57. Perjalanan Senja

9.8K 1.2K 52
                                    

Kalau nggak Supra nggak mesra. Itu kata yang terlontar dari mulut Pradipta. Hahaha padahal hanya sebuah alasan untuk ngirit.

Iya memang kami harus irit. Kalau tidak irit bisa mati kelaparan di asrama katanya. Apalagi kami pengantin baru yang belum punya apa-apa.

Masih dengan motor Supra yang baru saja kami isi bensin. Kami menyusuri jalan yang masih sepi. Hanya ada satu dua motor yang lewat lalu lalang.

Masih pukul empat pagi. Tapi kami sudah keluar dari hotel kapsul tempat kami menginap. Sudah mandi keramas sebelum subuh. Lalu bergegas keluar untuk ke destinasi selanjutnya.

Aku tahu tujuannya. Pantai Parangtritis, melihat matahari terbit dari timur dengan duduk di atas pasir. Kami pernah kesana saat Mas Dipta masih SMA.

Banyak sekali hal yang aku lewati dengannya dulu. Tapi belum dengan jatuh cinta. Dan sepertinya Abang ingin mengulang semuanya dengan sebuah cinta di setiap momennya.

Tahu nggak rasanya perasaan ku sekarang. Bahagia melebihi yang bahagia biasanya. Setelah rasa sakit yang sudah membuat hatiku hampir mati rasa. Kalian ketemu orang yang mencintai kalian. Tutur katanya lembut dan manis. Siapa sih yang nggak bahagia.

Untuk jatuh cinta sama Mas Dipta nggak butuh waktu lama. Ayah tidak pernah berbohong. Karena cinta berawal dari sebuah kebiasaan.

Mau tahu kebahagiaan lain? Mas Dipta adalah orang romantis yang tersembunyi di balik sifat datarnya. Ia punya seribu kejutan di empat malam pertama kami sebagai suami istri. Sikapnya menjadi manis sekali.

Aku sama sekali tidak menyangka akan sikapnya yang manis. Ku kira dia hanya biasa. Tapi sstelah empat hari menjadi istrinya. Aku sama sekali tidak menyesal dengan perjodohan ini. Bahkan aku selalu bersyukur.

Terbayangkan bagaimana manisnya suamiku. Kalau aku beberkan semuanya pasti kalian akan berlomba menjadi pelakor keluargaku seperti Gita Bahenol.

"Sayang bobok po? Kok diem." Baru juga di omongin. Sikap manisnya udah keluar.

"Enggak. Lagi seneng aja. Love you mas." Tanganku yang ada di pinggangnya di pegang. Lalu di ciumnya tanganku ini.

"Dek bikin gemes kamu. Ke hotel depan situ aja yuk ngebut bikin baby E."

"Mas. Jangan gitu kalau aku tadi beneran mau gimana?"

"Ya ayo gas aja aku tuh sayang." Aku menepuk pundaknya.

Mas Dipta sudah tidak bisa menahan keinginannya untuk menimang anak. Kami sudah diskusikan semalam. Tentang hamil di tengah kegiatan intershipku.

Aku tidak keberatan. Bahkan kalau bulan depan masih nihil kami akan segera ke dokter kandungan. Untuk program kehamilan.

"Tak gigit lho mas." Lagi Mas Dipta mencium tanganku.

Adzan Subuh berkumandang. Mas Dipta berhenti di masjid pinggir jalan. Kami mengambil wudhu menunggu jama'ah masjid yang lain.

Setelah subuh kami lanjutkan lagi perjalanan menuju pantai. Kami parkir di depan penginapan. Karena hanya itu yang masih buka. Tangan kekarnya merangkul pinggangku.

Kamu duduk di pepasiran pantai. Menunggu sinar matahari yang akan keluar dari peraduannya.

"Boleh nggak sih dek aku kiss kamu?" Aku menggeleng.

"Kamu itu candu mas. Aku takut akan kecanduan. Udah mau terang, ntar malah di gropyok sama warga." Candaku. Mas Dipta terkekeh. Tangannya bergerak merangkulku. Ia menciumi terus puncak kepalaku.

Fajar mulai terlihat, kami menghabiskan waktu untuk bercerita sambil melihat fajar datang. Sinarnya juga jingga sama seperti sinar senja.

"Aku akan selalu jadi fajar yang menyambut kamu dengan senyuman hangat di setiap paginya dek. Kamu bahagia ku. Terima kasih sudah mencintaiku. Mari kita kembali menulis cerita cinta lembar selanjutnya." Aku tersenyum. Kepalaku rebah ke pundaknya. Tersenyum menikmati fajar yang indah. Bersama yang tercinta.

🌻🌻🌻

Pernah nonton film promise yang di bintangi Amanda Rawles. Yang ada adegan duduk di rumah pohon di kali biru Kulon Progo? Nah kurang lebih pun seperti itu aku sekarang dengan Mas Dipta. Ini bukan weekend dan suasana kali biru yang sepi. Cuacanya panas, cukup membakar kulit.

"Ini kenangan baru ya dek. Duduk di sini sambil lihat pemandangan yang luar biasa indah. Andai dulu sudah ada pasti kamu tak ajak kok kesini."

"Iya. Tapi jalannya bikin lututku lemes mas." Mas Dipta tersenyum mengelus pipiku. Lantas kepalanya rebah di pahaku. Jalan yang harus kami tempuh berkelok-kelok. Naik turun menikung. Cukup membuatku was-was naik motor Supra tua penuh cinta ini.

"Duh nikmatnya bisa rebahan." Aku mencubit pipinya.

"Gemes banget sih suamiku. Jadi pengen gigit." Candaku.

"Sini gigitnya di sini sayang." Mas Dipta menunjuk bagian badannya. Langsung ku tepuk keras saja. Dia mengaduh, membuatku tertawa puas dengan apa yang terjadi.

"Biarin aku tidur sebentar ya. Bantalnya nyaman banget." Aku tersipu, mengusap lembut rambut kepalanya. Dan menikmati pemandangan indah ini dari atas. Aku yakin mas yang di bawah sudah jengkel menunggu kami yang tak ingin pulang.

Tapi karena semua moment indah ini tak ingin kulewatkan sedikitpun. "Langit biru di kali biru yang tak akan mas lupakan dek. Apalagi bersama kamu."

"Andai waktu bisa di putar. Aku pasti akan lebih memilih kamu yang aku cintai dari awal., Andai waktu bisa di putar, kamu akan selalu ada dalam malam akrab ku." Mas Dipta merogoh sesuatu di saku celananya.

"Dari awal aku punya ini aku pengen kasih ke istriku. Gita selalu minta ini buat dia pakai. Tapi aku nggak boleh. Mungkin ini jawaban Tuhan ya dek." Mas Dipta mengambil tanganku, menyematkan cincin perwira remaja. Cincin seperti akik itu kini menghiasi jari manis di tangan kiriku. .

"Simpan ini sayang. Terima kasih sudah menerima aku. Kita akan lewati hidup ini dengan kebahagiaan yang lain. Dan aku akan selalu menunggu kebahagiaan kita selanjutnya." Aku mengangguk. Air mataku menetes begitu saja. Langit biru di kali biru memang indah. Tak akan aku lupakan hari ini. Hari yang bahagia, hari yang akan selalu ku ceritakan pada anak cucuku nanti. Bahwa ayandanya begitu manis. Dan ibundanya begitu beruntung memiliki ayandanya di hidup ini.

🌻🌻🌻

Pemandangan penutup yang teramat begitu cantik. Dulu bundaku mengakhiri kisah pertamanya dengan ayah di sini. Lalu di kisah ke dua, bunda berbahagia dengan ayah di sini pula. Begitupun aku dan Mas Dipta.

Kini ia tengah mengejar ku di antara butiran pasir. Aku tertawa begitu keras saat mas Dipta berhasil menangkap ku dan memeluk erat pinggangku. Selanjutnya tubuhku melayang. Di bawanya memutar, mataku terpejam. Menikmati suara deburan ombak yang cukup keras.

Pantai Glagah yang penuh cerita. Pantai yang cantik dengan pemecah ombaknya. Pantai yang indah dengan sinar senja terbaiknya.

Tempat terbaik untuk membuat siluet cinta. Ah iya, siluet cinta Calla Dipta. Terukir di sini.

"Terima kasih. Ini lebih indah dari bulan madu mewah ke Bali. Ini lebih indah dan bermakna buat aku mas. Terima kasih sudah membuatku jadi orang yang paling bahagia. Orang yang paling beruntung punya kamu di hidupku."

"Maaf karena tak bisa membawamu pergi jauh Dek. Mas hanya bisa berusaha mencari keindahan di sekitar kita. Tapi nyatanya semua indah jika bersama kamu." Kepalaku rebah di pundaknya. Kami duduk menghadap ke barat. Menikmati sinar Senja di Panti Glagah. Di hiasi siluet pemecah ombak yang begitu kokoh luar biasa.

Ternyata cinta berbalas begitu indah. Cinta dalam pernikahan juga begitu indah. Aku tak akan pernah bisa melupakan hari ini. Hari terindahku bersama Mas Dipta sang penyuka senja.

"Benar dek kata ayah. Aku tidak perlu lagi esok melihat Senja keluar. Karena aku sudah memiliki senja yang begitu cantik." Aku tersenyum. Semoga kita selalu bahagia. Bahagia selamanya.

🌻🌻🌻

Selamat membaca. Makasih doanya temen-temen. Jaga kesehatan ya. Terima kasih vote dan komennya ❤️❤️

CINTA CALLA SENJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang