MIM 31

36.1K 2K 39
                                    

Part ini di buat berdesak-desakan jadi...mohon maaf jika banyak kesalahan dalam penulisan maupun alur yang ngawur. Selamat membaca jangan lupa Votenya

❤️❤️❤️❤️❤️

"Ya Allah ... jika sudah masa tiba untuk hamba menikah, maka pertemukan lah hamba dengan seorang pria yang baik, yang Soleh, yang bertanggung jawab dan mampu menjadi Imam yang baik, yang mampu membimbing hamba menjadi lebih baik. Hamba ikut skenario Mu saja ya Allah, hamba terima siapa pun lelaki yang Engkau kirimkan untukku, aku yakin pilihan Engkau tidak pernah salah, pilihan Mu lah sebaik-baiknya pilihan Aamiin."

Setelah selesai sholat dan berdoa, aku langsung menuju kamar Ara untuk mengajaknya makan malam, memang kamar kami terpisah, ini kehendak Ara yang ingin tidur sendiri, ia ingin menjadi anak yang mandiri dan tidak manja, itulah salah satu yang membuat ku bahagia, sifatnya yang tidak manja dan mau belajar.

"Aamiin," ucap Ara yang ternyata baru saja selesai sholat magrib

"Ara doa apa sih?"

"Bunda kepo," ucapnya sambil melepas mukenanya

"Iya Bunda kepo nih, Ara doa apa?" ucapku yang kini sudah masuk ke dalam kamarnya

"Bunda mau tau?"

"Iya."

"Setiap kali sholat Ara selalu meminta pada Allah agar Ara sama Bunda bahagia, dan doa yang tidak pernah Ara lupakan adalah berdoa agar Allah berikan Ara seorang Ayah yang baik sama Ara, yang sayang Ara, yang peduli sama Ara, pokonya Ayah yang baiklah," ucapnya. Aku terkejut mendengar jawabannya, jawaban Ara begitu tulus dari hati, ia benar-benar sangat menginginkan kehadiran sosok Ayah di hidupnya.

"Ara mau punya Ayah?" tanyaku sambil mengusap kepalanya.

"Mau banget Bun, Ara mau juga seperti Azzam yang punya seorang Ayah yang baik seperti Om Afnan, Ara iri dengan teman-teman yang punya Ayah, Ara juga mau bisa pergi kemana-mana sama Ayah seperti teman-teman. Bun apa Ara gak mungkin bisa punya Ayah?" tanyanya.

Mataku berbinar-binar menatapnya.
"Mungkin nanti Ara akan punya Ayah, punya Ayah yang baik, yang sayang Ara, Ara harus yakin pasti ada Ra. Maafkan Bunda ya Ra, Bunda janji akan penuhi keinginan Ara untuk bisa punya Ayah, tapi kalau Allah mengijinkan nya, In Syaa Allah, Allah akan hadirkan seorang Ayah di kehidupan kita."

"Beneran Bun?" tanyanya.

"Insya Allah sayang."

"Hore."

"Jangan bosan untuk berdoa dan meminta sama Allah ya, Nak Allah maha mendengar, Allah sangat tau apa yang Ara inginkan, mudah saja bagi Allah untuk mengabulkan nya, tapi Ara harus tetap berdoa agar Allah kabulkan keinginan Ara."

"Iya Bun, Ara akan terus berdoa."

"Pinter anak Bunda, sini peluk dulu."

"Sayang Bunda."

"Sayang Ara juga, Ara itu sumber kebahagiaan dan semangat Bunda, Bunda sangat sayang Ara"

*******

Seperti biasanya, pagi-pagi sekali aku sudah berkutat di dapur, menyiapkan sarapan pagi untuk kami berdua.

"Eh sudah siap anak Bunda?"

"Iya dong Bun."

"Pintar Ara, gak memerlukan bantuan Bunda lagi untuk siap-siap ke sekolah. Duduk dulu, Nak sebentar lagi masak."

"Bunda Ara mau nanya sesuatu sama Bunda."

"Mau nanya apa sayang?" jawabku sambil mengaduk nasi goreng

"Suami itu apa sih Bun? Ara pernah denger Bunda sebut itu," ucap Ara. Aku tersenyum padanya, Ara orang yang sangat ingin tahu tentang hal-hal yang baru saja ia dengar.

"Suami itu adalah seorang pria yang menjadi teman hidup. Sebelum diresmikan statusnya sebagai seorang suami dan istri mereka harus menikah dulu. Di dunia ini kita di ciptakan dengan berpasang-pasangan, seperti Bulan dan Bintang, siang dan malam, laki-laki dan perempuan, ya gitulah pokoknya suami itu seorang teman hidup."

"Kalau gitu kenapa Bunda gak punya suami?" tanya Ara.

Aku menggelengkan kepalaku mendengar pertanyaan. "Sudah ah bahas itu, sekarang waktunya untuk makan nih habiskan makanannya."

"Kenapa gak Om Fadli atau Om Yusuf aja yang jadi suami Bunda?" tanya Ara.

Aku mengerutkan keningku mendengar pertanyaannya. "Eh ... gak bisa gitu, sudah jangan nanya itu lagi, sekarang Ara makan nanti telat."

"Iya Bunda."

Sekitar sepuluh menitan kami selesai sarapan pagi, selesai sarapan dan semua sudah siap kami segera pergi meninggalkan rumah. Seperti hari-hari biasanya, sebelum ke Kedai aku harus mengantar Ara terlebih dahulu.

"Bunda nanti bawa Ara beli buku ya," ucapnya

"Siap, buku apa Nak?"

"Buku cerita Bun, Ara sudah lama mau beli buku cerita yang ada gambarnya."

"Oke Bos kecil. Dah sampai, Ara baik-baik ya belajarnya, jangan bicara mulu saat belajar"

"Iya Bunda. Hei"

"Ara menyapa siapa?" tanyaku sedikit membungkuk menghadap wajah Ara

"Tuh di belakang Bunda," ucapnya sambil menunjuk ke arah belakang ku

"Astaghfirullah," ucapku kaget

"Om ngapain ke sini?"

"Om bawakan Ara roti, dimakan ya."

"Makasih ya Om baik hati."

"Kamu ngapain ke sini? Sudah berapa kali saya bilang, jangan ganggu saya!"

"Saya kurang percaya kalau kamu itu sudah punya suami, jadi ... Ara sayang, Ayah Ara mana?"

"Hem ... Ara pun gak tau, Ara tidak punya Ayah."

"Sudah saya duga, masih ada peluang untuk memperjuangkan kamu, boleh saya berjuang?"

"Jangan harap! Ara cepat masuk," ucapku.

"Tapi bun Ara ma_"

"Cepat masuk!"

"Baik bun Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam," jawabku lalu pergi meninggalkannya.

"Karin tunggu."

"Mau apa lagi?"

"Saya mau kamu."

"Kamu gak sadar diri ya, sudah tau saya benci kamu, masih saja mau saya."

"Saya tidak akan menyerah untuk mendapatkan hati kamu Rin, karena saya sudah jatuh Cinta."

Deg

Tiba-tiba jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya, sempat terdiam membisu, lalu aku pergi meninggalkannya.

Takdirku "menjadi ibu muda" (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang