41. Pengajuan Selanjutnya

10.1K 1.3K 70
                                    

Lagi-lagi bertemu dengan Dewi dan Irma. Ada dua lagi yang belum ku tahu namanya. Kami menghadap ke pengurus Persit Kartika Chandra Kirana. Ada ibu ketua dan seksi-seksi.

Kata Bunda, jangan sampai mencolok. Tidak usah memakai perhiasan berlebih. Taati semua etika dan petunjuk berpakaian dalam buku panduan Persit.

Dan hari ini aku hanya menyapukan bedak dan sedikit goresan alis warna natural. Lipstiknya juga tidak merah menyala. Cukup untuk menyamarkan pucat bibirku.

"Coba saya mau dengar Dek Calla ya nama kecilnya?"

"Siap, betul ibu."

"Saya ingin mendengar Dek Calla menyanyikan mars Persit di hadapan rekan-rekan semua." Dengan berani dan percaya diri. Aku maju ke tengah. Menyanyikan lagu yang sudah ku hafal sampai menjadi top chart di handphone ku.

Setelah itu aku kembali di beri wejangan oleh masing-masing seksi. Dan yang terakhir adalah pengecekan atribut Persit. Aku aman-aman saja. Tapi ketika Dewi si ratu vlog. Ia terkena teguran. Mungkin ia lupa melepas tali Rante kaleng Khong Guan. Alias gelang emas yang cukup besar di tangannya.

Keluar dari ruangan aku sudah begitu lelah. Dan setelah ini masih menghadap ke pejabat kesatuan lainnya.

"Hei lesu amat calon istri." Aku menguap saat di tegur Bang Dipta. Ngantuk rasanya, gimana nggak ngantuk. Aku belajar sampai larut semalam. Menghafal dan mempelajari lagi buku panduan Persit.

"Ngantuk, laper, pengen yang seger." Ucapku.

"Yaudah. Aku udah jam istirahat juga. Sekarang makan yuk." Hanya mengangguk.

Berjalan ke tempat parkir, aku menerima helm dari Bang Dipta. Lalu naik menyamping ke motor Supra milik Bang Dipta sejak SMA.

Kami sampai di warung bakso Pak No Sukun di jalan Setia Budi. Masih di sekitar Yonif, tidak berani jauh-jauh.

Aku sudah pernah kesini saat ayah masih dinas di Semarang. Rasa baksonya begitu nikmat. Kuahnya segar. Belum kutemukan yang enak seperti ini di Jogja.

"Nanti habis ashar ke rumah Danki ya. Beliau bisa di temui di rumah." Lagi lagi menghadap.

"Masih ada lagi?" Tanyaku lesu.

"Iya. Semangat dong, aku udah semangat lho dek."

"Hmmm." Daripada aku berdebat lebih baik kembali menikmati bakso yang tinggal satu butir. Saat sudah habis perut ini belum kenyang juga. Mau minta tambah kok malu. Tapi kalau nggak nambah kok lapar.

"Mas, aku boleh nambah ya." Cicitku.

"Ha?"

"Nambah, aku masih laper." Aku mengedipkan mata ke Bang Dipta. Membuatnya salah tingkah.

"Eh. Ya tinggal nambah sana minta lagi." Menggeleng.

"Punya mas kan masih. Buat aku aja, mas pesen lagi. Kalau aku nambah satu nggak habis." Dia menggeleng. Lalu bangkit untuk memesan lagi.

"Untung sayang dek." Aku nyengir kuda. Kembali melahap butir-butir daging kenyal enak ini. Mungkin ini akan menjadi menu favorit ku di Semarang.

"Aku kok nggak nyangka ya Mas. Bakalan nikah sama kamu. Nggak ada banget di planning hidupku." Bang Dipta mengangguk.

"Sama dek. Nggak terfikir istriku bakalan kamu. Orang yang tiap-tiap waktu ngrecokin minta jajan, yang selalu manja."

"Nggak nyesel kan dek?" Aku menggeleng.

"Cuman belum bisa jatuh cinta aja. Rasanya masih sama, kaya dulu. Cuma naik level dikit."

"Yang ada di pikiran aku tuh cuman bikin ayah bunda bahagia mas. Mereka kelihatan banget bahagianya. Sampai aku ngerasain jadi anak yang berbakti. Ya kalau memang kebahagiaan mereka dengan seperti ini. Yasudah aku harus jalanin. Belajar, kata orang Cinta bisa tumbuh kapan saja." Ucapku pada Bang Dipta. Ia mengambil tanganku untuk di genggam.

CINTA CALLA SENJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang