8. Ban Bocor dan Mas Fathur

10.8K 1.1K 28
                                    

Ban bocor di jalan yang sepi pada malam hari  adalah hal yang begitu mencekam. Bayangkan jalanan sepi di antara pepohonan rindang kampus UGM. Sialnya lagi ketika baterai handphone habis. Lengkap sudah.

Hanya berharap tidak ada begal ataupun penculik. Karena aku membawa motor milik almarhumah Oma. Kesayangan ayah tentunya. Dan juga laptop dan berkas monitor pasien yang begitu penting.

Aku menuntun motorku lurus terus maju pantang mundur. Melewati kampus kedokteran gigi. Yang katanya angker. Semuanya sih sama aja.

Sebenarnya jalanan ini ramai jika masih siang. Tapi ini sudah pukul sepuluh malam. Sepanjang jalan aku hanya bisa menangis dan berdoa.

Aku menoleh saat ada mobil menepi. Tak lama si pemilik membuka pintu. Aku sudah was-was dan bersiap lari.

"Dek Calla." Aku menangis saat melihat siapa yang datang. Akhirnya ada yang ku kenal. Dan yang kucinta.

"Kok nangis Dek." Aku menggeleng mengusap kasar air mataku.

"Takut" cicitku. Mas Fathur, dia memegang bahuku.

"Nggak usah takut. Ada aku, sekarang kamu bawa mobilku. Di depan ada kos temen ku. Kita titip motor kamu di situ.

Dan sekarang aku satu mobil dengan Mas Fathur, laki-laki tampan yang selalu aku idamkan. Bahkan namanya selalu terselip dalam lima waktuku.

Motorku sudah masuk ke garasi kontrakan teman Mas Fathur yang dekat dengan rumah sakit.

"Aku laper dek. Makan dulu ya sebelum aku anter pulang." Ucapnya. Kalau boleh jujur sekarang badanku panas dingin di dekat Mas Fathur.  Ini kali pertama aku duduk sedekat dan bisa menatap ia selamat ini.

"Oh oke mas. Saya ikut aja. Malah makasih banget udah di anterin." Jawabku padanya. Kalian tahu? Dia wangi sekali. Wanginya bikin pengen nyender. Terus kemejanya di gulung sampai siku. Sampai otot tangannya kelihatan begitu manly. Dan asal kalian tahu? Kegantengannya bertambah 10% saat menyetir seperti ini.

Namanya Muhammad Faturahman. Asal Palembang, kuliah di Jogja. Kami dekat karena kejadian beberapa tahun silam. Semakin dekat karena ia tipe kakak tingkat yang selalu baik dan ramah kepada siapapun.

Di semester satu dan dua aku aktif ke BEM yang membuat insensitas pertemuan kami bertambah. Entah bagaimana awalnya, tapi rasa ini muncul mengalir begitu saja.

Mungkin saat ia menjadi imam sholat Isya berjamaah di masjid UGM. Atau saat ia berpidato di gedung Fatmawati.

Atau bahkan saat ia menolongku pagi itu. Tapi yang jelas, ia membuatku membuka hati. Walaupun aku menyukainya secara diam-diam.

Tapi desas desus akhir-akhir ini membuatku harus menyiapkan hati. Dengar-dengar Mas Fathur sudah memiliki tambatan hati.

Kreekk...

Ada yang perih tapi bukan luka
Ada yang cinta tapi nggak di cinta
Itulah aku Cinta Calla Senja.

Huhu, poor me.

Tapi aku memang sengaja menyimpan semua sendiri. Tapi ayah bisa tahu, hebat sekali lelaki cintaku itu.

Yang namanya cinta sendiri itu harus siap dari segala resiko patah hati. Dari segala resiko jatuh pas belum jalan. .

"Kita makan di sini aja ya. Ini tempat makan kesukaan ku pas dari jaman kuliah." Kami mampir ke warung lesehan di dekat gedung rektorat.

"Favorit siapapun sih kak kalau di sini mah." Aku melepas seat belt, mengambil uang dan turun.

Memesan nasi kobis andalan para mahasiswa. Aku tahu ini tidak sehat. Tapi rasanya kalian harus coba.

"Nggak jaga ya Mas?" Tanyaku membuka percakapan kami.

"Ini tadi aku masuk siang. Terus pasien IGD juga bludak. Gila banget sih, rujukan juga nggak kira-kira." Jawabnya.

"Hectic banget ya?" Tanyaku. Mas Fathur mengangguk.

"Iya tadi sih awal aman-aman aja. Tapi koas baru ngucapin kata kramat nggak sengaja. Yaudah, habis itu ntah kebetulan emang kita baru sial, banyak banget yang datang. Dan kamu tau dek, ada yang meninggal satu. Huh sedih banget rasanya. Keluarganya nangis sampai teriak. Eh iya, kamu kok bisa sampai jam segini pulangnya?" Aku yang sedang mengaduk jeruk hangat terkesiap.

"Oh iya. Tadi di curhatin keluarga pasien lama banget. Jadi yaudah deh. Jadi agak lama. Pas keluar dari bangsal lho udah jam sembilan. Terus pas mau pulang. Mungkin efek IGD penuh kali ya. Yang masuk bangsal banyak banget. Aku kan pas lagi di kelas tiga mas. Kakak perawat pada kewalahan gitu. Kasian deh, yaudah di bantu dulu. Kelar udah ini tadi jam sepuluh." Ucapku menjelaskan.

"Aku dulu sering gitu di curhatin sampai lama. Eh taunya udah jam berapa. Sampai kos tugas numpuk nggak tidur deh jadinya." Pesanan kami datang.

Aku makan dengan diam, dan sedikit curi-curi pandang ke Mas Fathur sih. Saat tengah asik memandang wajah lahapnya ia mendongak. Yah ketauan deh.

"Kenapa Dek?"

"Heh. Engga kak. Aku kalau makan emang suka ngelamun. Maaf-maaf." Ucapku tak enak hati. .

Aku melirik jam yang ada di pojok. Sudah hampir jam  sebelas. Aku mempercepat makanku. Terbiasa makan bersama ayah bunda dan Daffa membuatku terlatih untuk cepat tepat dan senyap. Haduh sudah macam motto sebuah kecabangan infantri saja.

"Dek Calla sekarang nggak sama orang tua ya tinggalnya?" Aku menggeleng.

"Orang tua di Magelang kak. Di sini sama uti dan Kakung." Wajah kak Fathur langsung berubah.

Kami selesai makan, dan pulang. Tentu saja aku di traktir oleh Mas Fathur. Walaupun dia masih intership, dia sejak Mahasiswa termasuk mahasiswa tajir melintir. Dengar-dengar, orang tuanya memiliki tambang emas di Kalimantan. Dan berbagai usaha properti.

Makanya tidak heran banyak sekali wanita yang terang-terangan mendekati Kak Fathur. Putri Indonesia perwakilan saja pernah menjadi deretan mantan Kak Fathur ini.

Sebenarnya aku minder dengan diriku sendiri yang tidak ada apa-apanya. Mau apa sih yang di jadikan modal percaya diri Call Calla.

Mobil Mas Fathur melewati bundaran UGM. Yang katanya tempat ini begitu angker. Kalau sama kamu sih nggak angker mas Fathur. Aku langsung menepuk jidatku sendiri.

"Kenapa dek?"

"Heeee engga mas." Sampai di depan rumah gerbang masih terbuka.

Aku turun di ikuti Mas Fathur. Dan hatiku hancur begitu melihat Uti menangis, pasti ia menungguku pulang.

"Assalamualaikum" aku langsung memeluknya.

"Kamu nggakpapa kan nduk? Uti khawatir.

"Tadi pulang Tadi ban motor bocor Ti, terus harus dorong. Untung ketemu temen." Mas Fathur mengangguk. Lalu menjabat tangan Uti dan Kakung.

"Kok nggak nelfon sih mbak." Aku menggeleng.

"Baterainya low uti. Jadi nggak bisa hubungin siapa-siapa. Maaf ya. Lain kali janji bakalan ngabarin."

Mas Fathur pamit pulang. Aku mengantarkan sampai ke Gerbang.

"Hati-hati ya mas. Makasih banyak, saya nggak tahu kalau nggak ada mas Fathur." Ucapku.

"Iya santai aja dek. Lain kali kalau butuh bantuan bisa ke aku." Mas Fathur mengacak rambutku. Imbasnya luar biasa. Hatiku seakan teracak pula. Ya Allah gini banget ya kalau lagi jatuh cinta.

🌻🌻🌻

Yogyakarta, 5 Juni 2020

CINTA CALLA SENJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang