Celemek dan Topi Penutup Rambut

58 16 2
                                    

Aku terpana melihat pintu depannya--cantik sekali

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku terpana melihat pintu depannya--cantik sekali. Bagaikan serigala dan cerpelai jika dibandingkan dengan pintu gubukku. Pintunya dari kaca dan kayu, berlurik sulur dan bunga daisy putih.

Belum sempat pintunya kuketuk, ada bunyi engsel yang digeser dari dalam. Pintu itu terbuka sebelum aku sempat menyentuhnya. Ada seorang wanita berambut pirang di sana.

"Ada apa?"

Aku mulai bertanya-tanya apakah ini gerangan wanita pemilik nama Peruglia tersebut. Aku mengharapkan sosok wanita tua lembut dengan tanda lahir hitam di sudut kiri bibirnya tapi yang kulihat di depanku adalah seorang wanita muda dengan wajah patung porselen.

"A-aku mau berbicara dengan Nyonya Peruglia."

"Tidak ada," jawabnya cepat. Wanita ini sepertinya ingin cepat-cepat menyuruhku pergi. "Nyonya Peruglia sedang tidak ada di dalam. Dia sedang pergi ke pasar untuk membeli tepung dan vanili."

Aku baru saja hendak berbalik dan menunggu di tempat lain sebelum wanita itu kembali berbicara. "Ada perlu apa sampai datang pagi-pagi sekali seperti ini?" tanyanya, sedang kedua tangannya membuka pintu depan kian lebar.

"Perlu berbicara dengan Nyonya Peruglia. Aku mau bekerja di tempat ini."

"Oh, jadi kau yang disebut-sebut oleh warga kota di sini, ya?" katanya.

Aku mengangguk. Sepertinya aku memang menjadi pembicaraan seisi kota terhitung sejak aku masuk ke kota ini. Wanita itu kemudian masuk kembali ke dalam toko, mengambil sebuah kursi kayu berkaki pendek, lalu meletakkannya di dekat rak kosong. Bibirnya menarik senyum yang luar biasa lebarnya--Nyonya penjaga di hari ulang tahunnya pun tidak pernah tersenyum seperti itu.

Wanita itu lalu menyuruhku masuk dan duduk di kursi yang ia sediakan. Agar aku tidak kepanasan di luar, katanya. Padahal, ini masih pagi. Tuan Matahari saja masih malu-malu untuk menari di atas langit.

Dan lagi, apa-apaan dengan perubahan suaranya itu? Aku jelas ingat bagaimana nada bicaranya beberapa menit yang lalu--datar dan seperti ingin mengutarakan ajakan untuk melakukan perang dingin dua kubu. Tapi sekarang, dia malah berusaha untuk melembut-lembutkan suaranya itu.

Ada yang salah dengan wanita ini.

Dari tadi aku menunggu Nyonya Peruglia yang belum juga kembali dari kegiatan berbelanjanya. Mungkin wanita itu terlalu cinta dengan bau sayuran dan daging segar di pasar, atau sedang menaruh hati dengan salah satu keledai tua yang ada di sana--yang mana hal itu sangat tidak mungkin terjadi, tapi masih sangat lucu untuk dibayangkan.

Wanita di sebelahku ini mengajakku mengobrol dari awal. Dia mencari topik-topik aneh seperti pameran naga terbang, kurcaci-kurcaci di dekat gua yang terlalu sering mengadakan pesta minum teh hingga membuat perut mereka sakit beberapa hari yang lalu, atau pun tentang keadaan kota sebelum aku datang.

Aku tidak tertarik sama sekali dengan hal-hal tersebut dan lebih memilih untuk pura-pura mendengarkannya. Yang harus kulakukan sekarang adalah menemui Nyonya Peruglia secepatnya.

Aku hendak bertolak menuju rumah karena sudah terlalu lama menunggu sebelum akhirnya seorang wanita tua dengan topi beludru merah batang hidungnya muncul dari salah satu belokan. Wanita ini sepertinya berada di kalangan atas. Jelas terlihat dari model pakaiannya yang necis dan eksentrik itu.

Wanita yang menemaniku mengatakan bahwa itu adalah Nyonya Peruglia dan setelahnya aku baru tahu kalau wanita di sebelahku ini adalah salah satu dari pegawai toko kue ini. Bagiannya menerima pembeli, sedangkan aku sepertinya akan berada di daerah dapur dan berkutat dengan mangkuk dan telur.

"Ada apa? Siapa?" Nyonya Peruglia bertanya tepat setelah ia menaruh barang bawaannya dari pasar ke meja dapur. Suaranya membosankan dan seperti dipanjang-panjangkan. Aku jadinya tidak yakin apakah kelak bisa bertahan dengan suaranya itu selama satu minggu penuh.

"Arthur. Aku ingin melamar menjadi salah satu pekerja di toko kue ini."

Nyonya Peruglia tampak terkejut dan seperti belum siap menerimaku. Matanya kelabakan mencari celemek dan topi penutup rambut. Alasannya tidak kuketahui, tapi yang pasti, dia terbilang cukup sehat untuk seorang wanita berusia di atas setengah abad. Dari tadi dia sudah mondar-mandir di ruang penyimpanan toko untuk mencari pakaian pelengkapku di sini.

Tunggu dulu ....

Kalau seperti itu, apakah artinya aku sudah diterima olehnya?

"Nyonya Peruglia."

"Sebentar!"

"Nyonya Peruglia, aku ingin berbicara."

"Satu menit ...."

"Nyonya Peruglia--"

"Berikan dua menit, dua menit ...."

Aku benar-benar tidak mengerti lagi dengan keadaan saat ini. Kenapa dia bisa panik sekali seperti itu? Aku bukan serigala bulu hitam, beruang sungai, apalagi malaikat pencabut nyawa. Tapi kenapa wanita ini malah ketakutan seperti baru saja melihat mayat seseorang?

Nyonya Peruglia akhirnya berhenti setelah dia menemukan sepasang apron putih dengan noda adonan kue di bagian tengahnya dan sebuah topi yang kebesaran. Dia akhirnya bisa bernapas lega setelah memberikan dua benda itu dan menyuruhku untuk langsung memakainya.

"Jadi, bolehkah aku bekerja di sini?" Aku bertanya setelah mengikatkan simpul terakhir. Baru kusadari bahwa ternyata pertanyaanku barusan terbilang tidak perlu lagi untuk dijawab karena jawabannya sudah terlalu jelas--siapa orang yang mau bersusah-susah mencarikan seragam pekerja jika pada akhirnya dia tidak mau menerima permintaan si pelamar, bukan?

Nyonya Peruglia mengangguk dan mengatakan bahwa ia sudah tahu bahwa aku akan melamar ke tempat ini--tapi bagaimana pun juga, dia sejenak lupa dan malah terlalu lama berbelanja di pasar kota dengan riang gembira. Mungkin Tuan Suara-tanpa-nama yang mengatakan bahwa aku akan ke sini.

Nyonya Peruglia juga mempersilakanku untuk berjalan-jalan di dalam toko. Agar bisa lebih mengenal ruangan-ruangannya, katanya. Aku tidak bisa menolak--untuk apa juga aku menolak kesempatan ini? Mana tahu aku bisa menemukan satu atau dua koin emas yang terjatuh di kolong salah satu rak.

Bangunan ini cukup besar dan di pikiran bodohku bisa menampung satu petak kebun apel milik Tuan Port di Blisshore. Bau kue yang dipanggang kemarin juga masih bisa kucium. Manis, dan aku suka berada di tempat ini lama-lama.

"Kapan aku bisa mulai bekerja?" Aku bertanya setelah kiranya sudah cukup untuk memutari tempat ini.

"Sepuluh menit lagi," kata wanita itu. Lima jarinya ikut terangkat, seakan mau memperjelas ucapannya yang sebenarnya sudah bisa kupercaya dari awal.

Baiklah, sepuluh menit lagi. Apa yang bisa kulakukan dalam sisa waktu setipis itu? Memanfaatkannya dengan kembali duduk tidak akan berguna ke depannya. Pula, aku sudah bosan melakukannya.

"Ngomong-ngomong, kalian sudah tahu tentang kehadiranku di kota ini?" Karena tidak ada hal lain lagi yang bisa kulakukan, aku mulai membuka basa-basi dengan dua wanita yang ada di dekatku ini.

"Sudah tahu."

"Dari mana?"

"Koran Tuan Gulliver."

Benar juga. Kenapa aku bisa melupakan hal tersebut? Ah, sepertinya aku harus banyak-banyak beristirahat sepulang dari sini atau aku tidak akan bisa lagi berpikir dengan baik.

Tapi sebenarnya, mengetahui bahwa kota ini ada pun sudah bisa membuatku kehilangan kewarasan.

Semoga otakku masih diberkati sepulang dari sini.

Tbc.

Scallian : The City of Cloud [END✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang