51

3.6K 190 13
                                    

Hembusan angin malam dengan lancangnya meraba setiap inci wajah pahatan indah oleh Tuhan. Menjadikan kulit halus pria itu terasa dingin.

Sejak langit memancarkan semburat kuningnya, Raffa tak berniat beranjak dari balkon kamarnya. Pria itu terus duduk termenung memikirkan ucapan Nara beberapa hari lalu.

~~~Flashback on~~~

Setelah menunggu Nara selesai rapat kepengurusan OSIS, Raffa mengajaknya untuk makan di sebuah cafe. Seperti biasa, pria itu tak banyak bicara.

Sepertinya Nara merasa sedikit bosan. Ia mengetuk-ngetuk jarinya ke meja sambil matanya berkeliaran ke sana kemari. Matanya terpaku pada sepasang kekasih yang saling menyuapi dengan sangat romantis.

Kedua sudut bibirnya tertarik ke bawah. Jujur ia sangat ingin seperti pasangan itu. Tapi sepertinya sulit jika bersama Raffa karena pria itu asyik makan sendiri.

Saat menyadari tak ada suara dari gadis itu, Raffa menoleh padanya. Ia mengikuti arah tatapan gadisnya. "Lo pengen disuapin juga?"

Nara terperanjat mendengar suara Raffa. Ia menggelengkan kepala cepat. "Nggak, gue nggak pengen kaya gitu. Apaan deh norak banget," dalihnya.

"Jujur sama gue,"

"Gue udah jujur,"

"Lo iri sama pasangan itu, kan?" Terang-terangan Raffa menunjuk sepasang kekasih itu. Kedua mata Nara membulat. Dengan sigap ia menarik tangan Raffa sebelum sepasang kekasih itu melihatnya.

"Jangan tunjuk-tunjuk juga kali! Entar kalau orangnya liat gimana?" Ucap Nara kesal.

Dengan santainya Raffa mengedikkan bahunya tak acuh. Helaan nafas berat keluar dari mulutnya mengingat sifatnya pada Nara selama ini.

"Sorry gue nggak seperti cowok lain yang bisa berbuat manis dan buat ceweknya nyaman. Mungkin gue jauh dari kata kriteria cowok yang lo pengen," ucap Raffa tenang namun mampu membuat suasana menjadi haru.

Hati Nara teriris dengan semua kata-kata Raffa. Kata siapa dia jauh dari kriteria pria yang diinginkan Nara? Justru dia itu pria yang sangat Nara inginkan. Nara suka sifatnya yang cuek namun diam-diam perhatian.

"Jangan ngomong gitu, gue jadi sedih. Jujur gue emang iri sama keromantisan mereka, tapi gue nggak nuntut lo jadi seperti cowok itu," ucap Nara tulus. Ia harap pria di depannya itu mengerti maksudnya.

"Gue nggak suka jadi orang lain, gue lebih suka jadi diri gue sendiri. Tapi kalau lo pengen gue berubah mungkin lo bisa bantu gue pelan-pelan," Raffa menggenggam erat kedua tangan Nara. Ia ingin gadisnya merasa nyaman dengan dirinya.

"Nggak! Gue lebih suka lo jadi diri sendiri daripada berubah jadi seperti orang lain," kata Nara tegas.

Kedua sudut bibir Raffa terangkat. Nara tak seperti yang ia pikirkan. Gadis itu jauh dari sifat para perempuan yang selalu menuntut pacarnya untuk melakukan semua yang diinginkannya.

"Bilang sama gue kalau lo bosen dengan sikap gue," ucap Raffa dengan menatap mata Nara dalam.

"Gue nggak bosen sama lo, Kak. Tapi gue nggak tau kedepannya gimana, karena cinta itu seperti atom yang bisa memiliki dan juga melepaskan," Nara menunjukkan senyum manis di akhir kalimatnya.

Raffa semakin menatap dalam mata indah gadisnya. Ia takut jika nantinya Nara akan meninggalkannya di saat ia benar-benar mencintainya.

"Itu nggak akan terjadi kalau kita saling percaya. Cinta itu ibarat bangunan dan kepercayaan itu ibarat pondasi. Bangunan cinta tidak akan berdiri kokoh jika tidak ada pondasi kepercayaan yang dibangun," ucap Raffa tulus yang membuat Nara speechless.

NARAFATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang