45

3.5K 208 17
                                    

Nara tertunduk lemas di depan mobil Satya. Entah kenapa tenaganya seperti hilang setelah kejadian di taman tadi ditambah pula dengan otaknya yang harus bisa mencari alasan agar diizinkan Satya pergi.

"Kok lo jadi lemes gini sih. Apa karena lo suka sama Deva dan nyesel udah nolak dia?" Tanya Satya khawatir.

Nara tetap diam menatap sepasang sepatunya. Satya merasa bersalah atas perbuatannya. Ia takut jika sebenarnya Nara memang suka dengan Deva.

"Maaf, Ra. Gue tau kalau gue egois, selalu ngatur hidup lo, dan gue terlalu ngekang lo," Satya berkata lembut.

Nara mendongakkan kepalanya. Matanya terbelalak saat melihat Satya yang merasa bersalah. Ia tidak tahan melihat Satya dalam keadaan seperti ini. Lalu ia menubruk tubuh Satya dan memeluknya.

"Enggak! Lo salah kalau ngomong gitu. Lo itu kakak terbaik di dunia ini, kakak yang selalu ada untuk adiknya dan tulus menyayangi adiknya. Gue nggak pernah ngerasa lo ngekang gue, malah lo yang selalu ngasih kebebasan gue disaat Papa dan Mama nggak kasih itu semua ke gue."

Tanpa diberi izin, air mata Nara dengan nakalnya terjun bebas dari mata indah gadis itu. Menjebol pertahanan kokoh Nara.

Satya membalas pelukan Nara dan mengusap rambut Nara lembut. Adiknya sudah tumbuh dewasa, namun selamanya ia akan tetap menjadi adik kecil untuk Satya.

Raffa menyenderkan tubuhnya di pintu mobil, tangannya bersedekap. Ia tersenyum menatap kakak adik yang saling mengasihi di depannya itu.

"Gue jadi pengen pulang terus peluk adik gue kaya gitu. Pasti adik gue juga bakal seneng dan nangis kalau gue peluk," ucap Yoga terbawa suasana.

"Lo anak tunggal, bego!" Balas Raffa yang merasa kesal dengan temannya satu itu.

"Gue kan lupa kalau gue anak tunggal dan kalau anak tunggal tuh nggak punya saudara," ucap Yoga tanpa dosa.

Nara melepaskan pelukannya. Ia terkekeh melihat kelakuan Yoga. Saat ada Yoga entah kenapa selera humornya menjadi rendah, apalagi ditambah dengan balasan ketus dari Raffa.

"Kalau udah mulai gini nih, gue sama Raffa jadi semakin semangat jodohin lo sama Bela," ucapan Satya berhasil mengundang tawa semuanya, kecuali Yoga yang ternistakan.

Nara berhenti tertawa saat melihat Raffa yang tertawa lepas tanpa beban. Sudut bibirnya terangkat tanpa ia minta. Tawa pria itu cukup menyejukkan hatinya.

Ia bisa mendefinisikan arti cinta pada Raffa. Namun ia sendiri tak dapat mengartikan apa yang sedang ia rasakan sekarang. Mungkin ini juga salah satu alasan ia menolak Deva.

Gadis itu pikir Raffa orang yang tidak peka karena sifatnya yang sangat cuek sehingga ia dengan beraninya menatap Raffa lama. Dugaannya itu salah besar, Nara tertangkap basah sedang menatapnya.

"Oh iya! Gue nggak balik bareng lo, Kak. Soalnya gue mau ketemuan dulu sama temen," ucap Nara untuk mengalihkan perhatiannya.

"Sekalian gue anter kan bisa daripada lo naik taksi," ujar Satya.

"Eh! Ng-nggak usah! Dia bakal jemput gue di halte depan," Nara terlihat cemas.

"Temen lo siapa sih? Emang lo ada temen lain selain anak Vilgold?" Tanya Satya penasaran.

Setahunya Nara itu tidak ada teman selain Mila dan anak Vilgold. Selama pindah ke Jakarta pun ia juga tidak ada membawa teman lain ke rumah.

"Ada lah, emangnya temen gue dikit?!" dalih Nara.

"Udah lah, Sat. Biarin aja Nara pergi, lagipula kita kan nanti juga pergi," Yoga mengibaskan tangannya.

Satya mengangguk setuju. Ia memperbolehkan Nara untuk pergi. Namun sebenarnya di dalam hatinya ia merasa ada sesuatu yang mengganjal.

NARAFATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang