17. Kesedihan Calla

9.7K 1.1K 95
                                    

"Saya cinta sama kamu Calla."

Aku hanya bisa mematung. Tanganku mengambang di udara. Aku enggan untuk mengusap punggung ini.

"Saya cinta sama kamu Call. Tapi saya nggak bisa memiliki kamu." Air mataku mengalir deras begitu saja.

"Maaf Call. Aku nggak bisa tahan perasaan sama kamu." Aku makin menangis. Ia mengurai pelukan ini. Lantas memegang erat tanganku.

"I love you." Ucapnya parau. Kenapa sih manis banget Mas Fathur.

"Bantuin aku berjuang sekali lagi Calla. Ibuku harus lihat kamu. Biar tahu kalau aku juga punya pilihan sendiri." Aku bingung.

"Maksudnya?"

"Tiga tahun Calla aku menyimpan rasa sama kamu. Tiga tahun aku mencintai kamu diam-diam. Dan tiga tahun juga aku berusaha meyakinkan ibu kalau aku punya pilihan sendiri." Ingatan ku langsung tertuju pada cerita bunda di masa lalu.

"Mas. Restu orang tua yang utama. Aku udah anggap kamu sebagai kakak lelakiku.  Jadi maaf aku nggak bisa." Perih getir campur aduk jadi satu. Aku begitu mencintai Mas Fathur. Tapi biarlah rasa ini terpendam dibanding ia harus melawan orang tuanya.

"Bohong Calla. Aku tahu kamu juga cinta sama aku." Aku menggeleng.

"Nggak. Aku anggap kamu sebagai kakak nggak lebih." Ucapku meyakinkan dia.

"Nggak Calla." Aku melepas pegangan tangganya.

"Belajarlah untuk ikhlas dan menerima pilihan orang tua kak. In Syaa Allah yang terbaik. Lagipun aku nggak memiliki perasaan seperti kamu Mas. Terima lah garis kehidupan ini dengan senyum dan kebahagiaan. Aku yakin wanita yang di pilihkan orang tuamu pasti yang terbaik. Kak. Aku tahu rasanya jadi kamu begitu sulit. Aku pun pernah ada di posisi mu. Tapi terimalah semua keterpaksaan dengan senyum kak. Agar berakhir dengan indah." Ucapku. Aku mengusap air mata di pipi putihnya.

"Jangan pernah berhenti jadi orang baikas Fathur. Aku pasti akan datang ke hari bahagiamu. Rasanya lega saat melihatmu akhirnya akan menikah." Ucapku getir.

Cukup lama ia diam. Sampai akhirnya mobil melaju membelah jalanan. Hanya ada diam dan di iringi air mata. Aku sengaja menyembunyikan sakit yang ada di dalam dada. Aku tidak boleh egois dengan. Ia punya kehidupan yang sudah di tata sedemikian rupa. Bahkan ia punya hidup yang pastinya akan lebih baik lagi.

"Udah sampai sini aja. Aku pulang ya. Makasih untuk makan sorenya Mas Fathur. Semangat. Yang menjadi pilihan ibu in syaa Allah yang terbaik."

"Calla. Aku tahu kamu juga mencintaiku  aku tahu tatapan kamu setiap hari sama aku. Dan aku yakin kalau kamu juga cinta sama aku."

"Nggak mas. Aku emang sayang sama Mas Fathur. Tapi sayang sebagai seorang adik sama kakak laki-laki nya."

"Mas tolong jangan mempersulit aku dengan keadaan. Aku nggak mau jadi penghambat jalanmu."

Dia diam aku memeluknya sekali lagi. "Terima kasih untuk cintamu mas. Aku begitu bersyukur bisa mengenal lelaki seperti kamu. Semoga yang menjadi jodohmu juga orang baik seperti kamu. Aku harap Mas Fathur bisa melupakan aku. Aku juga punya hidup yang harus berjalan." Aku menutup pintu mobil. Langsung berlari menuju kamar.

Di dalam kamar tangisku langsung pecah. Aku luruh di balik pintu. Menahan mulutku agar tangis tak terdengar sampai ke luar.

Mencintai tak harus memiliki. Dan aku harus paham tentang hal ini. Rasanya lebih sakit daripada di khianati.

Daffa calling.....

Aku mengusap air mataku.

"Mbak, Daffa lolos. Daffa masuk Akmil." Tangisku makin pecah. Hari ini memang sidang pantukhir Daffa di Akademi Militer. Sekolah yang Daffa idamkan.

"Halo mbak." Aku terus menangis.

"Mbak Calla nangis. Kenapa?" Aku mengusap air mata.

"Mbak bahagia dek. Mbak bahagia." Aku menahan tangisku.

"Bohong." Aku menggeleng. Ia tidak bisa melihatku.

"Mbak bahagia. Kamu lolos. Selamat ya dek. Satu langkah awal terlewati. Mbak yakin kamu bisa. Mbak bangga selamat ya." Aku menahan tangis lagi. Jangan sampai Daffa curiga.

"Daffa nggak bisa di bohongin. Daffa sudah kenal mbak lama dari Daffa kecil. Mbak nggak bisa bohongin aku." Aku memeluk kakiku sendiri. Menangis makin pilu.

"Daffa pulang malam ini mbak" aku menggeleng.

"Jangan. Kamu capek. Temenin ayah dan bunda aja ya dek. Mbak cuman capek aja sama tugas. Dan tadi ada banyak pasien. Udah ya. Mbak tutup kamu istirahat. Mbak cuman butuh tidur kok." Telefon ku matikan. Aku berjalan ke ranjang dan menenggelamkan wajahku ke bantal.

Mengalah tidak selamanya kalah. Aku tahu semuanya akan berat. Andai saja tidak ada perjodohan itu. Mungkin aku akan menjadi orang yang paling bahagia di dunia ini. Sekarang hanya butuh waktu untuk melupakan. Sakit tentu saja. Tapi aku tidak apa. Yang penting, aku tidak merusak kebahagiaan mereka. Aku tidak ingin kehilangan seperti bunda dulu. Lebih baik aku terus menjaganya dalam doa. Dan memandang wajahnya dari jauh.

Mas Fathur, maaf. Aku juga mencintaimu.

🌻🌻🌻

Daffa POV

"Makasih ya om." Aku langsung berlari. Di luar masih ramai pegawai bunda merangkai bunga. Pintu tidak di kunci. Aku menyapa Uti sebentar lalu naik ke kamar Mbak Calla.

Hatiku sudah tidak enak sedari tadi. Iya. Perasaan tak enakku di perparah saat mendengar isakan tangis kakakku. Tidak, mbak Calla tidak boleh menangis. Aku sudah berjanji dengan diriku sendiri. Kalau aku tidak akan membiarkan Mbak Calla menangis.

Masih dengan kemeja putih sisa tadi aku langsung masuk ke kamar Mbak Calla. Hatiku hancur saat melihat punggung mbak Calla bergetar. Aku melepas sepatuku. Naik ke atas ranjang dan memeluk Mbak Calla erat.

Mbak Calla berbalik. Kulihat wajahnya sembab. Ini bukan lelah karena tugas. "Ada Daffa yang akan selalu memeluk mbak." Bisikku. Tangisnya semakin kencang. Hatiku pula semakin hancur. Permata ku menangis. Kilaunya berkurang.

Kini bukan hanya isakan yang terdengar. Tapi tangis dan air mata deras mengalir di pipi Mbak Calla. "Mbak. Ada Daffa, bagi sakitnya ke Daffa. Bagi lukanya ke Daffa. Agar kita sama-sama terluka. Kita sudah janji untuk saling menjaga." Ucapku. Masih memeluk mbak Calla.

Perlahan cerita pilu Mbak Calla mengalir. Aku tidak marah, melainkan memeluk Mbak Calla erat. "Mbak kenapa mbak nggak jujur?" Ia menggeleng.

"Kebahagiaan bukan selamanya tentang memiliki Daffa. Mbak nggak ingin kehilangan seperti bunda kehilangan dokter Araf. Mbak nggak ingin merusak kebahagiaan keluarga Mas Fathur Daff. Mbak Calla nggak ingin egois. Mbak tahu sakit. Tapi mbak nggak bisa kalau mbak harus jujur tentang perasaan ini. Mereka sudah berjalan jauh. Mbak nggak ingin menjadi penghalang jalan lurus mereka Daffa. Mbak nggak ingin.." Mbak Calla kembali menangis di pelukanku.

Yang kubisa hanya memeluknya erat. Aku janji mbak. Akan tetap menjaga dan memelukmu di setiap waktu selaku. Mbak Calla sayang. Semoga besok ada kebahagiaan buat Mbak Calla ya.

"Mbak. Janji sama Daffa besok nggak usah nangis ya. Janji sama Daffa besok Mbak Calla akan tersenyum bahagia. Menjadi orang yang bahagia memiliki Daffa, ayah dan bunda. Mbak Calla harus ingat. Bahagia tidak selalu tentang cinta pada lawan jenisnya. Tapi cinta keluarga Mbak Calla akan selalu ada. Dan abadi untuk selamanya." Cukup lama Mbak Calla terisak. Hingga nafasnya teratur di pelukanku.

Tidurlah Mbak. Esok ada hari berat buatmu. Besok kamu harus bersinar mbak. Walau sebenarnya tangismu ingin keluar.

🌻🌻🌻

Semoga suka ya.

Jadi Calla sama siapa?

Yogyakarta, 28 Juni 2020

CINTA CALLA SENJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang