Karin baru saja pulang dari kedai, hari ini ia pulang sedikit lebih cepat dari biasanya karena sore ini juga Wildan akan pulang ke Bogor, Karin harus terpisah lagi dengan sang Abang, karena memang tempat mereka sudah berbeda, jarak harus memisahkan mereka.
"Semua sudah siap Bang?"
"Sudah siap kok. Rayan itu berani juga gak nemuin Abang?"
"Entah, kemarin sudah Karin kasih tau."
"Hem ... dia takut?"
"Mungkin Bang, Karin bilang kalau Abang mau ketemu karena ingin memarahi."
"Ya iyalah dia takut kalau di kasih taunya seperti itu."
"Bun itu," tunjuk Ara
"Tuh dia Bang," ucap Karin beranjak keluar
"Ayah," ucap Ara berlari menemui Rayan.
Rayan nampak kaget mendengar Ara menyebutnya 'Ayah'.
"Ara, Ara sudah tau ini Ayah?" tanya Rayan.
"Iya Bunda yang ngasih tau."
"Ya Allah Ara ... maafkan Ayah," ucap Rayan sambil memeluk Ara
"Ayah jangan pergi lagi ya, Ara mau Ayah selalu ada untuk Ara." Karin hanya terdiam melihat mereka berpelukan, ada rasa bahagia dan sedih melihat mereka. Kini mereka sudah saling tau, bahwa sebenarnya mereka adalah seorang anak dan ayah. Karin memberitahu semuanya agar mereka saling tau, untuk kebaikan mereka dan kini sudah tiba waktu yang pas untuk saling mengetahui.
"Ayah janji Ayah gak akan ninggalin Ara lagi. Makasih ya sudah memberitahu Ara siapa saya yang sebenarnya," ucap Rayan sambil menatap Karin
"Masuk," ucap Karin melangkah terlebih dahulu masuk ke rumah.
"Ara masuk kamar dulu," ucap Karin
"Baik Bunda."
"Silakan duduk," ucap Karin yang ikut duduk di kursi ruang tamu
Karin tidak menyangka Rayan akan ke rumah menemui abangnya, Karin kira ia takut untuk menemuinya. Mereka terdiam sejenak, saling memandang, sedangkan Karin ia tidak tau apa maksud Wildan ingin bertemu Rayan.
"Oh ini yang namanya Rayan?"
"Iya Bang sa-saya Rayan."
"Jangan gugup, saya tidak akan menerkam kamu. Saya Wildan Abangnya Karin. Jadi kamu serius dengan Adik saya?" tanya Wildan yang membuat Karin melotot kearah Wildan.
"Saya benar-benar serius ingin menikahi Karin."
"Baguslah kalau begitu datang ke rumah kami yang di Bogor," pinta Wildan yang membuat Karin dan Rayan terkejut.
"Abang!" ucap Karin.
"Ja-jadi saya di berikan lampu hijau?" tanya Rayan.
"Ya. Tapi saya menyuruh kamu ke rumah saja menemui Ibu, tapi keputusan tetap ada di tangan Karin, kalau saya oke saja, yang penting kamu bisa menjadi Imam yang baik untuk nya, bertanggung jawab, penyayang dan yang baik untuk Karin. Bisa sholat kan?"
"Alhamdulillah saya bisa sholat."
"Ngaji?"
"Bisa Bang."
"Pernah jadi Imam?" tanya Wildan
"Pernah."
"Alhamdulillah kalau jawaban kamu itu benar. Saya hanya ingin adik saya mendapatkan suami yang baik, saya percayakan kamu, dan saya suruh kamu langsung ke rumah, jadi jangan hancurkan kepercayaan saya."
"Terima kasih Bang atas kesempatannya. In Syaa Allah secepatnya saya akan ke sana."
"Baiklah saya tunggu," ucap Wildan
Setelah lama berbincang-bincang Rayan berpamitan untuk pulang, ada rasa bahagia ketika ia di suruh untuk segera ke rumah Karin.
"Saya pulang dulu Bang."
"Iya hati-hati."
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam," jawab Wildan
Karin segera mengikuti Rayan keluar dari rumahnya.
"Kamu sudah punya jawabannya?" tanya Rayan
"Belum, mungkin nanti saya sudah mendapatkan jawabannya."
"Saya tunggu dan lusa saya akan ke rumah kamu."
"Lusa?"
"Iya lusa. Kamu mau ikut?"
"Baiklah saya ikut, saya mau ketemu ibu."
"Syukurlah. Kalau begitu saya pamit dulu. Sampai ketemu lusa calon istri." Rayan tersenyum manis menatap Karin bahkan ia mengedipkan sebelah matanya.
"Calon istri? Kalau saya nolak? gagal jadi calon," ucap Karin sambil mengerutkan keningnya
"Gapapa nanti saya usaha lagi agar mendapatkan kamu. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam," jawab Karin menatap kepergian Rayan
********
Aku terdiam menatap rintikan hujan di luar sana, pikiranku kembali mengingatkan kejadian sore tadi. Aku bingung dengan pilihanku ini, aku takut jika aku salah pilih dalam mengambil keputusan, ini menyangkut dengan masa depanku walaupun sudah melaksanakan sholat istikharah beberapa kali aku masih saja ragu, mungkin aku harus meminta petunjuk lagi dengan Allah, agar hatiku yakin dengan keputusan itu.
"Ya Allah jodohkan lah aku dengan seseorang yang terbaik menurut Mu dia yang dapat menerimaku apa adanya yang dapat mencintaiku meski tahu banyak kekuranganku dan dapat membimbingku agar selalu dekat dengan Mu."
Aku tidak tau dengan hatiku sendiri, apakah aku sudah memaafkannya atau malah sebaliknya? Aku tidak paham dengan diriku ini, kadang aku lupa dengan kejadian itu terkadang juga aku mengungkit masa lalu itu agar hatiku bimbang memilihnya, setelah apa yang ia lakukan padaku.
"Bunda,"
"Astaghfirullah Ara."
"Hehe ... Bunda kaget?"
"Iyalah, Ara ini."
"Maaf Bunda. Bunda gak tidur?"
"Ara sendiri kenapa belum tidur?"
"Ara lagi memikirkan sesuatu."
"Anak sekecil Ara mikirin apa sih?"
"Hem ... Ara mikirin ayah, apa bisa Ara main sama ayah? Seperti teman-teman Ara yang lain?" tanyanya sungguh menyayat hatiku.
"Kenapa nanya gitu? Ara bisa kok, nanti Bunda suruh ayah ajak main Ara."
"Beneran nih Bun?"
"Iya kalau dia tidak sibuk."
Ara memelukku lalu mencium pipiku. "Hore ... makasih Bunda."
"Iya sayang. Dah sana tidur."
"Oke, good night Bunda."
"Good night sayang cium Bunda lagi."
Cup
"Ara ke kamar dulu."
"Iya," jawabku sambil tersenyum manis.
"Maafkan Bunda Ara, Bunda belum bisa penuhi keinginan Ara untuk tinggal bersama Ayah"
KAMU SEDANG MEMBACA
Takdirku "menjadi ibu muda" (SUDAH TERBIT)
Teen Fiction📌Sudah terbit jika ingin memesannya bisa langsung hubungi saya Karin seorang ibu muda, ia hamil disaat umur 18 tahun karena suatu kejadian yang membuatnya hamil di usia muda. Ia hamil bukan karena pergaulan bebas namun ada suatu kejadian yang membu...