47. ABCallaDipta

10.4K 1.2K 102
                                    

Sinar senja yang begitu indah telah berganti dengan sinar rembulan yang tak kalah indah. Keramaian sejak tadi pun belum berubah. Malam ini akan ada prosesi malam Midodareni.

Aku bisa melihat gurat lelah di wajah kedua orang tuaku dan juga wajah Kakung dan Uti. Tapi mereka tetap tersenyum menyambut para tamu yang berbahagia.

Selepas sholat Maghrib aku mulai di make up natural oleh perias yang sudah bunda pesan. Daffa menemani sedari tadi sambil video call dengan kekasih hatinya. Haha anak itu sudah punya pacar. Teman seangkatan di taruna Nusantara.

Daffa sejak tadi tak ingin jauh dariku. Katanya ia ingin menghabiskan sisa masa lajangku bersama dengan Daffa.

"Saya tinggal ya mbak." Aku mengangguk. Hanya tinggal aku dan Daffa.

"Mbak, i'm happy for you" aku memeluknya.

"Makasih ya dek. Sekarang kamu juga harus jemput bahagiamu. Abang pasti akan jagain mbak." Dia mengangguk.

"Jodoh itu nggak tahu ya mbak akan sama siapa nantinya." Benar Daffa.

"Iya dek. Kalau tahu ya pasti milih. Tapi percaya atau enggak katanya kan memang jodoh kita sudah di gariskan sama Allah sejak kita masih ada di perut. Sakit hatinya sana sini tapi ternyata jodohnya cuman sejengkal doang." Daffa terkekeh.

"Daffa punya kado buat Mbak Calla dan Abang." Aku tersenyum begitu lebar. Menerima sebuah kotak kecil.

"Makasih ya dek." Dia mengangguk.

"Daffa lega, ada yang menjaga mbak sekarang. Baik-baik ya Mbak sama abang. Daffa akan begitu merindukan moment-moment kebersamaan kita. Daffa akan merindukan pelukan Mbak Calla."

"Kamu tetap adik kecilku dek. Laki-laki kedua yang aku cintai. Setelah ayah. Kamu akan terus ada di setiap lembar cerita bahagiaku dek. Karena kita bertiga akan selalu bersama, walaupun sudah saling berkeluarga. Kamu ingat kan janji itu?" Daffa mengangguk. Memelukku erat.

"Pasti mbak. Daffa akan selalu ada di setiap cerita hidup Mbak Calla dan Abang. Begitupun Mbak Calla yang akan selalu ada di cerita hidupku dan jodohku nanti." Aku tersenyum.

"Jadilah kuat seperti karang. Dan jadilah hebat seperti arti namamu. Mbak akan selalu doakan kamu. Mbak akan bangga nanti, bahkan kamu akan lebih kuat dari ayah. Kamu akan selalu jadi yang terbaik. Sampai kamu jadi jendral sampai kamu jadi seorang KASAD. Atau bahkan panglima TNI." Daffa mengaminkan ucapanku. Daffa keluar untuk menemui teman-temannya yang datang. Sekedar melepas rindu. Jarang bisa kumpul seperti ini.

Pukul delapan malam rombongan dari keluarga Bang Dipta datang dengan membawa berbagai macam seserahan. Aku bisa melihat dari laptop yang ada di kamarku. Sedari tadi fotografer terus mengambil foto ku dari berbagai foto.

Aku mendengar suara ayah yang membacakan catur Wedha dengan suara parau. Selanjutnya pintu kamarku terbuka.

"MasyaAllah cantiknya mantuku." Budhe Galuh memelukku. Di susul mbak Shinta, istri Pak Gading. Dan Eyang putri mas Dipta dari pakde Galih.

"Buk e nggak salah. Buk e titip adek ya. Jaga dia sayangi dia." Aku mengangguk. Menerima seserahan yang di bawa masuk ke kamarku.

Suara MC terus terdengar. Hingga suara yang begitu aku kenal terdengar begitu tegas. Tapi tetap terdengar manis.

'Selamat malam manis. Malam ini aku kembali datang. Tidak seperti malam malam sebelumnya yang kita isi dengan canda tawa di ayunan itu." Aku tersenyum malu. Pasti wajahku sudah memerah seperti tomat.

"Bukan juga datang untuk mengajakmu nonton film seperti biasa. Bukan juga untuk mengajakmu menikmati malam dan lampu di alun-alun. Tapi malam ini aku kembali datang untuk kembali memastikan. Sudah siap kah untuk esok hari? Untuk persahabatan kita yang akan segera bermuara pada sebuah pernikahan. Siapkah untuk perjalanan selanjutnya. Menjadi istriku, bukan istri seorang yang kaya raya. Bukan pula pemilik rumah mewah di Prawirotaman. Bukan juga pengusaha yang uangnya tidak pernah habis." Entah kenapa air mata ini ingin menetes.

CINTA CALLA SENJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang