18. Kemarahan Dipta

11.1K 1.2K 84
                                    

Hidup harus terus berjalan, semakin terjal dan penuh rintangan. Tapi aku bersyukur, masih bisa menghirup udara di bumiku ini. Di Indonesia tercinta yang selalu menjadi tempatku paling nyaman.

Luka tentu masih ada. Ku fikir akhir cintaku akan berlabuh pada Mas Fathur. Lelaki yang selalu mengganggu fikiran dan duniaku selama ini.

Tapi agaknya semesta ingin aku menangis lagi. Tidak begitu larut, tapi yang jelas membuatku takut untuk pulang ke Magelang. Takut di berondong pertanyaan oleh ayah dan Bunda.

Daffa sudah masuk ke lembah tidar. Menjalani pendidikan awal tiga bulan di Akademi Militer. Di tempa dari seorang sipil menjadi Militer. Aku sudah merindukan peluk dan senyuman anak itu.

"Ngelamun mbak. Ini bagus enggak ya mbak?" Aku menoleh ke Budhe Galuh.

Kami sedang ada di toko kain jalan Solo. Membeli bahan kebaya untuk pernikahan Mas Pradika dengan seorang Pramugari Garuda Indonesia. Namanya mbak Shinta, cantik dan senyumnya ramah.

"Bagus budhe. Enggak rame dan kekinian kok. Terus nggak kebanyakan payet, jadi bude nggak tua-tua banget gitu." Candaku.

"Huh emang budhe tua banget ya?" Aku menggeleng cepat.

"Nggak budhe. Cuman kalau yang itu kan rame banget. Bikin kelihatan tua." Ucapku.
Aku bisa di sini bersama budhe karena tiba-tiba beliau muncul di depan rumah. Ternyata sudah janjian dengan Uti. Iya Oma juga ikut, sekarang sedang melihat kain brocade untuk among tamu di pernikahan Mas Pradika.

Ngunduh mantunya saja mengundang artis papan Indonesia. Secara Pakde Galih adalah mantan orang nomor satu di kesehatan angkatan darat. Lagi pun Pradika adalah dokter spesialis yang pasiennya sampai antri.

"Mbak Calla sekalian samaan kaya Gita mau?" Aku menggeleng.

"Nggak usah budhe. Aku udah ada bareng bunda kok." Bohong. Ya nggak enak lah aku kalau Mbak Gita sampai tahu. Tambah jadi tempe penyet diriku yang kecil ini.

"Owalah ya sudah. Mas mu masuk hutan budhe yang was-was." Aku tersenyum. Mengusap punggung Budhe Galuh. Aku tahu perasaan takutnya.

"Pasti Bangdip baik-baik aja. Tadi habis WhatsApp Calla kok Budhe." Ucapku.

"Alhamdulillah. Katanya kamu sulit di hubungi. Masmu nanyain terus. Gimana kabarnya. Sibuk banget ya Mbak, Pradika dulu juga sampai nggak pernah yang namanya di rumah. Tidur di rumah sakit setiap saat." Aku meringis. Sengaja Budhe aku menghindar dari anak lelakimu karena takut dengan calon menantu mu.

"Iya budhe. Koas tugas koas tugas. Udah hampir dua bulan nggak balik Magelang juga. Jadi bunda yang kesini." Keluhku. Pembicaraan ini sampai ke ujung. Hingga Uti datang dengan senyum merekah. Membawa plastik merk toko yang kami datangi.

Kami pulang, lebih tepatnya Uti dan Budhe yang lanjut  membuat kue wajik untuk sajian arisan sore nanti. Sedangkan aku sudah janjian dengan client di Sahid Jaya untuk memastikan dekor.

🌻🌻🌻

Dekor megah sudah terlihat, secara pernikahan dari putra pemilik ketua DPRD Kota Yogyakarta. Mbak Fadila, ia dan calon suaminya sedang gladi kotor untung kirab pernikahannya esok hari.

"Mas Vidi ini besok di pindah sebelah sini aja." Ucapku menunjuk vas yang ada di pintu masuk.

Mas Vidi mengangguk. Aku berjalan mengecek ke kamar pengantin. Memastikan sudah siap untuk esok hari.

Mataku memincing ketika melihat orang yang begitu ku kenal sedang bergelayut mesra. Sumpah mataku siwer apa gimana.

Perempuan tinggi semampai, sedang memeluk mesra laki-laki seusia papaku. Dan Wow. Itu Mbak Gita. Pacar dari abangku.

CINTA CALLA SENJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang