"Apa yang kau lakukan?"
"Me~lempar~mu dengan krim ko~cok mani~s."
"Bukan begitu. Kenapa melemparku tiba-tiba seperti itu? Ini adalah hari terakhirku dan kau baru saja mengacaukannya dalam lima detik." Aku marah-marah. Tidak mau tahu, yang pasti aku benar-benar kesal dengannya.
Wajahku jadi putih dan lengket semua. Krimnya manis, tapi baunya tidak terlalu menyenangkan. Bibirku jadi kelu dan aku tidak tahu lagi semenarik apa wajahku bagi koloni semut di pinggiran selasar toko saat ini.
Kurcaci itu diam saja. Badannya maju sedikit untuk mengambil mangkuk yang baru saja ia lemparkan. Jatuhnya tidak jauh. Kalau memang jauh pun, mungkin setelahnya akan terpental dan menggelinding lagi mendekatinya.
Untung dia tidak melemparkannya keras-keras ke wajahku atau aku tidak akan mau lagi mengurusi kehadirannya yang mengganggu ini.
Setelahnya dia melompat-lompat lagi seperti baru saja mendapat gigitan ular di kakinya yang kecil-kecil itu. Ingin sekali kuhentikan, tapi badannya hampir sama besar denganku. Dari tindak tanduknya, energinya mungkin lebih besar dariku.
"Kenapa kau melemparkannya ke wajahku?"
Kurcaci itu menoleh lambat. "Ka~re~na a~ku ... suka melem~par krim ko~cok."
Makhluk itu tertawa lagi. "Wajahmu tidak ma~nis. Senyummu juga. Ah, sua~ra, mata, mu~lut, hidung, bibir, alis, ke~lo~pak, dagu, pipi, tu~lang rahang, dan bulu matamu ju~ga tidak manis. Karena itu aku me~lem~parmu dengan ini," tambahnya lagi.
Demi dua belas bintang, jika dia bukan makhluk paling aneh di Scallian, maka aku tidak akan tahu lagi seberapa gilanya makhluk yang dicap sebagai makhluk teraneh di kota ini. Kelakuannya seorang sudah bisa membuatku ingin gantung diri.
Dan lagi, apa-apaan maksudnya yang mengatakan kalau wajahku ini tidak manis? Aku bukan selai beri, kue tart buah, apalagi gula-gula yang tidak diperbolehkan tidak memiliki rasa manis. Aku adalah manusia!
"Wajahku bisa rusak jika dilapisi krim kocok!"
"Tidak apa, ya~ng pen~ting ma~nis."
Aku menyesal tidak ikut memotong mayat kurcaci biru kemarin, menyimpan salah satu cincangannya, lalu menunjukannya ke kurcaci gila ini sekaligus berharap agar dia langsung kabur tunggang langgang karena ketakutan. Jika saja bisa kulakukan, maka aku pasti tidak akan tersiksa berlama-lama dengan makhluk ini di depan toko.
Karena wajahku sudah terlalu lengket dan tidak enak untuk dibawa bergerak lebih lama lagi, aku memutuskan untuk mencuci wajah di dapur barang beberapa menit.
Aku menyuruhnya untuk tinggal di sini sebentar sambil mengancam akan membawa pisau daging sekembalinya aku ke teras depan. Jika berbuat jahil sedikit saja, aku tidak akan mengizinkannya masuk ke dalam toko--di luar saja sudah menimbulkan masalah, bagaimana nanti kalau benar-benar masuk ke dalam toko? Bisa hancur bangunan ini dibuatnya.
Aku kembali setelah satu--atau dua menit berada di dapur. Kurcaci itu menurut. Ia masih tidur-tiduran sambil memeluk mangkuknya di dekat gundukan tangga batu. Baju berendanya
kotor terkena debu. Tidak jauh berbeda dengan kain kotor di dekat tungku Nyonya Peruglia."Kau benar-benar tetua kurcaci?"
"Ya~"
Aku berdehem dua kali lalu melanjutkan, "Jika benar tetua, kenapa wajahmu tidak berkeriput seperti jeruk berumur tiga minggu?"
"Ka~u orang baru, ya?" Nada bicaranya dilambat-lambatkan dan jadi membosankan. "Se~belum a~ku ter~pilih, kurcaci yang di~angkat sebagai tetua umurnya satu de~kade di bawah~ku."
Baiklah, sepertinya tetua yang mereka maksud tidak benar-benar tua atau dituakan oleh komunitas kurcaci yang lain. Aku tidak peduli dengan sistem pemilihan pemimpin mereka yang sepertinya berbeda jauh dengan komunitas-komunitas di Scallian yang lain--dan walaupun mereka melakukan perjanjian darah, tumbal kepala, atau puasa gula-gula satu tahun, aku tetap tidak akan peduli sama sekali
Yang aku inginkan hanya kembang gula sayap peri pesanan Nyonya Peruglia. Di saat semua pengantar pesanan membawa barang-barang dan dipamerkan jelas-jelas sambil berjalan, hanya kurcaci ini yang tidak kelihatan membawa barang pesanan Nyonya Peruglia.
Alih-alih gula-gula, yang ia bawa malah krim kocok dengan bau amis telur ayam yang masih jelas tercium. Dia juga tidak membawa gerobak kayu lapuk, sebungkus daun cendana, kotak kayu bernoda darah, apalagi peti mati bermotif kepala naga.
Lalu, di mana?
"Mana kembang gula yang kau janjikan?"
"Ada di~sini, hehehe."
Kurcaci itu menunjuk pinggang kanannya. Tidak ada apa-apa di sana kecuali celana kepanjangan tipis berwarna hijau yang berbentuk seperti gigi predator di bagian ujungnya.
Wajahnya masih sama saat menunjuk-nunjuk pinggangnya. Senyum bodohnya tidak kunjung hilang. Matanya masih berkedip terlalu sering--aku yakin matanya sudah sangat berair saat ini.
"Tidak ada apa-apa di sana. Kau sebenarnya sedang menunjuk apa?"
Dia berhenti menunjuk. Jarinya beralih ke bagian pinggang yang satunya lalu tertawa bodoh lagi untuk yang kesekian kalinya. "Pinggang~ku, hehehe."
"Ada apa di sana?"
"Ti~dak ada apa-apa, hehehe."
Ingin sekali aku mengangkat tubuh kurcaci ini, membawanya berlari mengelilingi kota sambil diam-diam mengarah ke Gunung Telulang, lalu melemparkannya ke sarang naga.
Ah, tidak, naga saja mungkin tidak mau memakan dagingnya yang terlalu manis itu.
Sepertinya dia sudah lelah bermain-main dan langsung mengubah ekspresinya begitu aku tidak merubah air muka. Makhluk cebol itu buru-buru membuka sepatunya lalu mengeluarkan satu tas kecil berwarna putih daging pohon.
Sambil disodorkan, ia juga berkata-kata aneh. "I~ni dia. Kembang gula peri kualitas ter~ba~ik! Diambil langsung dari rumah-rumah peri Hutan Pencecak, di pagi kedua bulan Juli, ketika makhluk-makhluk seukuran ngengat pertokoan itu sedang membuat embun di semak aster liar."
Eh.
Ah.
"Ah, tunggu dulu. Jadi, kembang gula sayap peri ini benar-benar dibuat dari sayap ... peri?"
Kurcaci itu kelihatan bingung tapi dua detik kemudian langsung menjentikkan jarinya. Sorot matanya seperti mengatakan kalau pertanyaanku tidak perlu dijawab lagi olehnya--pun, aku juga tidak mau mendengar jawabannya yang kemungkinan besar bisa membuatku memuntahkan bubur kayu manis yang kudapat ketika sarapan di rumah pagi tadi.
Aku tidak mau membuka apalagi melihat ke dalam kantung itu jadilah pada akhirnya, yang kulakukan hanya cepat-cepat berbalik, membuka pintu, berjalan menuju dapur lalu meletakannya di meja tanpa berkata apa-apa.
"Ke~napa tidak dibu~ka?"
"Kau gila? Aku tidak akan mau melihat mayat-mayat peri yang sudah membusuk dan menjadi belulang itu. Itu sama saja seperti mengikutkan diriku ke pesta bunuh diri para prajurit kerajaan yang depresi setelah kalah perang!"
"E~h? Siapa bilang kantung i~tu isinya mayat dan tulang-tulang peri?"
"Aku tetap tidak mau membukanya. Sana pergi!"
"Huh, ka~u kasar se~ka~li." Kurcaci itu tiba-tiba merengek. Matanya dibuat berkaca-kaca seperti ingin menangis. Mulutnya juga ditekuk seperti baru saja kehilangan seorang istri di perceraian.
Aku berdecih. Sepertinya aku memang sudah terlalu kasar kepadanya. Tapi lagi-lagi, aku masih belum bisa memaafkan insiden pelemparan krim kocok beberapa menit yang lalu dan sikapnya yang ingin menjadikan dagingku berubah manis seperti permen dan kembang kapas masih membuatku kesal.
"Lagipula, apa isi kantung itu?"
"Sa~yap pe~ri."
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scallian : The City of Cloud [END✓]
FantasiSelamat datang di Scallian! Di sini, kami memiliki beberapa hal yang harus diperhatikan oleh para pelancong--atau penyintas yang memasuki kota ini sepertimu. Kota ini bukan milikmu atau nenek moyangmu. Jadi, jangan terlalu penasaran mengenai seluk b...