Celemek, Jalan Depan Toko, Upah, dan Pulang

65 16 0
                                    

Mau tidak mau aku mengikuti ajakan Nyonya Peruvian. Aku tidak mau mati dan keadaan di luar bisa membunuhku kapan saja.

Nyonya Peruvian cepat-cepat mendorong punggungku agar bisa menunduk lebih gesit menuju kolong meja pembayaran. Wanita itu berlari ke dapur tepat setelah aku masuk ke kolong meja--hanya aku yang muat di situ jadi kutebak, ia akan mengambil barang lain untuk menutupi dirinya.

Nyonya Peruvian kembali dari dapur sambil membawa kotak kayu besar dan kain lusuh, langsung menggesernya hingga menutupi jalur kolong yang terbuka, masuk ke dalamnya, lalu menutup bagian atasnya menggunakan kain putih yang penuh tambalan.

Kami berdua duduk dan bersembunyi dalam diam. Hanya ada suara deru napas kami yang bersanding dengan teriakan penduduk dari luar.

Hanya ada raungan kesakitan, lalu lolongan, hening sebentar, kemudian lolongan lagi, lalu di akhir terdengar kepakan sayap besar yang anginnya masuk lewat celah-celah pintu.

Aku tidak tahu sama sekali apa yang terjadi di luar sana. Keadaan di dalam toko sepi, tapi aku yakin sekali beberapa langkah ke selatan dari rak tempat menaruh roti panjang, keadaannya akan berbeda seratus delapan puluh derajat.

"Nyonya, apa yang sedang terjadi?"

"Aku ... sebenarnya ... tidak tahu." Nyonya Peruvian menjawab dengan patah-patah. Aku mencoba melihat wajahnya dari balik kain. Nihil, kelihatan siluetnya pun tidak.

"Yang kutahu, kata Nyonya Peruglia beberapa tahun yang lalu, jika mendengar suara-suara aneh dari perayaan, aku harus mengumpet di dalam toko. Di mana saja, yang penting tidak kelihatan," tambahnya.

Aku mengerti sekarang.

Keadaan di luar tidak sama dengan keadaan satu tahun sebelumnya.

Secara keseluruhan, perayaan tahun ini berbanding terbalik dengan perayaan pemanggilan naga tahun lalu.

Satu yang tidak aku tahu, dari bertahun-tahun sejak mulai dilaksanakan, kenapa baru tahun ini yang ... anggap saja, kacau?

Saat tadi kutanyakan kepada Nyonya Peruvian tentang perayaan tahun lalu pun, ia berkata bahwa tidak ada hal yang aneh. Nyonya Peruglia di perayaan tahun lalu pun pulang dengan wajah berseri-seri sambil membawa sekeranjang telur pola totol-totol emas di tangan kanannya.

Aku takut kekacauan yang terjadi sekarang adalah salahku karena sudah datang ke kota awan ini.

Haahh ....

Lagi-lagi keadaan di luar tiba-tiba hening. Tidak ada suara-suara lagi, tapi aku yakin jika aku berjalan sebentar saja di jalanan depan toko, maka aku akan bertegur sapa dengan malaikat kematian dalam wujud seekor naga.

Beberapa menit hening, setelahnya terdengar gedoran kencang di pintu. Aku hendak keluar dan membukanya--kupikir, itu adalah Nyonya Peruglia atau orang lain yang membutuhkan bantuan. Baru saja akan keluar sambil mengaduh karena kepalaku terpantuk langit-langit kolong meja, Nyonya Peruvian melarangku untuk pergi lebih jauh lagi.

"Tidak usah dibuka, Arthur! Jika itu Nyonya Peruglia, pasti ia akan lewat pintu belakang. Pun di kantungnya ada kunci cadangan. Itu paling-paling orang lain. Jika tidak dibuka, dia tidak akan selamat. Tapi jika dibuka, selain orang itu, kita juga akan ikut berada dalam bahaya." Wanita itu berbisik takut-takut--lebih terdengar seperti berdesis, sebenarnya.

Aku menelan ludahku kasar. Jantungku hampir saja berhenti berdetak saat ini. Keadaan di luar benar-benar kacau. Sarannya barusan sangat logis untuk diterima dan dilakukan jadi aku akan tetap diam dan berada di kolong ini.

"Tunggu sampai sore," ucap Nyonya Peruvian. Aku mengangguk seperti orang bodoh, padahal besar kemungkinan wanita itu tidak bisa melihat anggukan kepalaku dari dalam kotaknya.

Di luar masih kacau. Ada benda besar bersayap yang terbang di atas atap toko. Dinding toko bergetar seperti baru saja terkena gempa, pot gantung di dekat jendela bergoyang hebat, sedangkan cat putih yang sudah mengering di langit-langit terkelupas dan jatuh menghujani rak-rak, nakas, kursi, dan lantai toko.

Hufftt ....

Aku harus menunggu di sini sampai sore saja, bukan?

Aku akan tertidur dan berhenti mendengarkan suara-suara bising di luar secara paksa. Setidaknya di mimpiku, aku tidak akan bertemu dengan naga, mendengar teriakan yang beraura kematian, dan merasa takut untuk keluar dari dalam meja barang satu langkah saja.

Semoga saja begitu.

••••

"Bangun, Arthur!"

Aku mengerjap beberapa kali. Yang kulihat pertama adalah wajah panik Nyonya Peruvian, yang kedua adalah kotak kayu dan kain lusuh yang sudah ia singkirkan dari hadapanku, sedangkan yang ketiga adalah keadaan toko yang berantakan seperti baru saja diobrak-abrik oleh raksasa.

Wanita itu menyuruhku bangun, tapi aku masih bisa merasakan aura mencekam dengan jelas dari luar. Wajanya pun tidak jauh berbeda dengan ketika pertama kali menyuruhku untuk bersembunyi di bawah meja--masih mencetak ekspresi seperti baru saja melihat mayat hidup  dari pemakaman di dekat lereng.

"Ah, Nyonya, jam berapa sekarang?"

"Tidak tahu." Nyonya Peruvian menggeleng pelan. "Kau sudah tertidur selama dua jam dan tidak ada tanda-tanda bahwa kau akan terbangun sendiri dengan cepat jadi aku memutuskan untuk buru-buru membangunkanmu."

Aku mengerjap lagi, berusaha menyesuaikan cahaya yang menerobos ke penglihatanku--ruangan ini gelap, tapi tetap saja mataku langsung sakit dan berair jika dipaksakan untuk terus-terusan melotot. "Kenapa membangunkanku sekarang, Nyonya?" tanyaku kemudian.

"Di luar sudah cukup aman. Kau bisa dan harus pulang sekarang. Tadi ada hal yang tidak menyenangkan terjadi di jalanan depan."

"Tidak menyenangkan ... seperti apa, Nyonya?"

"Tidak ada waktu banyak untuk menjelaskan." Nyonya Peruvian tidak menjawab. Yang ia lakukan malah meraih tanganku dan menyuruhku untuk cepat-cepat keluar dari kolong meja. "Jika tidak cepat pulang, bisa-bisa kau akan terus terjebak di toko ini sampai esok hari, lusa, atau seminggu ke depan."

Ah.

Baiklah, kalimat terakhirnya sudah cukup untuk membuatku mau menuruti perintahnya. Aku tidak akan mau terkurung di tempat ini sampai satu minggu lamanya.

Bisa mati aku jika lama-lama berada di tempat ini.

Aku melangkah menuju pintu depan. Jalanan depan benar-benar sepi, tapi kacau seperti baru saja dijadikan medan pelemparan ranjau. Tidak ada mayat, tengkorak, kepala putus, atau apalah itu yang bisa membuat nafsu makanku hilang tak berbekas. Benar-benar lengang, tapi berantakan.

Tidak ada lagi suara-suara aneh. Keadaannya masih mencekam, aura tegangnya masih menguar di udara. Nyonya Peruvian menepuk pundakku dua kali agar aku menoleh.

"Cepat pakai ini. Bau tepung, kuning telur, dan bubuk jahe dari celemek ini bisa menyamarkan bau daging manusiamu."

"Eh?! Maksudnya?!"

"Keadaan belum benar-benar kondusif di luar sana, Arthur. Naga itu sudah pergi. Karena itulah aku membangunkanmu. Tapi, siapa yang tahu jika dia tiba-tiba datang lagi karena mengendus baumu? Toh, penciuman hewan itu lebih tajam daripada anjing dengan hidung terbesar sekalipun ...."

".... Ini upahmu. Tidak banyak, hanya seratus dua puluh lima koin Scallian. Jangan dihabiskan untuk hal-hal yang tidak penting seperti membeli gula-gula hijau dari kurcaci penipu di dekat pasar. Kumpulkan dulu sampai kau bisa membayar hutangmu kepada Nyonya Griffith. Terima kasih juga untuk kerja kerasmu dari hari pertama sampai siang ini. Sekarang, cepat pergi! Pulang dulu ke rumahmu! Toko ini tidak akan terbang ke mana-mana dan bisa kau kunjungi kapan saja. Nyawamu yang lebih penting saat ini."

Nyonya Peruvian memberiku celemek yang biasa kupakai di dapur, sekantung penuh koin emas yang ukurannya satu genggaman tangan, serta macam-macam wejangan. Wanita itu kemudian membukakan pintu depan toko, menyuruhku keluar, mengucapkan salam perpisahan sekalian melambaikan tangan, lalu menutup kembali pintu toko dan menguncinya dengan cepat.

Jalanan sepi.

Pun, selain jalanan, rumahku juga akan sepi sore ini sampai berhari-hari berikutnya jika aku tidak selamat ketika pulang ke rumah.

Tbc.

Scallian : The City of Cloud [END✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang