"Maksud Nyonya?" Kali ini Annabeth yang bertanya. Gadis itu tersentak ketika mendengar kata 'tulang' di jawaban wanita itu tadi. "Nyonya Rugh ingin membeli tulang? Kenapa tidak dibeli di Blisshore saja, Nyonya? Di bagian toko daging, ada banyak yang menjual tulang beruang, kuda, sapi, dan biri-biri beserta kulit-kulitnya juga kalau mau."
Tidak dijawab. Kehadiran patung-patung bisu di belakang kami belum cukup untuk membuat Annabeth kesal, seorang yang bisu malah datang lagi untuk membuat Annabeth naik pitam sampai hampir meledak. Bukannya menjawab, wanita dengan rambut kusam dan berjari gendut itu diam saja. Menoleh pun tidak.
Annabeth kebingungan. Aku juga. Tidak ada pilihan lain selain kembali bertanya kepada wanita itu sampai dijawabnya barang satu kata saja.
"Nyonya," ucapku, "ada yang bisa kami bantu? Kami tidak mengerti tentang tulang apa yang kau maksud jadi kami sangat senang jika kau bisa menjelaskan perihal kalimat yang kau ucapkan barusan."
"Jika kesulitan untuk berbicara, tulis saja maksudnya di tanah menggunakan ranting." Annabeth ikut menambahkan sedang badannya berjongkok dan memungut salah satu ranting oak jantan yang terjatuh di dekat kakinya. "Pakai ini saja, Nyonya. Tapi kalau memang mau berbicara, ya berbicara saja. Aku tahu kau tidak bisu. Tiga bulan yang lalu kita bahkan pernah bergosip tentang anak menteri kota yang ketampanannya membuat mata silau itu."
Aih.
Menyerahkan urusan seperti ini ke Annabeth bukan pilihan yang tepat untuk diambil. Satu hal yang pasti, ketika memimpin pembicaraan, Annabeth tidak akan bisa berkata langsung ke intinya--pasti gadis itu akan memutarnya jauh-jauh hingga ke ujung dunia.
Masih didiamkan. Tapi kali ini, wanita itu menoleh sekilas, lalu kembali menunduk sambil sesekali memburu napas. Wajah dan perilakunya tidak jauh beda seperti mayat hidup yang pernah Nyonya penjaga panti ceritakan ketika anak panti tengah berjalan-jalan di bekas penggantungan penyihir dekat alun-alun kota.
"Nyonya, apa ada yang salah?"
"Tidak ada." Wanita itu akhirnya menjawab. Singkat. Hanya dua patah. Ada semangatnya pun tidak.
Aku menoleh ke arah Annabeth. Gadis itu mengangkat bahu lalu menggeleng tidak tahu. "Mungkin dia sudah gila karena ditinggal oleh suaminya."
"Dia punya suami?"
"Anak saja dia punya, Arthur. Bagaimana mungkin dia tidak memiliki suami? Dari selentingan-selentingan jahat yang aku dan anak gadis lain dengar dari para wanita penjaja tepung di pasar kota, Nyonya Rugh ditinggal pergi oleh suaminya beberapa bulan sebelum hari ini. Padahal waktu itu, Nyonya Rugh masih senyum-senyum saja ketika berpapasan jalan dengan kami. Pernah sekali dia memberiku bunga ungu yang ia petik dari ladang di waktu-waktu ketika gosip itu mulai menyebar."
Jika dilihat dari kerutan di dahinya, wanita ini sepertinya memang sudah bersuami--tulang punggungnya yang melengkung saja sudah bisa menunjukkan berapa umurnya saat ini.
Tapi, dari sekian banyak pilihan untuk bunuh diri--menenggelamkan diri di sungai hingga mayat terarung sampai laut, menggantung diri di hutan kota, atau mengonsumsi racun pengusir tikus terdengar lebih menjanjikan dibanding bersusah payah datang ke kota seperti ini--, mengapa Nyonya Rugh lebih memilih untuk datang ke kota ini? Bagaimana caranya? Apa yang ada di pikirannya?
"Nyonya--"
"Aku ingin menjadi tulang."
Setelah berkata seperti itu, si wanita penjahit dari keluarga Rugh tidak berkata apa-apa lagi. Kalimatnya selesai, tapi langkahnya masih dilanjutkan. Tanpa berucap satu kata pun, wanita tua itu berlalu dengan wajah datar.
Wanita itu berjalan lemas. Tidak ada yang ia lakukan selain berjalan memasuki gerbang sambil membungkuk. Tiga patung besar yang terpancang di dekatnya tidak ia acuhkan--tidak mungkin tidak terlihat oleh matanya. Orang dengan kacamata paling tebal sekalipun pasti akan langsung menyadari kehadiran patung-patung itu.
Tidak ada yang menghentikannya sama sekali, bahkan oleh ketiga patung penjaga gerbang dengan mata mengilat seperti rangka kumbang di belakang.
Wanita itu menghilang setelah berbelok di kelokan pertama.
Aku dan Annabeth saling berpandangan. "Apa-apaan itu?"
"Bukankah sudah kubilang kalau dia kemungkinan besar sudah hilang akal?"
"Sepertimu?"
"Bisa dibilang begitu. Tapi yang pasti, gerak-geriknya sama seperti orang gila yang biasa kulihat di pusat kota."
Annabeth mengakui bahwa dirinya hilang akal.
Akhirnya ....
Annabeth kembali membuka suara. "Paling tidak, daripada duduk hingga mati bosan seperti tadi, kita kini sudah memiliki tugas, bukan begitu?"
"Kita belum menjaga apa-apa."
"Kita sudah menjaga gerbang."
"Dari siapa?"
"Dari wanita tadi, Arthur. Tidakkah kau lihat bahwa dari tadi kita sudah berbicara dengan Nyonya Rugh?"
"Kalau memang menjaga, kenapa kita masih membiarkannya masuk?"
Annabeth diam sebentar. Gadis itu terlihat berpikir. "Dia tidak berbahaya. Jadi, tidak perlu banyak-banyak ditahan." Di akhir pembicaraan, gadis itu kembali lagi dengan jawaban yang sungguh tidak menyenangkan untuk didengar.
Begitulah. Setelahnya pun, tidak ada lagi percakapan di antara kami. Siang berlalu lebih cepat dari biasanya--barangkali karena sekarang sudah memasuki musim dingin.
Tidak ada lagi orang atau pendatang yang muncul untuk memasuki atau keluar lewat gerbang kota, bahkan hingga jam lima sore. Udara semakin dingin dan dari tadi Annabeth terus-terusan mengeratkan mantel hitam yang membungkus tubuh bagian atasnya. Wajahnya--dan kemungkinan besar wajahku juga--sudah memerah selama lima jam terakhir.
Sebentar lagi malam. Aku dan Annabeth sama-sama setuju bahwa malam bersalju seperti ini harus dihabiskan di bawah atap rumah, bukannya dengan berdiri dan meringkuk di lapangan terbuka lalu menunggu semalaman sampai ajal menjemput. Karenanya, kami memutuskan untuk pulang. Hari ini, tugas kami sebagai penjaga gerbang telah selesai dan sekarang waktunya untuk kembali ke rumah.
"Annabeth, ayo pulang. Kita tidak boleh berlama-lama di sini. Lagi pula, aku masih harus membeli makan malam di dekat pasar. Tokonya sebentar lagi akan tutup dan jika kau lambat, kita tidak akan bisa makan roti selai beri malam ini."
Annabeth menurut. Sepertinya gadis ini juga sama lelah dan laparnya denganku. Ia mengangguk, berdiri cepat, lantas menepuk-nepuk bokongnya lalu berjalan memasuki gerbang lebih dulu daripadaku. "Aku mau selai beri manis."
Gerbang depan masih sepi. Jalanan depan kota masih sepi. Blok tempat Toko Roti Nyonya Peruglia dibangun masih sepi. Kota Scallian masih sepi dan belum mau bersuara sore ini.
Aku menoleh sekilas ke belakang setelah memasuki gerbang. Tiga patung itu masih ada di sana, masih berjaga seperti barisan prajurit kerajaan dengan tinggi lebih dari dua blok kota.
Hari ini tidak ada yang bisa kulakukan. Hanya berjaga-jaga di depan gerbang tanpa tujuan yang jelas--aku bahkan tidak tahu apa itu masih bisa disebut sebagai bekerja. Tapi yang pasti, ketika memikirkan tentang si wanita penjahit yang datang tadi siang, aku tahu satu hal.
Dia tidak sama seperti aku dan Annabeth.
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scallian : The City of Cloud [END✓]
FantasySelamat datang di Scallian! Di sini, kami memiliki beberapa hal yang harus diperhatikan oleh para pelancong--atau penyintas yang memasuki kota ini sepertimu. Kota ini bukan milikmu atau nenek moyangmu. Jadi, jangan terlalu penasaran mengenai seluk b...