Pintu depan kuketuk dengan perlahan. Ada seorang pria di jalanan depan kantor yang menoleh ketika mendengarnya, tapi tak lama meladeni urusannya kembali. Tidak ada bunyi-bunyian mesin tik atau pena tinta yang bergurat di atas kertas koran abu polos.
Aku tidak bisa mengintip lewat jendela. Ada gorden dengan bordir bunga aster yang melapisi kaca-kaca bulat dengan sulur hijau yang merambat di sekelilingnya itu dari dalam. Lagipula, tidak seharusnya juga aku mengintip ke dalam bangunan sembarang tanpa seizin pemiliknya.
Tidak ada respon dari dalam. Pula, tidak ada peringatan-peringatan konyol tentang tidak boleh memasuki ruangan ini kecuali dibukakan oleh orang dari dalam di pintu masuknya. Pria bertopi tinggi yang sempat keluar dari dalam bangunan tersebut juga biasa-biasa saja saat berjalan keluar dari tempat ini barusan--walau sebenernya aku tidak tahu apakah pria itu merupakan pemilik kantor jasa antar barang ini, tapi tetap saja.
Begitulah jadinya sehingga aku memutuskan untuk masuk ke dalam tanpa perlu mendapat izin terlebih dahulu. Sekonyong-konyongnya Nona Larry yang pergi ke barat tanpa meninggalkan berita untuk suaminya, ia pasti tidak akan senekat ini untuk memasuki kantor orang lain dengan sembrono.
Aku memang kurang ajar sepertinya.
Kantor ini ruangannya hanya ada satu tapi cukup besar dan bisa menampung paling tidak tiga belasan kuda pacuan yang surainya panjang-panjang dan hidup di lumbung.
Ada rak buku di sisi kiri dan kanan ruangan--ada tempelan-tempelan abjad di kayunya, tapi aku masih bisa melihat buku dengan judul berawalan huruf M berada di kolom yang sama dengan buku sejarah Kota Scallian.
Bau koran dan tinta. Aku menyukai bau ini sama seperti aku menyukai bau buku baru dan kalkun panggang di perayaan Hari Paskah. Jika aku diharuskan untuk bekerja di tempat ini, aku akan menerimanya dengan senang hati.
Tapi, ya ... tempatnya berantakan. Dari luarnya saja bangunan ini tampak antik, tapi dalamnya tidak. Seperti geladak kapal di tengah badai Atlantik.
Aku terus melihat-lihat tempat itu sampai-sampai tidak menyadari bahwa ruangan itu tidak kosong. Ada orang lain di ruangan yang lantainya penuh dengan kertas putih berlumur tinta basah itu.
Seorang pria paruh baya duduk di belakang satu-satunya meja besar yang ada di ruangan tersebut. Pria itu khidmat membaca koran sedang kakinya dinaikkan ke atas meja, Cloud City Daily News--Harian Kota awan. Tapi setidaknya, aku masih bisa melihat kerutan di dekat dahinya walau wajahnya belum kelihatan karena tertutupi oleh kertas bergambar logo naga itu dan dari situ saja aku bisa menyimpulkan bahwa ia adalah seorang pria tua walau ia tidak mengisap tembakau.
Untuk ukuran seorang pria tua, ia terbilang cukup bugar karena masih bisa bekerja di percetakan yang merangkap sebagai kantor jasa antar barang di kota ini. Aku bahkan tidak tahu bila di masa tuaku nanti, aku masih bisa bekerja sepertinya atau malah harus menghabiskan waktu di ranjang kematian seperti kebanyakan warga Blisshore.
Aku diam memikirkan bagaimana cara mendapatkan perhatiannya. Dia masih membaca walau bunyi pintu depan yang digeret santer terdengar. Aku sudah tahu dari Nyonya penjaga bahwa kebanyakan orang tidak suka diganggu saat sedang membaca koran. Tapi ini susah sekali! Ada banyak hal yang harus kutanyakan ke pria di depanku ini.
"Scallian normal, seperti biasanya." Pria itu bergumam lalu membalik halaman di koran yang ia baca. "Ah tapi tidak juga. Beberapa kurcaci dari Gua Bertuah tidak mau lagi bekerja di kebun. Mereka lebih memilih untuk melakukan pesta teh dibanding menggali dan menyiram tunas lobak."
Eh, apa dia berbicara denganku?
"Ada kurcaci di kota ini?"
"Tidak mungkin tidak," kata pria itu. "Mereka inginkan keadilan, tentu saja, tetapi keadilan yang mereka maksud adalah bayarannya yang berupa segunung permen kapas tetapi karena kerja mereka cuma menyemai tanaman, tuan tanah hanya memberi mereka pasokan gula-gula untuk satu bulan. Kurcaci bodoh sumbu pendek. Karena mogok mereka, suplai lobak di pasar kota kosong sejak tiga hari yang lalu."
"Kenapa tidak memberikan permen kapas sesuai yang mereka minta?"
"Tidak bisa. Di perjanjiannya, bayaran mereka tidak sebanyak itu."
Mengernyit. Pria itu kembali membalik halaman korannya. "Itu topik kemarin pagi. Yang baru, ada seorang anak laki-laki yang dibawa secara paksa ke kota ini dan menjadi tawanan karena mematahkan seruling andalan Nyonya Griffith. Duh, Arthur, coba saja kau tidak terlalu penasaran dengan suara itu."
"Bagaimana kau bisa tahu namaku?"
Ada keheningan yang ganjil setelahnya. Pria itu tidak lagi menaruh matanya ke tulisan-tulisan yang ada di koran. Ia menutupnya, melipatnya menjadi setengah, menaruhnya di dekat wadah tinta dan pena bulu angsa, lalu menatapku dalam.
"Kau menjadi berita utama belakangan ini dan namamu sudah tersebar di mana-mana." Pria itu berdiri dan berkacak pinggang. Kemeja biru muda polosnya berlipat karena terlalu lama berada dalam posisi duduk.
"Tapi kenapa?"
"Astaga, Arthur. Semua orang harusnya mencari jawaban dari pertanyaan yang sejenis denganmu sendirian. Nah, kan, seharusnya aku mencuekimu saja tadi."
Jam berbentuk rumah yang ada digantung dekat mejanya berdentang, lalu ada seekor burung kayu yang keluar masuk dari sana sebanyak tiga kali. Ini sudah jam tujuh pagi dan di jalanan sudah terdengar bunyi langkah kaki orang-orang dewasa.
"Baiklah, ini sudah makin siang jadi mari mulai dari perkenalan dirimu. Sebutkan nama, umur, dan pekerjaanmu sebelum ini."
"Eh?" Aku kebingungan. "Bukannya kau sudah tahu namaku siapa?"
"Duh, anggap saja aku tidak tahu, oke? Anggap saja ini adalah wawancara yang menentukan apakah kau akan lulus atau tidak. Tenang saja, aku pasti akan menerimamu setelah ini tapi sebelumnya, silakan perkenalkan dirimu dulu."
"Kalau aku sudah pasti diterima, kenapa aku masih harus memperkenalkan diri dan melakukan semua tetek bengek yang tidak ada gunanya itu?"
Pria itu maju, mendekat, lalu mencengkeram pundakku ketika jaraknya sudah cukup tipis. Sorot matanya sudah lelah menghadapi kelakuanku, sepertinya.
Alih-alih memukul atau menendang bokongku keluar dari ruangannya, pria itu malah berkata, "Jika kau terus seperti ini, aku tidak jadi memberikan pekerjaan sebagai loper koran ini kepadamu. Seruling Nyonya Griffith harganya lebih mahal dari empat gerobak yang isinya penuh dengan logam mulia. Koin emas Scallian tidak tumbuh dari papan kayu di gubukmu, Arthur."
"Seberapa mahal?"
"Di pertokoan roh, jiwamu bahkan patokannya tidak mencapai setengah dari harga jual seruling itu. Begitulah, Arthur. Hidup ini kejam dan jika ditotal, kau harus bekerja di tempat ini selama setahun penuh tanpa henti jika mau mengganti alat musik tiup ajaib itu, walau bisa dibilang pekerjaan ini gajinya tinggi jika dibandingkan dengan bekerja sebagai tukang kebun walikota atau peternak ayam jantan di dekat Oldbunker." Ia berhenti, lalu menarik napas panjang. "Dan lagi, kau hanya bisa bekerja hari ini saja."
"Hei, maksudmu besok aku tidak boleh lagi bekerja di tempat ini?"
"Tepat."
Aku tersentak hingga badanku teranjur ke belakang dan menabrak salah satu dari sekian banyak keramik antik yang ada di ruangan pria ini. "B-baiklah kalau begitu. Namaku Arthur, umurku dua belas tahun, dan sebelumnya aku bekerja sebagai ... tidak ada. Aku hanya seorang anak panti yang selalu tidur di bawah jam sepuluh malam," tuturku terbata-bata. "Sudah benar begini?"
"Ya, kau diterima!"
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scallian : The City of Cloud [END✓]
FantastikSelamat datang di Scallian! Di sini, kami memiliki beberapa hal yang harus diperhatikan oleh para pelancong--atau penyintas yang memasuki kota ini sepertimu. Kota ini bukan milikmu atau nenek moyangmu. Jadi, jangan terlalu penasaran mengenai seluk b...