Perpustakaan kota malam ini terlihat ... sama saja. Apa yang bisa diharapkan dari perpustakaan normal ini? Mendamba adanya ritual pemanggilan setan di dalam perpustakaan sama tidak mungkinnya dengan menyuruh lemur ekor cincin untuk terbang ke Bulan.
Keadaan bagian dalamnya tidak terlalu membahagiakan. Paling tidak di dalam bangunan ini ada lampu minyak yang bisa dihidupkan--Annabeth menemukannya tepat setelah memasuki perpustakaan. Jumlahnya ada banyak. Totalnya mungkin bisa mencapai angka di atas lima puluhan. Namun toh, tetap saja lampu-lampu itu tidak akan kami gunakan semuanya. Memantik api ke masing-masing lampu akan mengundang perhatian hewan-hewan pengerat dari retakan di dinding bangunan, memakan waktu yang lama, dan membuat fokus kami berdua buyar. Jadilah, kami akan langsung mencari bukunya saja sambil menenteng satu atau dua alat penerangan.
"Di mana?" Annabeth terus-terusan bertanya kepadaku. Aku tidak tahu di mana tepatnya buku tentang informasi kota itu berasal. Aku bukan pekerja di tempat ini dan aku belum pernah bekerja di sini--ini bahkan masih kali keduaku menginjakkan kaki meski terhitung sebagai perbuatan terlarang.
Tadi Annabeth sudah memeriksa lorong nomor lima setelah kusarankan untuk mencari bukunya di daerah situ. Pada kunjunganku yang terakhir, aku bisa menemukan buku sejarah kota di lorong tersebut. Barangkali buku informasi tentang Scallian juga berbaris di lorong yang sama. Nihil. Annabeth kembali dengan tangan kosong.
Aku memutuskan untuk memecah kelompok agar lebih mudah..Annabeth ke lorong di sebelah kanan jendela, sedangkan aku yang di sebelah kirinya. Setelah saling melihat-lihat tentang keadaan di dalam dan di luar gedung, mengecek perlengkapan dan alat penerangan satu per satu, serta saling melepas ucapan hati-hati, kami langsung memisahkan diri.
Lorong kiri tidak jauh berbeda dengan lorong kanan--setidaknya seperti itu pikirku. Hanya ada buku, rak, buku, perkamen usang, buku lagi, lalu lampu lilin gantung, peta tua, denah kota, buku, surat kabar bulan lalu dan tahun lalu, serta buku. Buku, buku, buku. Perpustakaan ini benar-benar dipenuhi oleh buku.
Bah.
Aku lupa. Katakanlah kalau aku bodoh, tetapi tadi aku benar-benar lupa kalau perpustakaan memang tempat untuk menyimpan buku.
Aroma kertas usang menggelitik lubang hidungku. Beberapa lorong baunya aneh saat kuperiksa tadi. Ada yang berbau pesing khas urin hewan gigi panjang, ada yang memiliki wangi bunga-bunga, pun ada juga bagian yang aromanya seperti muntahan bayi. Namun, sebenci apapun aku untuk mengakuinya, kenyataannya aku lebih memilih untuk berlama-lama di tempat ini daripada bekerja satu hari lagi saja sebagai penjaga gerbang.
Ah, mari lihat juga keadaan sekitarnya. Gelap. Aku bingung kenapa tempat ini memiliki lima lampu lilin gantung berukuran besar-besar jika tidak dipakai di malam hari. Kalau-kalau benda-benda itu hanya dipakai sebagai penghias langit-langit, aku akan marah sekali. Aku hampir terjatuh hanya karena tidak bisa melihat troli pembawa buku yang tiba-tiba sudah berada di depanku.
Lampu minyak yang kutenteng sedari tadi bahkan hampir terlempar. Aku bersyukur aku masih bisa menangkapnya karena akan gawat sekali jika apinya mengenai tumpukan buku di sekelilingku. Bisa mati hangus aku di tempat ini.
Saat ini aku tengah berada di lorong keenam. Ketika tengah menertawakan sampul buku yang isinya tentang cara menyemai benih di Hutan Pencecak--perutku sakit hanya karena di depannya ada gambar kurcaci gendut yang bertelanjang dada terlihat tengah menanam biji hijau di tanah, sedang celananya digigiti tupai-tupai hutan yang memiliki wajah masam--, Annabeth tiba-tiba memanggil namaku dari kejauhan sambil meneriakkan berita baik. Gadis itu telah menemukan buku yang sudah kami cari dari tadi.
Aku cepat-cepat mendatangi tempatnya. Perduliku dengan sisa tiga lorong yang belum kuperiksa. Apabila Annabeth sudah menemukan benda yang kucari, untuk apa lagi aku bersusah payah mencari lagi di lorong yang satunya?
"Mana?" Tanpa basa-basi, aku langsung bertanya kepada Annabeth. Gadis itu menunjuk buku yang tengah ia jinjing dengan wajah bahagia bagai Colombus yang baru saja menemukan dataran baru, kemudian jari-jarinya mulai mengetuk sampul kulit kayu tebal dari buku itu hingga bunyi ketukannya terdengar jelas dan menggema di seluruh bagian perpustakaan.
"Aku sudah menemukannya, Arthur. Ayo cepat baca!" Begitu ucapannya ditandaskan, Annabeth serta merta menarik lenganku menuju ruang baca yang letaknya tidak terlalu jauh dari tempat kami berdiri tadi. Langkahnya mendadak menjadi lebih besar dan kini aku yang harus menyesuaikan tempoku dengannya.
Annabeth langsung membuka halaman pertama buku tebal itu begitu menemukan meja dan kursi kayu panjang yang bisa digunakan untuk membaca. Permukaannya disinari cahaya bulan musim dingin dan membiaskan bayangan Annabeth. Mata gadis itu berkelap-kelip karena ditimpa rona bulan sabit dan pendar oranye lampu minyak.
"Ini ... harus dimulai dari mana, Arthur?" tanya Annabeth tiba-tiba, "bagian ini hanya berisi tentang denah kota dan bangunan-bangunan penting yang harus diketahui oleh semua penduduk."
Annabeth kembali membalik-balik halaman bukunya sambil sesekali mengucek hidung karena kemasukan debu kayu dan serbuk kertas yang sudutnya sudah sedikit digerogoti rayap. "Ah, sebentar! Ah, tidak, tidak. Bagian ini hanya membahas tentang Hutan Pencecak dan komunitas kurcaci biru. Yang ini malah membahas tentang makanan ogre bawah tanah. Ah, yang ini kelihatannya menarik. Aih, masih membahas tentang kurcaci biru dan nyanyian-nyanyian mingguan mereka rupanya."
Aku tidak tahu harus mengeluarkan reaksi apa ketika Annabeth bertingkah seperti ini. Gadis itu, apabila tengah berbicara sendiri, susah sekali untuk disadarkan--aku pernah mencoba menyadarkannya sekali dan berakhir sakit hati karena tidak digubris olehnya hingga selesai berbicara. Sepertinya saat ini ada baiknya aku ikut membaca halaman yang tengah ia buka. Setidaknya kegiatanku yang ini sedikit lebih berguna dibandingkan dengan hanya berdiam diri saja seperti orang dungu.
Tangan Annabeth masih sibuk menelusuri halaman demi halaman buku dengan judul membosankan itu. Sesekali berdehem dan menaruh ludah di jarinya sebelum membalik beberapa halaman, kemudian berbicara lagi hingga mulutnya letih sendiri. Annabeth menyerah setelah tidak menemukan apa-apa selain panduan untuk menyenangkan hati seorang penyihir di pertokoan roh dari bacaannya sedari tadi.
"Aku tidak menemukan apa-apa, Arthur," ucap Annabeth dengan nada lesu, sedang tangannya langsung menyodorkan buku tebal itu kepadaku. Ia menguap lebar-lebar, meregangkan persendian, lalu berkata, "Giliranmu untuk mencarinya. Aku mau tidur dulu sebentar. Bangunkan aku jika sudah menemukan sesuatu yang menarik. Selamat tidur."
Kurang ajar.
Aku ingin mengumpat dan memakinya kencang-kencang sebelum gadis itu mendengkur pelan tepat setelah menutup matanya. Aku menolak untuk percaya bahwa gadis dengan wajah tidur bodoh ini adalah gadis yang sama dengan orang yang menyuruhku untuk tidak menyerah beberapa jam sebelumnya.
Aih.
Fokus, Arthur, fokus.
Seperti kata orang bijak--diriku--, meladeni Annabeth sama sia-sianya dengan mencabut satu ilalang dari hamparan padang rumput meranggas. Jadilah, aku harus lebih banyak menghabiskan waktu dengan membaca buku ini dibanding memikirkan cara untuk mencercanya.
Hmm ....
"Alun-alun kota ... butik milik Nyonya Marigold ... bunga putih aneh dari danau dekat Hutan Pencecak ... kucing hitam yang kabur dari rumah penyihir ... Nyonya Griffith adalah orang paling kaya di Scallian-- Nyonya ... Griffith .... Annabeth, aku sudah menemukan sesuatu yang menarik untuk saat ini."
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scallian : The City of Cloud [END✓]
FantasíaSelamat datang di Scallian! Di sini, kami memiliki beberapa hal yang harus diperhatikan oleh para pelancong--atau penyintas yang memasuki kota ini sepertimu. Kota ini bukan milikmu atau nenek moyangmu. Jadi, jangan terlalu penasaran mengenai seluk b...