Jamur ledak ajaib yang dikirim oleh Huhe--atau begitulah aku menyebut namanya--tidak seberbahaya yang aku kira ternyata. Namanya saja yang terlalu dibesar-besarkan, padahal bentuknya biasa-biasa saja.
Jamurnya datang dalam bungkusan dari daun cendana yang dilipat-lipat. Tidak rapi, cenderung berantakan.
Tidak terlalu mengherankan sebenarnya. Jika dilihat dari perawakannya pun, Huhe tidak terlalu bisa diandalkan untuk bekerja cepat dan rapi seperti kebanyakan orang di toko.
Waktu berjalan menuju meja pembayaran pun tiga kali dia sempat tersandung gundukan kayu di lantai toko yang mencuat karena basah dan lembap, dua kali hampir terjatuh karena tersenggol rak, dan lima kali menjatuhkan barang-barang di toko--termasuk di antaranya sepotong roti panjang yang pada akhirnya ia ganti juga.
Huhe tidak sempat bercakap-cakap dengan Nyonya Peruglia waktu itu. Yang kutebak, wanita beralis tipis-tipis seperti surai kuda tua itu sedang tidak berada di dapur. Mungkin tengah berada di bagian belakang atau pulang sebentar ke rumahnya yang kudengar-dengar dari Nyonya Peruvian jaraknya tidak terlalu jauh dari toko ini.
Lagipula, pelanggan yang datang untuk membeli tidak banyak dan semua roti, kue, serta pastri sudah selesai dipasok di rak depan. Jadi, untuk apa berlama-lama di tempat itu jika tidak ada lagi yang bisa dilakukan?
Sayangnya, manusia jamur berwajah lansia itu tidak tahu adab. Wajar saja, tempat tinggalnya saja di dekat Hutan Pencecak. Bukannya pulang dengan tata krama, pria itu malah bermain mata dengan Nyonya Peruvian--yang langsung dibalas oleh wanita itu dengan tatapan ingin muntah seperti baru saja melihat bangkai berang-berang tua.
Cendawan itu, setelah dibuka pembungkusnya, langsung mengeluarkan bau yang tidak bisa hilang dari hidung selama satu jam ke depan. Bau gombal kotor yang direndam selama setahun penuh dan bercampur dengan urin mamalia. Untung saja baunya tidak menyebar sampai ke luar dapur.
Lagi, mungkin itu alasan si manusia berambut mangkuk membungkus jamur ajaibnya di dalam daun cendana. Cerdas, tapi bodoh juga kalau diperhatikan lama-lama.
Kata Nyonya Peruglia kemarin, jamurnya berfungsi sebagai pengembang adonan. Adonan kemarin yang sudah dicampurkan dengan serbuk perkaratan besi, dikeluarkan lagi dari lemari penyimpanan yang cukup dingin.
Bau korosif bercampur dengan aroma aneh dari jamur ledak membuatku seperti ingin mati kemarin. Untung saja yang harus kulakukan kemarin untuk membantu Nyonya Peruglia hanya memasukkan jamur-jamur itu ke wadah yang sama dengan wadah tempat menyimpan adonan lalu menutupnya rapat-rapat sambil diguncangkan tiga kali ke atas dan bawah.
Nyonya Peruglia bercerita bahwa jamur ledak ajaib adalah satu-satunya pengembang yang bisa membuat tekstur kuenya menjadi cocok di lidah pemesan tahun ini.
Tidak mau berdebat, aku mengiyakan saja.
Aku sudah terlalu takut duluan sebelum mengetahui efek dari penggunaan jamur ledak ajaib itu. Kukira, satu cendawan utuh bisa meledakkan sebuah gedung, lima cendawan bisa meledakkan satu blok, dan sekotak cendawan bisa meledakkan seisi kota.
Nyatanya, cendawan itu meledakkan mangkuk penyimpanan adonan saja tidak bisa--dan lagi, jangan salahkan aku karena beranggapan seperti itu. Namanya saja jamur ledak ajaib, bagaimana mungkin aku tidak berpikiran yang tidak-tidak ketika mendengarnya?
Ledakan terbilang besar, tapi hanya suaranya saja. Bunyinya masih terdengar hingga saat ini dan tinggal menghitung mundur sampai besok sebelum proses adonan itu mengembang selesai sempurna.
Hari ini, aku harus menunggu tetanggaku mengantar pesanan ketiga untuk toko kue ini. Seharusnya Bargin Meath sudah tahu kalau aku bekerja di tempat ini jadi seharusnya dia tidak perlu kaget lagi jika melihatku bertegak-tegak di dekat pintu masuk toko.
Namun, sudah hampir memasuki tengah hari dan belum ada pria besar seperti bola benang dengan tangan ranting yang muncul dari belokan di depan sana.
Mengherankan.
Padahal, pagi-pagi buta pun sudah terdengar suara mengasah pisau dari rumahnya. Jika ia telat bangun, tidak mungkin pria yang tingginya hampir selangit-langit rumah itu bisa menghidupkan lampu minyak di ruang tengahnya.
Haahh ....
Baiklah, yang aku perlukan tinggal menunggu, bukannya mengayuh sepeda menanjaki bukit, mencangkul tanah sampai menemukan emas, apalagi menyelam ke dalam danau air hitam yang semua hewan di dalamnya memiliki gigi taring berjumlah dua puluh itu. Lantas, kenapa juga aku masih mengeluh? Pekerjaanku tidak separah sebagian orang di kota ini--terutama penduduk yang rumahnya berada di bagian belakang kota. Wajah mereka tidak pernah berseri-seri.
Untungnya, tidak sampai sepuluh menit sejak terakhir kali aku mengeluh, Tuan Bargin datang membawa sekotak kayu dengan noda merah tua di sembarang sisinya sambil berjalan santai.
Santai.
Santai seperti tanpa beban.
Hmm ....
Aih, sial.
Tidak ada salahnya aku mengeluh tadi. Bargin Meath memang cocok untuk dikeluhkan.
Sekarang pun, bukannya mempercepat langkahnya, pria berjanggut berantakan itu masih saja melambat-lambatkan jalannya. Beberapa kali bahkan dia berhenti untuk melihat deretan toko baju di depan blok sana. Sesekali berkaca, berjalan lagi, lalu berkaca kembali sambil bersiul konyol.
Ketika sudah sampai ke depan toko pun, yang dia lakukan malah memasang tampang terkejut. "Arthur, kenapa ada di sini? Tidak bekerja? Bagaimana nanti kau bisa pulang ke dunia bawah jika tidak bekerja?" Begitu tanyanya, sambil menaruh kotak kayunya di lantai teras toko lalu duduk berselonjor kaki sejurus kemudian.
Aku tidak menjawab. Aku sudah terlalu lelah meladeni keanehan penduduk kota ini sejak dua hari yang lalu. Jika nekat menanggapi pria ini pun, bisa makin terkikis kesabaranku.
Merasa tidak dijawab, Bargin Meath sadar diri. Diangkatnya kembali kotak seberat satu bayi keledai kecil itu dengan mudah, mengambil langkah menuju pintu depan, lalu menyuruhku untuk membukakan pintu yang menghalangi jalannya--dia bisa saja membukanya, tapi aku takut kalau-kalau pintunya terlepas dari engsel gara-gara pria itu terlalu kuat saat mendorongnya ke belakang.
Aku mengekorinya dari belakang. Tidak bagus bagi karirku jika dia tiba-tiba menghancurkan setengah isi toko hanya karena tersandung dan menggelinding dari sudut ke sudut.
"Apa ini?"
Bargin Meath tetap berjalan. Kotak kayunya menekan wajahnya hingga ia kesulitan berbicara. Barulah ketika mencapai dapur dan selesai meletakkan kotak bawaannya di lantai, di sebelah meja mengadon kue--aku sendiri yang melarangnya untuk menaruh kotak itu di atas meja. Bau amis dan noda darahnya tidak akan mudah hilang, sedangkan setelah ini kami masih harus membuat kue--, ia bisa menjawab.
Ia membuka suara. "Insulin babi dan rusa," katanya sembari mengeluarkan cairan aneh dalam botol satu per satu.
"Sudah tahu. Memang, apa ada yang spesial dari insulin babi dan rusa ini?"
"Tidak tahu. Yang pasti, Nyonya Peruglia memesan insulin babi dan rusa dari rumah jagalku. Untuk pesanan spesial, katanya. Karena bayaran mereka bisa dibelikan ikan kualitas premium untuk Nyonya Ruby, aku mau-mau saja menerimanya."
"Begitu."
"Benar. Tapi yang kutahu, sejak lama mereka memesan di tempatku, insulin ini digunakan untuk menambah rasa pada kuenya."
"Eh? Bagaimana?"
"Tidak tahu juga. Yang pasti, jika digabungkan, insulin babi dan rusa bisa membuat perisa daging manusia."
"Ehhh?"
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scallian : The City of Cloud [END✓]
FantasySelamat datang di Scallian! Di sini, kami memiliki beberapa hal yang harus diperhatikan oleh para pelancong--atau penyintas yang memasuki kota ini sepertimu. Kota ini bukan milikmu atau nenek moyangmu. Jadi, jangan terlalu penasaran mengenai seluk b...