"Sayap peri asalnya dari peri asli atau tidak sebenarnya?"
Tetua kurcaci itu mengangguk kencang. "I~ya, seperti i~tu. Aku sendiri yang melepaskan~nya dari badan-badan makhluk i~tu."
"Kau mematahkannya langsung dari badan mereka?"
"Be~nar. Aku sendiri yang menangkap mere~ka sambil berlari-lari di lantai hu~tan. Ada li~ma yang tua, jadi mudah untuk di~tangkap. Belasan yang tidak tahu jadi mu~dah ju~ga untuk ditangkap. Ah, ada juga beberapa yang ter~bang~nya cepat se~kali jadi aku perlu mengejar mereka sam~pai ke tengah hu~tan. Un~tung saja mereka tidak bisa ter~bang ting~gi, hehehe.
Aku tidak mau membayangkan bagaimana cara orang cebol ini mematahkan sayap komunitas peri dan bagaimana teriakan ingin mati mereka yang hilang timbul di gema hutan. Walau badan kurcaci ini kecil, tangannya tidak cukup kecil untuk menjadi kesusahan saat akan mematahkan sayap peri.
Bayangkan ....
Betapa menyebalkannya ketika tengah bersenang hati membuat jalur embun di dedaunan musim panas, tiba-tiba sedetik kemudian seseorang menggenggam badan secara paksa, mematahkan leher, lalu mencabut sayap di punggung beserta tulang-tulang belakangnya sekalian.
Aku menatapnya aneh. Pandanganku seperti melihat makhluk hina, padahal dia tidak bisa juga disalahkan terlalu jauh. Yang memesan adalah Nyonya Peruglia, jadi tidak menutup alasan bahwa Nyonya Peruglia juga tidak ada bedanya dengan pemimpin makhluk-makhluk cebol berakal seperempat bagian otak ini.
Tidak ada lagi yang aku butuhkan dari makhluk ini. Urusanku dengannya sudah selesai dan kalau masih ada pun, aku akan dengan senang hati menganggapnya selesai. Memperpanjang waktu bersama makhluk ini sama saja seperti mendekatkan diri kepada kegilaan.
"Urusanku denganmu sudah selesai. Sana pergi! Untuk bayaranmu, aku akan membicarakannya kepada Nyonya Peruglia," usirku sedang tangan kananku memberi isyarat untuk segera angkat kaki dari tempat ini.
Kurcaci itu menolak, tapi pada akhirnya menurut juga setelah diancam akan dilaporkan kepada Nyonya Peruglia jika tidak kunjung pergi dari tokonya dengan pakaian berbau hutan lembap itu.
Dia melambai-lambai sambil tertawa seperti Pak Jorbund gila dari perkebunan tembakau ketika berjalan menjauhi toko. Makhluk bercelana konyol itu menghilang tepat setelah berbelok di belokan jalan yang biasa.
Aku menyeka keringatku. Bekerja sebagai penerima pesanan tidak jauh bedanya dengan bekerja di dapur dan pemanggangan.
Bedanya, jika menggiling kue aku akan kehilangan tenaga, sedangkan di sini, aku lebih banyak hilang akal.
Jalanan masih seperti itu-itu saja. Ada dua pasangan, satu rombongan besar dari sepuluh orang bertopi tinggi, dan tiga orang yang berjalan sendirian. Sisanya jalanan kosong melompong seperti halaman belakang panti di malam hari awal bulan Oktober.
Tidak ada lagi yang bisa kulakukan. Pun, sebentar lagi kontrak kerjaku akan habis--kapan pun Nyonya Peruglia memutuskan untuk menutup tokonya, maka saat itu pulalah aku harus berhenti dari pekerjaan ini dan menyerahkan celemek dan topi tukang kueku kepadanya.
Aku masuk ke dalam toko. Di belakangku ada seseorang lagi yang masuk--pelanggan biasa yang membeli dua potong pai apel. Niatku berjalan menuju dapur untuk menemui Nyonya Peruglia.
Yang kulihat ketika memasuki dapur cukup membuatku merasa kagum untuk satu menit.
Di meja dapur sudah ada kue bulat tiga tingkat setinggi anjing gembala tua dengan krim kocok putih di mana-mana. Baunya tidak manis, tapi juga tidak asin--mungkin campuran keduanya. Nyonya Peruglia sedang berjinjit susah-susah untuk meletakkan kepingan sayap peri di puncak kue.
Aku bergidik sedikit, namun akhirnya tetap menemuinya. Mungkin ada satu atau dua hal yang bisa kulakukan untuk membantunya. Benar saja, ketika wanita berambut panjang kusut itu melihatku, ia cepat-cepat menyodorkan kantung kembang gula sayap peri di tangannya kepadaku.
"Letakkan di tingkat paling atas," katanya. Dia berlalu dari meja dan duduk di kursi bundarnya tak lama setelah itu.
Aku tidak bisa menolak lagi. Mungkin saja ini adalah tugasku yang paling terakhir di toko ini jadi aku harus melakukannya dengan senang hati bagaimanapun caranya.
Lagi-lagi, hari terakhir harus sama dengan hari pertama. Membuat kesan baik. Begitu yang diajarkan oleh Ibu.
"Kau berhasil menjalankan tugas dengan baik, walau masih ada masalah. Terutama tadi, saat kau berlari-lari ke dapur untuk mengambil baki air." Nyonya Peruglia berbicara lagi, berniat untuk merangkum kinerjaku dari awal. Dia mengipas-ngipas wajahnya, padahal angin musim gugur sudah melewati dapur toko sejak tadi.
"Maaf, Nyonya. Tadi pengantar pesanan terakhir mengajakku bercanda." Aku tertawa kecil. Padahal, jauh di dalam hatiku, aku ingin sekali mengumpat si tetua kurcaci yang sudah membuatku kelihatan seperti orang bodoh dengan wajah seperti dirias asal-asalan menggunakan krim kocok.
"Setelah ini kau sudah selesai. Kontrakmu sudah habis dan kau bisa pulang ke rumahmu. Upahmu sudah kusiapkan. Nanti minta saja ke Nyonya Peruvian yang ada di depan, oke?"
"Baik, Nyonya."
"Ah, tapi ...." Nyonya Peruglia berbicara lagi, tapi dijeda beberapa saat. "Perihal kerja tambahan yang kujanjikan kepadamu, kau mau menerimanya?"
Aku mendengus, berdeham, lalu berpikir sebentar. Kerja tambahan sepertinya menarik. Tapi, aku tidak tahu seperti apa kerja tambahan yang ia maksud jadi lebih baik bertanya-tanya lebih dulu. "Kerja tambahan seperti apa, Nyonya?"
"Mengantar kue. Tidak banyak, hanya mengantar kue saja, ke pusat kota lusa nanti. Besok kau boleh beristirahat satu hari, tapi besoknya lagi, kau harus datang lagi ke toko ini. Aku akan menutup toko di hari itu dan akan menemanimu ke sana. Nyonya Peruvian juga ikut. Bagaimana?"
Mengantar kue, ya? Hmm ....
Tawarannya menarik. Pun, aku akan ditemani oleh dua orang yang pengalaman bekerja di toko kuenya lebih banyak daripadaku jadi aku rasa aku tidak akan mendapat kesulitan yang berarti.
Tanpa pikir panjang, aku langsung menerimanya. "Baik, Nyonya, aku mau," ucapku sambil memasang wajah antusias.
Bukan hanya aku saja yang bahagia, tapi Nyonya Peruglia juga. Dia mengguncang-guncangkan tanganku kuat, hampir setara dengan guncangan yang diberikan oleh Tuan Bargin Meath saat menyambutku dulu. Untuk ukuran orang tua, dia sudah bisa membuat lengan atasku kesakitan--mungkin tangannya sudah terlatih dengan menggunakan bantuan penggiling roti dan loyang panggangan.
"Baiklah, nanti, seperti kataku tadi, lusa, di pagi-pagi buta, kau harus datang ke toko ini. Bayaran tambahannya akan aku berikan setelah kuenya selesai diantarkan, bagaimana?"
"Tidak apa, Nyonya."
"Ya sudah, silakan pulang sekarang kalau mau. Aku akan menutup toko ini lebih cepat. Besok aku juga akan beristirahat dulu di rumah. Ah, celemekmu jangan lupa dikembalikan! Gantungkan lagi di dekat lemari penyimpanan sana. Tahu kan tempatnya?"
Aku mengangguk. Apronku tidak dipakai beberapa hari ini dan jika digunakan pun, aku tidak banyak berada di dapur dengannya. Tapi tak apa, aku akan menganggap bahwa menggantungkan kain penutup tubuh depan ini sebagai tanda selesai kontrak. Datang baik-baik, pergi juga baik-baik.
Aku menjabat tangannya sekali lagi sebelum benar-benar pergi, mengucapkan betapa aku berterima kasih kepadanya, lalu berlalu menuju pintu depan.
Ya ... menjadi tukang roti tidak seburuk yang kupikirkan, ternyata.
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scallian : The City of Cloud [END✓]
FantasySelamat datang di Scallian! Di sini, kami memiliki beberapa hal yang harus diperhatikan oleh para pelancong--atau penyintas yang memasuki kota ini sepertimu. Kota ini bukan milikmu atau nenek moyangmu. Jadi, jangan terlalu penasaran mengenai seluk b...