56. Gerimis Malioboro

10.6K 1.3K 57
                                    

Senja memang indah. Sinarnya menenangkan. Membuat siapa saja pasti jatuh cinta.

"Besok kalau anak kita lahir, aku pengen namanya ada senjanya dek." Aku tertawa di tengah gelap. Masih ada semburat jingga di atas kami. Tapi sekitar sudah gelap.

"Kalau lahirnya pagi. Masa senja?" Jawabku. Lelaki di sampingku ini terus mengusap tanganku. Sesekali bergerak mencium tanganku.

"Iya. Pasti yang mendapatkan senja nanti akan seberuntung ayandanya." Wajahku tersipu.

"Ah masa? Tapi kenapa nggak dari dulu aja ya jatuh cintanya mas. Kita harus sama-sama patah hati dulu baru bisa sebahagia ini."

"Karena Allah ingin kita belajar. Belajar dari rasa sakit dan pertemuan yang salah. Supaya kita jadi dewasa, jadi saling tahu bagaimana rasa sakit jadi nggak akan mengulangi lagi."

"Sambil jalan yuk." Tangan Mas Dipta tak sekalipun melepasku saat menuruni bebatuan.

"Kamu menyesal nggak sih mas menikah sama aku?"

"Siapa sih dek yang bisa menyesal menikahi putri cantiknya Pak Angkasa. Siapa sih dek yang menolak kalau di jodohkan dengan kamu."

"Bahkan semua temanku berlomba untuk mendekati kamu. Jelas terang-terangan minta kontak mu."

"Aku hanya menyesal pernah menyakiti hatimu. Maaf ya nduk." Aku tersenyum. Mas Dipta merangkul ku ke arah tempat parkir. Hanya tersisa motor kami sendirian.

"Laper?" Tanyanya. Aku hanya mengangguk.

"Mari kita nostalgia masa remaja kita dek. Ini akan menjadi bulan madu yang tak akan pernah kamu lupakan." Aku tersenyum. Mempererat pelukanku pada pinggang ratanya.

Kami mampir ke masjid Gedhe Kauman lalu melanjutkan perjalanan menikmati nasi goreng langganan kami sejak SMP. Saat itu Mas Dipta sudah masuk bangku SMA.

"Kamu inget nggak dek. Kapan kita terakhir kesini."

"SMP. Pas mas mau masuk Akmil to. Kita perpisahan di sini sama Daffa. Tapi terus Daffa sepeda lagi sama temennya."

"Apa yang kamu ingat di sini? Sebuah harapan?" Aku tersenyum mengangguk.

"Dulu berdoa supaya aku keterima di SMA ini. Terus aku ikut paskibraka. Biar keren kaya mas-mas yang duduk di depanku waktu itu."

"Semua jadi nyata? Sekarang mau buat sebuah harapan lagi nggak dek?" Aku mengangguk. Memejamkan mata. Semoga kelak satu buah cintaku dan Mas Dipta bisa bersekolah di sini. Di tempat opa dan Omanya bertemu dan memulai sebuah cinta. Dan di tempat ibunya jungkir balik merasakan indahnya masa remaja.

"Kasih tahu dong berdoa apa?" Tanya Mas Dipta penasaran.

"Semoga besok anak-anak ada yang mau sekolah disini ya mas." Ucapku.

"Aamiin."

Perjalanan berlanjut ke arah Malioboro. Tempat lain yang selalu menjadi tempat aku dan Mas Dipta menghabiskan masa SMP. Jangan harap kami naik motor. Kalau nggak naik sepeda ya naik Transjogja. Kami naik dari halte dekat betesdha baru turun di halte Malioboro. 

Mas Dipta membelikan aku es krim mekdi paling enak. McFlurry pakai topping Oreo. Lalu ia membawaku menyusuri jalanan Malioboro di malam hari. Jogja itu penuh cinta. Dan pastinya Jogja itu romantis. Seperti malam ini, lampu khas Jogja itu menjadi saksi kami saling tersenyum menikmati malam yang indah.

"Kota ini yang jadi saksi ya dek. Kalau seorang Pradipta mencintai kamu. Selamanya." Mas Dipta mencubit hidungku. Tangannya memegang erat tanganku. Kaki kami terus berjalan mendekap malam yang semakin larut.

CINTA CALLA SENJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang