26. Hijab Calla

10.2K 1.3K 59
                                    

Tuhan selalu punya cara untuk membuat hambanya selalu bahagia. Dan aku percaya, Tuhan maha adil.

Ucapan selamat sedari tadi mengucur deras. Aku sampai terharu, hari ini adalah hari pengumuman hasil dari Ujian Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter.

Momok bagi hampir semua mahasiswa kedokteran. Hidup dan mati perjalanan enam tahun lebih di pertaruhkan di sini. Dan Alhamdulillah, atas Rahmat Allah. Doa dari ayah bunda dan sanak saudara.

Semuanya terlewati dan dinyatakan lulus one shoot.

Bahagianya melebihi dapat mobil mewah dari Presiden RI. Rasanya batu di kepalaku sudah sedikit terlepas. Tinggal membahagiakan ayah dan bunda tentunya. Dua orang yang mengajarkan aku tentang bahagia. Tentang harus selalu bahagia hingga lupa caranya menangis ataupun sedih.

Aku memejamkan mata sekali lagi. Memantapkan pilihanku untuk memakai hijab. Iya hari ini rambut sepunggung milikku ku ikat. Lalu ku tutup dengan kain lembut yang di belikan bunda sejak lama.

Bismillah, semoga Istiqomah.....

Saat keluar dari kamar bertemu Uti. Uti langsung menjerit kaget. Lantas berlari memelukku.

"Cantiknya cucuku. MasyaAllah nduk." Uti berhambur memelukku. Di ujung matanya ada titik kecil yang aku yakini ia tahan mati-matian agar tidak terjatuh.

"Uti ini bisa aja." Aku tersipu. Uti lantas memelukku lagi.

"Aksa dalam versi perempuan ini mah. Bina cuman nyempil di mata." Aku terkekeh. Memang banyak yang bilang aku adalah ayah versi perempuan.

"Uti ku juga cantik." Beliau tersenyum.

"Mau ke Magelang?" Aku mengangguk.

"Sama ke nikahan temen dulu di madu candya Uti." Jawabku.

"Nitip roti ya nduk. Uti tadi bikin bolu, anterin ke tempat budhe Galuh. Buat temenin Dipta terapi. Terapisnya dulu murid Uti. Jadi ini tiga, yang satu buat bundamu, yang dua buat Dipta sama murid Uti ya." Aku mendengus.

Mati-matian aku menghindar dari Bang Dipta karena takut eh malah aku yang di suruh mengantar bolu.

Aku berhenti di depan rumah gaya Belanda. Masih rumah jaman dulu, temboknya warna Gading, karena Gading adalah omnya Bang Dipta yang sekarang betugas di Jakarta.

Aku bisa melihat Bang Dipta yang sedang menjalani rehabilitasi medik. Ia sendiri di halaman. Tidak ada terapisnya.

"Assalamualaikum." Ucapku. Bang Dipta menengok.

"Waalaikumsalam." Jawabnya pendek dan tak bersahabat. Aku jadi canggung sendiri.

"Bang. Ada titipan dari uti, katanya buat temen minum teh." Bang Dipta melihat kotak yang ku bawa. Lalu mengambil dari tanganku.

"Makasih." Jawabnya lagi. Bang Dipta berbalik, jalannya masih sulit. Sambil memegang perut. Yang aku bisa lihat saat ini adalah punggungnya.

"Awas Bang." Aku langsung berlari menuju Bang Dipta. Menangkap tubuhnya yang oleng karena tersandung kakinya sendiri.

Lukanya tidak hanya di dada. Tapi di kaki pula.

"Makasih. Aku bisa sendiri kok Calla." Lagi-lagi Bang Dipta menghindari ku.

"Bang." Lirihku.

"Mau sampai kapan? Abang mau sampai kapan diemin aku? Aku minta maaf Bang." Bang Dipta berhenti.

"Terserah Abang mau percaya atau engga sama aku. Tapi yang jelas, aku pengen Abang nggak marah lagi dan kita kaya dulu. Aku kangen Abang yang selalu nanyain kabarku, Abang yang selalu ada saat aku jatuh. Ada di samping aku ketika sulit. Maafin aku bang." Lanjut ku. Aku sudah menangis sejadi-jadinya.

CINTA CALLA SENJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang