Annabeth mengatakan kalau seorang pria mendatangi tempat tinggal kami yang kayu-kayunya sudah melapuk sembari membawa ledakan amarah. Gadis itu, karena sudah ketakutan, memutuskan lari ke belakang dan menghampiriku untuk meminta bantuan--yang masih kusayangkan karena gadis itu salah orang jika ingin meminta pertolongan. Mana mau orang itu mendengarkanku jika usia kami saja terpaut jauh seperti anak laki-laki dan saudara tertua dari sisi ibunya yang datang dari dataran jauh.
Annabeth mencuri pandang ke belakang, takut-takut jika pria yang memarahinya tadi tiba-tiba sudah berada di dekat kami. Gadis itu melempar tatap ke arahku lagi, menaruh satu setengah kantong garam dapur yang belum ia gunakan, lalu mengajakku untuk pergi ke pintu masuk. "Orang itu ada di depan. Pintu belum kukunci. Aku takut nantinya pria itu akan menerobos masuk dan mengobrak-abrik kamar kita."
"Siapa orangnya?"
"Mana aku tahu, Arthur," ucap Annabeth tidak senang. Mulutnya diturunkan sedangkan kepalanya didongakkan hingga terlihat jelas batang lehernya.
"Yang pasti, jika melihat perawakannya, orang itu sepertinya salah satu penduduk yang taat aturan. Sepatunya mengkilat--barangkali sudah sering disemir, kemeja kotak-kotaknya tidak kusut, pun rambutnya sudah disisir ke samping. Namun, lain lagi jika kau melihat gelagatnya. Sama saja seperti rombongan penduduk yang datang kemarin malam," lanjut Annabeth, "gila."
Mendengar penjelasan Annabeth,, aku tahu bahwa aku harus mengambil pilihan untuk menghampiri orang itu terlebih dahulu sebelum lanjut menyebarkan garam. Pekerjaan ini bisa menunggu karena masih ada tiga jam lagi sebelum matahari terbenam dan Scallian diselimuti kegelapan total. Pula, orang ini jika tidak dihadapi jelas sekali akan mengacaukan rumahku setelahnya. Nampaknya hidupnya kelebihan masalah hingga harus menyebarkannya ke orang lain yang tak berdosa seperti kami berdua.
Menyedihkan.
Oh.
Tuan Gulliver.
Marah-marah, di depan rumah, sambil menghempaskan sepeda tuanya dan menggedor-gedor pintu seperti orang barbar. Hidungnya megap-megap, giginya berkeletuk, buku-buku tangannya memerah. Ada urat yang tercetak jelas di pelipisnya.
Tuan Gulliver berada dalam keadaan bukan dirinya saat ini.
"Tuan, ada yang bisa kami bantu?" Aku bertanya sesopan mungkin kepada orang yang sudah membuat pintu depan sedikit penyok itu. Jika saja pria ini tidak pernah mempekerjakanku di tempatnya, aku pasti sudah dari awal meninggalkan tata krama dalam menyapa tamu.
Tuan Gulliver, yang mendengar seruanku dari jarak beberapa kaki, lantas menatapku agresif seperti anjing liar yang menemukan ayam hutan. Pria itu berjalan lambat sedangkan tangannya dibentuk posisi seperti ingin mencekik leher. Annabeth lagi-lagi bersembunyi di belakangku karena ketakutan--aku juga merasakan yang sama, sebenarnya. Namun, kalau tetap merasa takut, orang ini pasti akan merasa mudah untuk mengintimidasi kami.
"Arthur, tahu tidak, sudah berapa banyak masalah yang kuterima karena dirimu?"
"Masalah apa, Tuan?"
Tuan Gulliver membersihkan tenggorokannya yang serak lalu merapikan posisinya. Pria itu bertegak-tegak dalam pose seperti pengawal kerajaan setelah puas memainkan peran penguntit gila. "Aku tidak suka begini. Namun, Arthur, sejak kedatanganmu ke kota ini, ada banyak sekali orang yang mengeluh ke kantorku. Minggu lalu masih sedikit. Hanya ada sepasang suami istri dan seorang pengrajin boneka kain yang mendatangi kantorku untuk meminta ganti rugi karena koran dan susunya tidak kunjung diantarkan."
Hah?
Hal ini salah dari berbagai segi.
"Bagaimana bisa, Tuan? Aku ingat jelas kalau semua susu dan koran sudah kuantarkan ke masing-masing rumah penduduk. Dua puluh rumah, bukan? Semuanya sudah dikirim sebelum jam dua belas. Tidak ada yang terlewat. Aku sudah menghitungnya betul-betul. Lagi pula, rumah terakhir adalah kediaman Nyonya Griffith." Aku protes sambil menghentak kaki.
Apa-apaan dengan tuduhan orang-orang itu? Aku sudah melaksanakan tugasku dengan baik. Aku juga masih ingat bagaimana bentuk rumah si pengrajin boneka tenun yang teras depannya dipenuhi potongan-potongan kain dan gelondong penyimpan benang yang sudah habis. Orang itu bahkan sudah memberikanku hadiah--ah, tidak patut lagi untuk disebut dengan hadiah saat ini--roti gandum sepuluh lembar. Pun, pria itu juga termasuk ke dalam arak-arakan pembawa masalah yang mendatangi rumahku sembari meledak-ledak tadi malam.
Apa-apaan?!
Aih.
"Aku tidak tahu. Yang jelas, orang-orang itu mengatakan kalau mereka ingin meminta rugi. Tidak kuhiraukan karena jumlahnya masih sedikit. Akan tetapi, Arthur, tahu lagi tidak?" Tuan Gulliver mendekatkan wajahnya ke arahku. Mata kami saling bertumbuk dan bau mulut pria itu santer tercium dari jarak sedekat ini.
Pria itu menarik kepalanya lagi. Ia menaruh tangannya di lingkaran pinggangku, mengguncangnya, kemudian berkata, "Tadi pagi, ada delapan--ah, tidak, sembilan belas penduduk mendatangi kantorku sambil bersungut-sungut. Beberapa di antaranya bahkan hampir menghancurkan pintu depan. Ruanganku diacak-acak oleh dua orang wanita tua dan mesin ketikku dibanting hingga hancur oleh pria gendut dari rumah permen kota ...."
".... Mereka meminta bayaran dan uang ganti rugi karena dua hal. Keterlambatan pengantaran dan kehilangan barang. Semuanya langsung menyalahkan pengantar koran dengan wajah dan bentuk tubuh yang sama sekali berbeda dari biasanya. Lebih tinggi, lebih kurus, dan lebih pendiam dibanding kurcaci bodoh yang kusimpan di lumbung belakang. Mereka meminta ganti rugi untuk barang-barang mereka yang telah hilang. Pendapatan bulananku ludes hari ini. Karenanya, aku tidak bisa membayar makanan untuk puluhan kurcaci pekerjaku."
Tuan Gulliver menarik napas panjang. Jelas sekali kalau ia juga sudah lelah saat ini. "Kurcaci-kurcaci itu, kukira mereka adalah pekerja-pekerjaku yang paling setia. Namun, ternyata, orang-orang cebol itu langsung menyerangku ketika telat diberi makan. Yang mereka inginkan hanya makanan manis dan gula-gula warna-warni. Tidak setia sama sekali seperti mantan istriku dulu. Ruang kerjaku dihancurkan, meja kerja, tempat pengarsipan, dan sepeda pengantar barang dipreteli ramai-ramai, lumbungku diluluhlantahkan hingga setengah bagiannya rata dengan tanah."
Tuan Gulliver menyelesaikan perkataannya dengan berlinang air mata. Ia mengeluarkan pengusap air mata dari saku kemejanya dan mulai meniup lendir hidung ke kain tipis itu. Pria itu berjalan lagi mendekatiku sembari sesekali melongokkan kepala ke dalam rumah.
"Aku ingin mengambil semua koin emasmu yang tersisa. Aku ingin tetap hidup dan memberi makan kurcaci-kurcaciku. Mereka bisa mati, aku bisa mati."
"Kami juga bisa mati, Tuan. Bagaimana kami bisa membeli makan jika tidak memiliki satu koin emas pun?"
Tuan Gulliver terlihat tidak peduli. Wajahnya mendadak berubah menjadi beringas lagi setelah mendengar penolakanku. Ia mencoba untuk membuka pintu dan berjalan terhuyung-huyung memasuki kamar. Aku tidak bisa menghentikannya. Badannya terlalu besar dan walaupun aku dan Annabeth nekat menggabungkan kekuatan, di akhir hari, kami akan terpental juga jika didorongnya dengan kekuatan penuh.
Tuan Gulliver keluar kamar dengan membawa kantong jahitan tempatku menyimpan koin emas sambil memasang air wajah berseri-seri seperti baru saja mendapat kabar bahwa mantan istrinya ingin membangun rumah tangga lagi dengan pria itu. Pria paruh baya dengan pipi kurus itu pergi menjauhi rumah tanpa berkata apa-apa lagi. Sepedanya yang bengkok karena sempat dibanting ke tanah bergoyang dengan aneh ketika dibawa berkendara.
Tidak pernah sekalipun dalam hidupku, aku mengharapkan seseorang jatuh dari sepedanya sekuat keinginanku hari ini.
Aih.
Seratus sembilan puluh lima koin emasku habis hanya dalam waktu dua hari satu malam.
"Tuan Gulliver tidak ada bedanya dengan Nyonya Peruglia. Maaf, Annabeth. Malam ini, kita tidak bisa makan."
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scallian : The City of Cloud [END✓]
FantasySelamat datang di Scallian! Di sini, kami memiliki beberapa hal yang harus diperhatikan oleh para pelancong--atau penyintas yang memasuki kota ini sepertimu. Kota ini bukan milikmu atau nenek moyangmu. Jadi, jangan terlalu penasaran mengenai seluk b...