Nyonya Chys dan Serbuk Perkaratan Besi

70 13 4
                                    

Dengan berat hati aku terpaksa menerima tawaran yang diberikan oleh wanita itu. Aku tidak bisa menolak, kabur, atau mencari tempat kerja yang lain--selain dari sisi Tuan Suara-tanpa-nama atau siapa pun itu yang kemungkinan besar tidak akan mau lagi mengurusi pendaftaran kerjaku, aku juga tidak tahu harus pergi ke mana lagi selain toko kue ini.

Haahh ....

Tak apa. Tak apa, Arthur, tak apa. Yang penting bayaranku bertambah. Itu saja.

Tidak ada salahnya aku menerima tawaran wanita itu, bukan?

Pun, kalau-kalau ada naga, belum tentu juga hewan mitologi bersisik itu mau menyerang dan memakanku. Tubuhku ceking, dagingnya sedikit, jangkung pun tidak.

Lagipula, bisa saja Tuan Suara-tanpa-nama membohongiku di rumah tadi malam. Ucapannya tidak terlalu bisa dipercaya. Tidak jauh beda dengan ahli nujum dan peramal kartu tarot yang sering datang ke panti dan selalu menawarkan jimat kaki kelinci pembawa keberuntungan.

Jadilah, saat ini, pada pukul sembilan lewat sepuluh pagi, ketika kerjaanku membuat isian bolu wortel di dapur sudah selesai, aku berdiri menunggu di depan. Kursinya sedang digunakan oleh Nyonya Peruvian, pegawai Nyonya Peruglia yang namanya baru saja kuketahui saat akan mengambil kursi tadi.

Sekalian menyapa pengunjung, pesan mereka tadi.

Jalanan depan toko sepi dan berangin. Jika dibandingkan dengan blok-blok sebelumnya, blok ini memang terbilang cukup sepi. Tapi tetap saja, blok tempat rumahku dibangun adalah yang paling sepi dan menyedihkan di kota ini.

Aku hanya bisa mendengar semilir angin, sayup-sayup mesin tik dari kantor Tuan Gulliver, dan samar-samar bunyi terompet yang beradu dengan lagu aneh dari seorang wanita di ujung jalan sana.

Sudah tiga puluh menit lebih tapi siapa pun wanita yang bernama Nyonya Chys itu belum kunjung datang. Dari tadi hanya ada tiga orang pelanggan yang masuk ke toko kue. Satu pria, sedang sisanya wanita tua dengan anaknya yang baru saja keluar sambil menenteng tas kertas padi berisi roti terigu panjang.

Satu jam, belum ada juga. Pengunjung toko bahkan hanya satu yang bertambah selama setengah jam terakhir. Tidak ada yang tahu seberapa lama aku harus menunggu di depan sini tapi aku yakin aku tidak akan mau menunggu lebih lama dari tengah hari.

Jalanan masih sepi, angin masih bertiup, sorak sorai musik di ujung jalan sana masih bersua dengan suara nampan metalik yang dilepaskan secara tidak sengaja oleh Nyonya Peruglia di bagian belakang toko--lebih terdengar seperti membanting alih-alih terlepas dan lolos dari tangan.

Kakiku sudah kesakitan. Tidak selelah ketika mengayuh sepeda untuk mengitari kota tempo hari, tapi tetap saja pegal.

Jika terus begini, saat si wanita pengantar itu belum tiba pun, sepertinya aku sudah harus berada di dapur gara-gara pingsan tiba-tiba.

Mataku juga sudah berat. Tidur sebentar mungkin tidak apa-apa saat ini. Pelanggan pasti akan berlalu ke dalam begitu saja dan tidak akan mengacuhkanku yang sedang tidur dalam posisi memeluk kaki kuat-kuat nantinya. Pula, belum ada tanda-tanda bahwa Nyonya Chys akan tiba dalam waktu dekat--yang sebenarnya belum bisa kusimpulkan begitu karena perawakannya saja aku tidak tahu seperti apa.

Pikirku begitu, tapi sepertinya aku salah. Aku memutuskan untuk tetap berjaga selama lima belas menit lagi dan jika tetap tidak ada si wanita pengantar, maka aku akan cepat-cepat tidur.

Kenyataannya, baru saja aku bersender di dinding depan toko, seseorang mengetuk lututku tiga kali sambil berdesis dan berucap aneh-aneh.

"Kau pegawai toko ini?"

Aku mendongak, melihat wajah si pemilik suara. Wanita kaukasia. Wajahnya kusam dan ada noda hitam--mungkin oli, minyak, atau entah apa itu namanya--di sudut kiri bibirnya. Ada kacamata bulat, besar, dan tebal tergantung di sela telinganya yang kekecilan itu.

Tak juga mendapat jawaban, wanita itu sepertinya marah. Gigi tonggosnya bergetar sekali, lalu tangannya menepuk pundakku kuat sekedipan mata setelahnya. "Jawab, wahai manusia."

Yang bisa kulakukan saat ini hanya mengangguk. Wanita ini menghalangi jalur depanku. Mau menyelonjorkan kaki saja sudah sulit, apalagi berdiri dengan mantap.

Wanita berponi sembarang itu tidak melanjutkan. Yang ada, dia malah ingin menerobos masuk ke dalam toko dengan gerobak kayu berisi besi-besi raksasa di belakangnya.

"Maaf, Nyonya. Ada perlu apa datang ke tempat kami? Jika mau membeli kue kering atau roti serat, silakan masuk tanpa membawa rombongan besi aneh di belakangmu itu."

"Tidak bisa. Aku harus membawa besi-besi ini ke dalam. Nyonya Peruglia membutuhkannya. Seluruh warga kota juga."

Tunggu dulu ....

Aku berpikir sebentar, sedang tanganku terangkat satu untuk mengisyaratkan wanita itu agar berhenti bertindak agresif seperti tadi barang satu atau dua menit--antusiasmenya hampir satu tingkat dengan anjing gembala yang baru saja melihat kandang domba dibuka pada pagi hari. Untung saja wanita itu menurut dan duduk di selasar toko sambil menepuk-nepuk sepatunya yang berdebu.

Wanita ini membawa gerobak kayu yang isinya bertumpuk-tumpuk besi korosif dan bau karat.

Hari ini aku ditugaskan untuk menerima barang pemberian tukang besi andalan kota dan penampilan wanita di depanku ini mirip sekali dengan gaya orang-orang yang bekerja di dekat mesin dan tungku kayu.

Wanita ini memiliki suami yang bernama Chys--baiklah, yang ini aku mengada-ada. Namanya sendiri saja aku tidak tahu, apalagi nama suaminya.

Jadi ....

Hmm ....

Besar peluang bahwa wanita ini adalah orang yang dimaksud oleh Nyonya Peruglia sebagai Nyonya Chys, istri dari ahli senjata terbaik di Scallian.

"Nyonya membawa apa di dalam sana?" tanyaku sambil menunjuk gerobaknya yang kelebihan muatan dan dalam setahun ke depan akan hancur itu.

Ia ikut menoleh. "Besi berkarat. Kalian yang memesan dari kami, ingat? Lagipula, tahun kemarin aku tidak sampai ditanya-tanya seperti ini. Apa ada yang salah dari penampilanku hari ini? Ah, suami sialan! Katanya aku sudah secantik putri raja, tapi anak ini malah menganggapku orang aneh. Pulang nanti awas saja dia!"

Bagus.

Bertambah lagi satu orang aneh di Scallian. Kenapa malah mengoceh kepadaku? Yang salah suaminya, kenapa aku juga ikut kena?

Dasar.

"Ah, tidak, Nyonya. Aku baru bekerja di tempat ini jadi aku pertama kali melihatmu datang membawa pesanan toko kami. Maafkan keteledoran kami, Nyonya!" Aku membungkuk-bungkuk sambil meminta maaf. Salahku juga sudah memasang wajah tidak percaya tepat ke mukanya tadi.

Setelah aku menyelesaikan kalimatku, dia berhenti marah-marah. Wanita itu tersenyum. Bibirnya mencoba untuk terkatup, tapi gigi tonggosnya menghalangi belah bibirnya untuk menyatu--aku yakin dia senang mencoba untuk tersenyum sinis tapi yang ada dia malah kelihatan seperti kelinci betina gila.

"Baiklah," ucap wanita itu sambil berdehem. "Silakan diambil pesanannya."

Tbc.

Scallian : The City of Cloud [END✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang