil bagian dalam pembuatan pesanan itu, sepertinya aku pantas untuk mendapatkannya. Tapi lagi-lagi, apa yang bisa aku harapkan dari para penduduk kota ini? Di toko tadi saja wanita itu sudah berbicara yang tidak-tidak. Lagu anehnya bahkan masih terputar di kepalaku sampai sekarang.
Aku menyerah untuk berpikir. Jika mencari-cari kemungkinan terbaik pun, aku tidak akan bisa mengganti seruling Nyonya Griffith dan pergi dari kota sebelum bulan ini berakhir.
"Koinmu masih dua puluh tapi angan-anganmu sama besarnya dengan calon walikota di Blisshore. Menyedihkan."
Aku menoleh ke sembarang tempat. Tuan Suara-tanpa-nama tidak pernah tidak membuat jantungku melompat tiap kali ia datang ke rumah ini.
"Tidak ada. Aku hanya berniat untuk menghitungnya ulang. Lagipula, memangnya kau mau tanggung jawab jika ada satu koin saja yang hilang?"
"Tidak mau."
"Tidak bisa begitu!" Aku bersungut-sungut.
"Kenapa tidak bisa? Tikus saja lebih memilih selembar roti basi daripada satu koin Scallian jika ditawarkan dua-duanya." Suara itu kembali membalas dan seperti ingin mengajak berdebat untuk yang kesekian kalinya.
"Jika tidak ada harganya kenapa tidak mau tanggung jawab?"
Tuan Suara-tanpa-nama diam sebentar. "Karena aku tidak mau."
"Kenapa tidak?"
Siapa pun makhluk yang ada di balik suara itu, jika ia memiliki badan, hal yang ia lakukan pertama kali saat ini pasti adalah mengacak-acak rambutnya frustasi--itu pun kalau ia memiliki rambut.
Lagi pun bukan hanya dia yang kebakaran jenggot, tapi aku juga.
Seperti yang bisa kutebak, orang itu kembali mengalihkan topik dan memilih untuk membicarakan perihal kinerjaku di toko kue Nyonya Peruglia tadi siang.
"Biasa saja," jawabku pada akhirnya. Bukan respons yang ia harapkan, tapi aku tidak peduli. Siapa aku hingga harus memenuhi semua harapannya?
"Tidak ada hal yang istimewa sejak tadi pagi?"
"Apanya?"
"Di toko Nyonya Peruglia. Tidak ada hal yang spesial? Tidak ada pesanan dari walikota? Tidak ada pria jangkung yang datang memesan, duduk bersanding dengan Nyonya Peruglia dan asistennya yang masih muda itu, lalu membicarakan pesanan spesial dari pemerintah kota? Benar tidak ada?" cecarnya.
Aku mengangguk pelan. "Ada," jawabku singkat. "Ah, tunggu dulu. Kau mengikutiku? Kenapa kau tahu lebih banyak hal padahal aku yang berkerja di sana?" tambahku lagi.
Suara itu diam lagi. Sepertinya dia sedang merancang kata-kata untuk menjawab pertanyaanku barusan. Pada akhirnya, ia muncul lagi dengan jawaban, "Aku tidak mengikutimu dan wajar saja aku tahu lebih banyak karena aku lebih lama berada di kota ini dibanding dirimu."
Jawaban yang logis, tapi tetap saja tidak bisa diterima. Tapi, karena sepertinya ia tahu lebih banyak tentang hal ini dibandingkan orang lain yang ada di blok paling ujung kota, aku akan mulai bertanya-tanya kepadanya.
"Memang, kau sudah pernah melihat pesanan spesial yang mereka maksud itu seperti apa?"
"Sudah," jawabnya.
"Seperti apa?"
"Kue. Kau kan bekerja di toko kue. Tidak mungkin sekali rasanya jika walikota memesan babi guling di toko dengan model seperti itu. Bedanya, yang ini spesial."
Aku berusaha untuk tidak meledak dan kembali bertanya. "Apa spesialnya?"
"Lihat saja nanti. Jika kuberi tahu sekarang nantinya jadi tidak spesial lagi, bukan?"
"Sedikit saja. Beri aku sedikit saja petunjuk. Bisa kacau jika ternyata aku membuat pesanan kue yang bisa membunuh diriku sendiri," rengekku.
Alasanku nampaknya cukup masuk di akal dan tidak akan ada perlawanan lagi dari siapa pun ketika aku menanyakan hal ini--kecuali lawan bicaraku menderita spektrum.
Sunyi sebentar. Bukan Tuan Suara-tanpa-nama yang menjawabku, melainkan angin malam yang bersiul dari celah papan berjamur. Ditinggalkannya aku dalam ruang tidur sendirian bersama dengan kelap pudar lampu minyak.
Jika dia tidak menjawab pertanyaanku dalam lima menit ke depan, aku tidak akan pergi ke tempat Nyonya Peruglia besok. Suara itu diam. Jelas sekali ada yang salah dari pesanan spesial itu.
Bisa saja aku terbunuh di akhir minggu hanya gara-gara membuat sebuah kue dan aku tidak mau mati konyol seperti itu.
Di menit keempat, akhirnya dia menjawab juga. "Tidak, kau tidak akan mati."
"Lalu apa?"
"Tidak ada. Hanya saja, nanti kau akan bertemu dengan naga."
Eh?
Ehhhh?
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scallian : The City of Cloud [END✓]
FantasiSelamat datang di Scallian! Di sini, kami memiliki beberapa hal yang harus diperhatikan oleh para pelancong--atau penyintas yang memasuki kota ini sepertimu. Kota ini bukan milikmu atau nenek moyangmu. Jadi, jangan terlalu penasaran mengenai seluk b...