Bab 2

3.6K 333 8
                                    


"Bukan Ali Ma. Bukan Ali."

"Bohong Ma! Ali yang memecahkan guci Mama ini!"

Seorang anak kecil bernama Ali terisak penuh ketakutan ketika seorang wanita yang dia panggil Mama berjalan menghampiri dirinya.

"DASAR ANAK TIDAK TAHU DIRI KAMU!!"

"AMPUN MA! AMPUN! JANGAN PUKUL ALI LAGI JANGAN! SAKIT! MAMA SAKIT!!"

"MATI KAU ANAK SIALAN! MATI!"

Tangisan pilu dari sikecil Ali terdengar memekakkan telinga berbaur dengan tawa mengejek dari sosok kecil lainnya yang usianya berada beberapa tahun di atas Ali.

Jeritan kesakitan dari Ali kecil seolah melodi syahdu yang membuat tawa itu terdengar mengudara.

"Pukul terus Ma! Pukul! Anak sialan itu memang harus mati!"

Disela rasa sakitnya Ali masih mampu membuka matanya lalu menatap anak kecil yang berdiri di sampingnya, anak kecil yang biasa di panggil Kakak namun hari ini kenapa sang Kakak justru menjebaknya seperti ini.

"Kakak?"

"Aku bukan kakakmu! Aku tidak mau punya Adik anak dari seorang pelacur!"

Degh!

Jantung Ali seperti diremas-remas oleh tangan tak kasat mata, pukulan yang dia dapatkan pada belakang tubuhnya seolah tidak lagi terasa sakit.

Tidak! Ibunya bukan pelacur!

Kepala Ali menggeleng pelan. "Ibu bukan pelacur!" Katanya disela isak tangisnya.

Wanita yang dipanggil Mama itu kontan menyahut. "IBUMU PELACUR! IBUMU PELACUR YANG SUDAH MENGHANCURKAN KELUARGA KU SIALAN!"

"TIDAK!! TIDAK!!"

"ARGHH!!"

Dengan tubuh penuh dengan keringat Ali tersentak dalam tidurnya. Dengan nafas yang menderu dia tatap ke sekelilingnya dengan tatapan waspada, ketika menyadari dirinya ada di dalam kamarnya sendiri perlahan nafas Ali mulai berangsur normal kembali.

Dengan sekali sentakan Ali menendang jauh selimut yang membungkus tubuhnya. Dengan kasar Ali melangkah menuju kamar mandinya lalu mengguyur tubuhnya yang masih berpakaian meskipun hanya celana kain dengan singlet putih yang masih melekat pada tubuhnya.

Ali membiarkan air mengguyur tubuhnya berharap air tersebut dapat menghilangkan mimpi buruk yang selama ini menghantui dirinya. Sudah belasan tahun tapi Ali masih belum bisa lepas dari bayang-bayang masa lalunya yang begitu mengerikan.

Ali tidak meminta lahir dari seorang simpanan dan Ali yakin Ibunya bukan pelacur, Ibunya wanita baik-baik. Ya Ibunya wanita baik-baik tidak seperti yang dituduhkan oleh Nyonya Wika yang terhormat.

Mengingat wajah Wika seketika gigi Ali terdengar bergemeletuk. Dia tidak bisa melupakan bagaimana istri sah Ayahnya itu menghina dan melukai dirinya belasan tahun silam.

Dan sekarang sudah saatnya Nonya Wika dan putra kesayangannya menerima balasan dari dirinya.

Wika dan Doni putranya tidak akan pernah dia lepaskan.

Meraup wajahnya tiba-tiba Ali merasa ketika bayangan lain yang datang dari masa lalu membuat dadanya sesak. Demi Tuhan, dia sangat merindukan cinta kecilnya.

Prilly..

Dalam setiap deru nafasnya Ali selalu menggumamkan nama gadis impiannya itu. Namun sayang, Ali tidak akan pernah bisa memiliki Prilly. Tidak, karena Ali sudah mendedikasikan hidupnya untuk membalaskan dendamnya dan juga dendam Ibunya pada keluarga tercinta sang Ayah.

Ayah?

Hah, ingin rasanya Ali meledakkan tawanya ketika mengingat bagaimana sosok pria yang sialannya memberikan aliran darah yang sama pada tubuhnya. Sejak kecil tepatnya sejak dia ada Ayahnya tidak pernah memberikan kasih sayang selayaknya seorang Ayah untuk anaknya.

Satu-satunya yang dilakukan Ayahnya adalah membawanya ke rumah istrinya setelah Ibunya meninggal.

Setelahnya? Jangan tanyakan lagi, dia belum siap menceritakan bagaimana kelamnya masa kecilnya dulu.

Yang jelas tidak ada kebahagiaan apapun di masa kecilnya kecuali Prilly, gadis cantik cinta pertamanya.

**

Sore menjelang Aldo masih betah duduk santai bersama Ayah Prilly. "Jadi sekarang kamu akan menetap di sini Nak?" Tanya Soni -Ayah Prilly-.

Aldo tersenyum lalu menganggukkan kepalanya. "Iya Pak. Negara ini adalah rumahku jadi tentu saja aku akan kembali dan menetap di rumah sendiri." Kata Aldo setengah bercanda membuat Soni tertawa pelan.

"Bener harus seperti itu Nak."

Aldo tersenyum lebar sambil mengacungkan jempolnya. "Jelas Bapak."

Tawa Aldo dan Soni terdengar berderai.

"Lagi pada ngapain sih kok happy banget kayaknya." Prilly datang membawa nampan berisi minuman dan juga cemilan untuk Ayah dan temannya.

"Hampir dua jam di sini baru sekarang lo kasih gue minum?" Aldo dengan sengaja memberengutkan wajahnya tanda merajuk.

Soni tertawa kecil, "Tadi lagi goreng ini dulu loh." jawab Prilly sambil meletakkan piring berisi pisang goreng untuk Aldo dan Soni.

Aldo langsung bersorak gembira ketika melihat pisang goreng pesanannya benar-benar dihidangkan oleh Prilly.

"Memang calon istri idaman banget lo Pril." Kata Aldo tanpa canggung sama sekali dengan keberadaan Soni.

Soni kembali tertawa, dia sudah mengenal sahabat putrinya ini sejak dulu jadi dia biasa saja ketika Aldo berbicara serampangan seperti itu toh memang karakter Aldo seperti itu.

"Ya sudah kalian duduk manis di sini, Bapak mau ngurus tanaman dulu." Memasuki masa tuanya Soni memang lebih senang berkebun selain menggerakkan anggota tubuhnya dia juga bisa menyalurkan hobinya.

Sepeninggalan Soni, Aldo dan Prilly duduk bersama dan mulai bercerita tentang apa saja yang mereka lalui beberapa tahun terakhir ini ketika mereka tidak bersama.

Aldo berdehem pelan menatap Prilly lamat-lamat sebelum membuka suaranya. "Pril boleh gue nanya sesuatu?" Tanyanya hati-hati.

Prilly sedang melahap gorengan buatannya mengangguk pelan. "Tanya aja!"sahutnya enteng.

Kembali berdehem, Aldo baru akan membuka suaranya ketika teriakan Soni terdengar mengagetkan mereka.

"Bapak!!" Prilly berteriak sambil berlari menyusul Bapaknya. Begitupula dengan Aldo yang bergerak menyusul Prilly.

Prilly nyaris terjatuh ketika melihat tangan Ayahnya penuh dengan darah. Menguatkan dirinya Prilly melangkah mendekati Ayahnya yang sedang memegang tangannya yang terluka.

"Jangan liat Nak! Jangan! Kamu takut darah!" Menahan ringisannya Soni berusaha menyembunyikan tangannya yang terluka dari putrinya.

Prilly menggelengkan kepalanya, dia tidak perduli dengan ketakutannya pada darah yang terpenting adalah Ayahnya.

"Kita ke rumah sakit sekarang ayok Pak!" Aldo langsung bergerak membantu dan memapah Ayah Prilly untuk berjalan menuju mobilnya.

Dengan lutut bergetar Prilly beranjak mengikuti Aldo dan juga Ayahnya. Wajah Prilly sudah pucat sejak tadi kini semakin pias ketika darah Ayahnya mulai menggenangi mobil Aldo.

Ya Tuhan tolong jangan buat dia pingsan di sini. Tolong..

*****

Yang mau pdf terbaru My Destiny bisa chat ke wa ya 081321817808 harganya 50k.

Lingkar CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang