Prosesi pemakaman jenazah Nara telah selesai. Satu persatu teman sekolah dan kerabat kerja orangtuanya yang melayat meninggalkan pemakaman. Menyisakan keluarga, sahabat, dan Raffa beserta keluarganya.
Tari, mama Nara dan Satya mengusap pundak Eyang Susi yang terus menangis dan memeluk batu nisan sang cucu tercinta.
"Udah, Ma. Ini takdir dari Allah, garis hidup Nara hanya sampai di sini. Tari paham apa yang dirasakan Mama karena Tari sendiri adalah orangtua Nara," ucap Tari lemah dengan pipinya yang masih basah akibat air matanya.
"Kenapa harus Nara yang merasakannya? Dia cucuku yang paling baik dari yang lainnya. Kenapa kalian semua lalai menjaganya? Kalau dia masih bersama Eyang di Jogja nggak mungkin dia pergi secepat ini," ujar Eyang Susi dengan penuh emosi.
Pipi Satya yang mulai mengering kini harus basah lagi karena air matanya turun kembali. Perkataan eyangnya sangat menusuk hatinya. Benar apa yang dikatakan Eyang Susi. Ia lalai menjaga Nara.
Yoga yang tahu apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan oleh Satya. Pasti sangat sakit. Ia menepuk pundak Satya dan meyakinkannya jika ia bisa kuat menghadapi semua ini.
"Ini sudah menjadi takdir, Ma. Kalaupun kita bisa memilih, kita juga nggak mau Nara pergi secepat ini," Adi, papa Nara dan Satya mulai frustasi dengan keadaan.
Mila, Fely, dan Tasya menangis sesenggukan. Melihat kedua orangtua Nara dan Eyang Susi berdebat membuat hati mereka semakin terenyuh. Kepergian Nara cukup meninggalkan luka mendalam bagi banyak orang.
Gadis itu sangat berpengaruh bagi orang terdekatnya. Semua sifat dan sikapnya selalu membuat semua orang nyaman padanya. Sehingga banyak yang tak ikhlas jika gadis itu pergi secepat ini.
Di belakang Satya, ada Raffi dan Santi yang berdiri mendampingi Raffa. Santi memeluk bahu putra sulungnya untuk menguatkannya. Ia sangat tahu apa yang dirasakan putranya karena ia seorang ibu yang memiliki ikatan batin dengan anaknya.
"Pa, Ma, Eyang. Maafin Satya karena Satya nggak bisa jaga Nara dengan baik," lirih Satya seiring dengan buliran air matanya yang terjun ke bawah.
"Kamu nggak perlu minta maaf, ini sudah men--,"
"MAMA!!" Teriakan Tari berhasil memotong ucapan Adi dan membuat semua heboh.
Eyang Susi jatuh pingsan di samping liang lahat cucunya. Dengan sigap Adi dan Tasya mengangkat tubuh Eyang Susi. Sementara itu yang lainnya berhamburan mencari kendaraan untuk membawa Eyang Susi.
"Ayo cepetan kita bawa ke rumah sakit!" Teriak Adi panik.
Semua orang terlalu panik dengan kondisi Eyang Susi. Mereka semua membawa Eyang Susi ke rumah sakit, kecuali Raffa yang masih diam di tempatnya. Santi dan Raffi yang tadinya ingin menyusul mereka pun mengurungkan niatnya.
Santi tersenyum sedih melihat kondisi Raffa. "Kamu nggak mau pulang?"
"Bentar, Bun. Raffa masih pengen di sini," jawab Raffa pelan.
"Kasih waktu buat Raffa dulu, Bun. Kita pulang duluan aja," ucap Raffi yang ingin memberikan kesempatan untuk Raffa. Mungkin saja ia ingin mengatakan sesuatu pada Nara yang ada di bawah tanah kuburnya.
Santi mengangguk setuju. Ia mengelus pelan pipi Raffa sebelum pergi dengan Raffi meninggalkan putranya sendirian.
Raffa berjongkok di samping peristirahatan terakhir Nara. Pria itu memandang lekat-lekat nama yang terukir di batu nisan itu. Nama yang berhasil mengambil hatinya kini telah meninggalkannya. Untuk selama-lamanya.
"Beberapa hari ini gue selalu dihantui perasaan takut karena ucapan lo di cafe waktu itu. Gue takut itu terjadi. Dan ternyata memang benar-benar terjadi, lo pergi ninggalin gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
NARAFA
Fiksi Remaja[SEGERA TERBIT] Ini kisah tentang Kanara, gadis berparas cantik dengan tingkah laku ajaibnya yang bisa membuat siapa saja geleng-geleng kepala. Ini juga kisah tentang Raffa, senior tampan dengan sikap dinginnya yang justru mampu membius kaum hawa. ...