Manfred, Si Anak Ramalan

43 8 4
                                    

Hah?

Aku ....

Tenang, Arthur, tenang. Bargin Meath Tua sudah pernah mengatakan hal yang serupa kepadamu sebelum pria itu mati. Jadi, untuk apa takut?

Aku hampir bereaksi dengan tenang sebelum Nyonya Griffith menambah-nambahkan pertanyaan baru yang membuat kepalaku serasa ingin meledak. "Namamu siapa?"

"Arthur."

"Kepanjangannya?"

"Arthur Manfred," jawabku lagi.

Reaksi Nyonya Griffith benar-benar di luar dugaan ketika mengetahui nama panjangku. Matanya membuka lebar dan tubuhnya langsung bergerak aktif seperti baru saja disetrum di kursi listrik. Kemudian, Nyonya Griffith melompat dari kursinya dan mendekatkan diri ke arahku hingga kue kering berbentuk manusia jahe yang ada di tangannya terjatuh dan patah di lantai.

"Aku menemukanmu, Manfred. Kau adalah anak ramalan!"

Hah?

Jujur, aku sama sekali tidak mengerti dengan apa yang wanita ini ucapkan. Dari sejak ia melompat dan menggetar-getarkan bahuku dengan kuat, maka pada saat itulah aku menjadi bingung sebingung-bingungnya. Nyonya Griffith mengatakan berbagai macam hal tentang bagaimana senangnya dia ketika akhirnya bisa bertemu denganku, yang disebut-sebutnya sebagai anak ramalan--aku bahkan masih tidak tahu apakah wanita ini sengaja membual atau benar-benar serius dengan ucapannya.

"Kau adalah anak ramalan, Arthur!" Tangan wanita itu beralih untuk menggoyang-goyangkan lenganku. Matanya bersinar di keremangan api perapian. "Nama belakangmu, Manfred, sama seperti anak laki-laki yang pernah kutemui."

Nyonya Griffith masih meledak-ledak. Emosinya membuncah dan sekarang, ia beralih menatap Annabeth. "Kau bahkan membawa seorang gadis bersamamu, sama seperti dulu. Aku--"

"Nyonya, bisa jelaskan dulu apa yang sedang terjadi?" Aku akhirnya bertanya setelah beberapa menit berada dalam ketidaknyamanan yang menusuk. Nyonya Griffith langsung menghentikan perbuatannya--mungkin saja wanita itu tiba-tiba sadar bahwa tangan kurusnya yang mengayun-ayunkan lenganku bisa membuat lawan bicaranya merasa tidak nyaman dan ingin cepat-cepat melarikan diri.

Wanita itu mundur menjauh. Napasnya memburu dan butuh waktu beberapa belas detik sebelum wanita itu bisa kembali bernapas dengan benar. Setelahnya, wanita itu tersenyum. Satu tangannya mengambil salah satu kue kering yang teranggur rapi di loyang, menggigit setengahnya, lalu berkata dalam suara sumbang. "Ikuti aku, Arthur. Kau juga," ucapnya sambil menunjuk diriku dan Annabeth bergantian.

Aku ingin kabur. Untung saja wanita itu cepat-cepat mengatakan bahwa ia tidak akan berbuat yang macam-macam kepada kami dan akan memenggal kepalanya di alun-alun kota jika hal semacam itu terjadi. Aku membuntutinya dengan langkah kecil. Annabeth berada di belakangku. Sesekali mengeluh dan mencicit takut-takut.

Wanita kurus dengan tulang rahang menonjol itu mengarah ke tangga berliuk yang ada di dekat salah satu pintu. Ia menaikinya dengan pelan dan jari-jarinya mengetuk pegangan kayu tangga tersebut hingga nyaring terdengar ke telinga Annabeth. Gadis itu sempat berbisik-bisik di belakangku dan mengatakan bahwa wanita ini gila dan tidak memiliki gerakan yang bagus--padahal, jika bisa berkaca, aku yakin Annabeth tidak akan pernah mau mengatakan hal bodoh semacam ini.

Meski terlihat besar dari bagian luarnya, aku tidak pernah menyangka bahwa rumah Nyonya Griffith hanya memiliki dua lantai. Bukan itu yang ingin kukeluhkan. Bagaimanapun juga, ruangan di lantai kedua sama besarnya dengan di bawah. Mewah, rapi, berbau orang kaya. Rumah tumpanganku selama di Scallian tidak akan pernah bisa jadi sebagus ini.

Ada beberapa ruangan di lantai atas--setidaknya begitu yang berhasil ditangkap oleh sudut mataku. Nyonya Griffith sembari berjalan ikut menerangkan tentang ruangan-ruangan yang kami lewati seperti pemandu istana kerajaan--setengah diriku menolak untuk mendengar karena nada bicaranya yang dilambat-lambatkan, sedang setengahnya lagi masih penasaran dengan apa yang rumah besar ini simpan di dalamnya.

Ruang kerja, kamar, dan tempat pribadi untuk menenangkan diri. Meski tidak bekerja--berdasarkan yang Nyonya Griffith katakan barusan--, ia tetap mendapatkan ruang kerja. Sering dirinya membunuh waktu di tempat itu dengan mencoret-coret sesuatu di tumpukan kertas. Di lain waktu, wanita itu juga beberapa kali mendata tentang penduduk-penduduk mana saja yang berkunjung ke Gunung Telulang untuk dilaporkan ke walikota.

Kata Nyonya Griffith lagi, kamarnya besar dan luas hingga bisa dipakai untuk bermain lempar tangkap bola benang. Aku tidak akan mau susah-susah untuk memasukinya tanpa izin kecuali jika aku ingin menambah masalah baru yang lebih besar dengan orang ini. Ruangan yang lain tidak dijelaskannya karena wanita itu lebih fokus dengan jalan yang ada di depan.

Ruangan paling ujung, paling gelap, dan paling kecil pintunya adalah tujuan wanita itu kali ini. Pintunya tidak terkunci, kemungkinan besar sama seperti ruangan-ruangan lain. Wanita itu masuk dengan mudah dan langsung membukakan jalan untuk kami berdua.

Kami seakan raja dan ratu, padahal sebenarnya wanita inilah yang merupakan si pemilik rumah.

Mengherankan.

"Nah, Arthur, selamat datang di tempat paling penting dan paling berhubungan dengan kepulanganmu ke Blisshore." Nyonya Griffith berkata-kata dengan cepat, kemudian berjalan lagi menuju salah satu sudut ruangan.

Aku tidak sempat menjawab karena terpaku luar biasa dengan ruangan yang baru saja kami masuki. Annabeth bahkan sudah menganga lebar sedari tadi hingga mulutnya bisa dimasuki kepala cendawan totol putih bila tidak waspada. "Ikuti aku," desis Nyonya Griffith.

Ia mengajak kami mendekatinya. Pun, setelahnya, suara mendesis terus terdengar bahkan hingga mulut Nyonya Griffith tidak bergerak lagi. Annabeth tidak dapat menahan rasa ngeri ketika desisan itu bertambah keras seiring dengan langkah kami yang semakin dekat dengan Nyonya Griffith. Ada sesuatu yang berat terdengar bergerak merangkak di bawah meja batu besar yang ada di tengah-tengah ruangan.

Seekor burung peliharaan Nyonya Griffith muncul dari bawah secara perlahan ke arah wanita yang tengah menelusuri rak buku di hadapannya. Sayapnya membentang seperti tanpa ujung, menutupi setengah bagian ruangan, lalu menjatuhkan beberapa perabotan yang ada di atas meja batu--beberapa bulu-bulunya juga ikut tercabut dan melayang hingga jatuh di puncak kepala Annabeth.

Nyonya Griffith mengelus paruh burung itu dengan tangannya yang berjari panjang sambil terus memandang rak kayu besar di depannya. Burungnya menatap kami bergantian, mendesis lagi dua kali, lalu beralih ke tuannya.

"Arthur, coba lihat ini." Nyonya Griffith menyuruhku untuk mendekatinya. Wanita itu serta merta menepuk kepala burung peliharaannya ketika merasa bahwa sayapnya menghalangi jalan kami. "Burton, tutup lagi sayap-sayapmu. Aku tidak akan memberikanmu jatah daging kurcaci biru jika bertingkah nakal seperti ini."

Annabeth merasa takut dan gelisah tiap kali burung itu mengendus-endus bau badan kami. Tatapannya lapar. Burung itu lagi-lagi mendesis untuk yang ketiga kalinya. Apabila bertemu dengan kami di alam liar, aku yakin kami sudah pasti akan diburunya hingga terhempas ke tanah saat ini.

"Lihat ini, Arthur."

"Apa ini?"

"Buku catatan. Ada beberapa potret wajah kuno yang digambar oleh Tuan Gulliver di dalamnya. Lihat dulu, lalu katakan kepadaku pendapatmu setelahnya."

Kupikir, aku tidak akan mendapat serangan kejut lagi setelah dikatakan olehnya sebagai anak ramalan.

Aku salah. Di buku itu, aku melihat jelas potret wajah seseorang. Anak laki-laki dua belas tahun dengan senyum lebar dan rambut coklat tua.

Anak laki-laki yang memiliki wajahku.

Tbc.

Scallian : The City of Cloud [END✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang