39

3.8K 208 11
                                    

Kini suasana kamar Nara diselimuti atmosfer kecanggungan yang amat tebal. Hanya keheningan yang ada di antara Raffa dan Nara. Tidak ada satu pun yang berniat membuka suara.

Raffa menatap Nara dengan pandangan yang sulit diartikan. Gadis itu sebenarnya menyadarinya, namun ia seolah-olah tidak tahu agar tidak semakin menambah suasana awkward.

"Gimana kondisi lo?"

Nara mendongak ke arah Raffa. Matanya mengerjap beberapa kali untuk dapat menerima ini bukan mimpi atau hanya ilusinya.

"Ck. Gue rasa lo semakin lemot setelah jatuh ke jurang," ujar Raffa dingin.

Nara menyipitkan matanya dan bibirnya ia kerucutkan. Benar, ini adalah Raffa asli karena kata-katanyanya menusuk. Ia sadar ini bukan ilusinya saja.

"Nggak papa, gue sabar kok lo katain kaya gitu," ucap Nara diiringi senyum manisnya. Raffa membuang pandangannya dari gadis itu. Bukan, lebih tepatnya dari senyuman manis milik gadis itu.

"Oh, iya! Emm..... Makasih ya lo udah nolongin gue. Kalau lo nggak nolongin gue, mungkin cuma tinggal raga gue yang masih di jurang," tutur Nara.

Raffa menghela nafas berat. Ia sangat benci kalimat itu. Seharusnya gadis itu tidak bermain-main dengan kata-kata itu.

"Gue nggak mau denger kata-kata itu lagi,"

Nara mengerutkan keningnya, "lo nggak mau gue bilang makasih?"

"Setelah itu,"

"Kenapa? Bukannya bener ya, kalau lo nggak nolongin gue pasti cuma raga gue yang tinggal di sana,"

"Stop sebutin kalimat itu. Lo nggak tau seberapa berharganya nyawa itu,"

"Maaf," ucap Nara sembari menundukkan kepalanya.

Raffa kembali menghela nafas berat. Ia merasa ada yang berbeda dengan gadis ini setelah jatuh ke jurang. Sifatnya yang selalu memberontak tak lagi kentara. Bahkan gadis itu lebih memilih kata maaf daripada berdebat.

"Besok diulang lagi biar lukanya rata dimana-mana," ucap Raffa sambil mendorong pelan kening Nara menggunakan jari telunjuknya. Nara mengaduh dan mengelus keningnya.

"Masih sakit tau!" Protes Nara kesal.

Raffa terkekeh pelan. Tujuannya membuat Nara kembali menjadi Nara yang seperti biasanya berhasil. Ternyata dirinya tak perlu susah payah untuk berusaha.

Sementara itu Nara mematung, terkejut melihat pria itu terkekeh. Hal ini adalah kejadian yang langka, tidak semua orang bisa melihatnya.

"Kenapa liatin gue?" Tanya Raffa yang membuat Nara sedikit tersentak.

"Enggak! Gue liatin cicak yang lagi kejar-kejaran tuh," Nara menunjuk dinding di belakang Raffa. Pria itu menoleh namun tak menemukan apapun.

"Lo nggak pinter bohong,"

"Iya lah, kan gue terbiasa jujur," ucap Nara bangga.

Sedetik kemudian mulutnya mengatup rapat. Ia menyadari akan ucapannya. Secara tidak langsung ia mengakui kalau ia menatap Raffa. Sementara itu Raffa tersenyum miring.

"Eh! Kalau lo nolongin gue kok lo nggak ada di rumah sakit?" Tanya Nara untuk mengalihkan pembicaraan.

"Emang gue harus ikut?"

"Enggak juga sih,"

Raffa memasukkan tangannya ke saku celana seragamnya. Ia melangkah menuju pintu dan membukanya. Sebelum keluar ia berbalik dan menatap Nara.

"Makan dulu, yang lain udah nungguin,"

Nara tersenyum manis. Ia menunjukkan ibu jari dan jari telunjuknya membentuk huruf O. Kemudian ia segera turun dari tempat tidur dan mengikuti Raffa ke bawah.

NARAFATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang