Bab 6

2.8K 318 11
                                    


"Ampun Ma! Ampun!"

"Nggak saya tidak akan memberi kamu ampun! Kamu dan Ibumu sama-sama sialan yang menghancurkan hidupku!!"

Ali kecil terus merengek memohon pengampunan dari Istri Ayahnya yang terus menyeret dirinya menuju kamar mandi.

Ali tidak tahu apalagi kesalahannya kali ini. Dia tidak merasa berbuat salah atau melakukan tindakan salah hari ini. Dia hanya menghabiskan waktu untuk belajar di dalam kamarnya setelah pulang dari sekolah.

Ali dan Doni disekolahkan di sekolah yang berbeda, Doni sebagai anak kandung sekaligus pewaris kekayaan orang tuanya bersekolah di sekolah elit yang di khususkan untuk kalangan konglomerat sedangkan Ali dia harus berpuas diri dengan bersekolah di salah satu sekolah swasta yang berada di standar bawah.

Tidak apa-apa, Ali tidak pernah mengeluh. Dia sangat sadar posisinya terlebih ketika Ayahnya yang tak kunjung memperlihatkan wajahnya lagi setelah menempatkan Ali disini. Ali tidak tahu Ayahnya ada dimana dan kapan beliau pulang, padahal Ali sangat merindukan Ayahnya, dia ingin mengadu untuk sekali ini saja Ali benar-benar ingin mengadukan kesakitannya pada sang Ayah.

Namun sayangnya pria itu memilih meninggalkan Ali di sini.

Ali sendirian. Dia selalu sendirian melewati siksaan dari Nyonya Wika dengan derai air mata. Ali kecil hanya bisa menangis saat tubuhnya terdapat lebam dimana-mana setelah dipukuli oleh Nyonya Wika.

Byur!!

Ali tersedak oleh air yang diguyurkan di atas kepalanya. Wika dengan kejam mengguyur kepala putra dari hasil perselingkuhan suaminya dengan satu ember besar berisi air yang sengaja dia campurkan dengan es balok.

Tubuh kecil Ali sontak menggigil kedinginan setelahnya namun tanpa perasaan Wika kembali menghidupkan shower untuk mengguyur tubuh Ali kembali.

Setelahnya Wika baru berjalan keluar dari kamar mandi meninggalkan Ali yang terisak-isak sendirian. Ali menangisi kehidupannya namun dia tidak akan tinggal diam saja setelah ini dia akan datang ke rumah bunga dan disana akan ada sosok malaikat cantik yang menunggu dirinya.

Prilly...

Bermula dari Prilly gadis yang tidak mendapatkan kasih sayang dari Ibu tirinya memilih menyibukkan dirinya tepatnya meluapkan kesedihannya dengan mengurus sebuah rumah tua yang disekitarnya terdapat taman bunga.

Prilly sangat menyukai bunga hingga akhirnya dia seperti begitu terikat dengan rumah itu. Dan pada suatu hari menjelang sore seperti biasanya sebelum malam Prilly akan berkeliling terlebih dahulu untuk menikmati bunga-bunga yang dia rawat yang bermekaran membuat mata begitu termanjakan oleh keindahan dari bunga-bunga itu.

Melihat bunga-bunga miliknya membuat sedikit banyak perasaan sedihnya hilang. Hanya bunga-bunga ini yang membuat dirinya merasa lebih baik.

Dan sore itu Prilly dikejutkan oleh suara benda jatuh yang berasal dari dalam rumah tua tersebut. Dengan memberanikan diri Prilly berjalan mendekati rumah itu dan akhirnya dia menemukan sosok pria kecil yang bergelung di sudut rumah dengan kondisi yang begitu memprihatinkan.

"Hei kamu siapa?" Prilly langsung berjalan mendekati anak tersebut hingga membuat anak itu membuka matanya.

"Aku Prilly." Dengan mata polosnya Prilly menatap anak kecil yang sama sekali tidak dia kenal.

Anak kecil itu menatap lamat-lamat gadis manis yang menatapnya dengan mata berbinar ini hingga akhirnya anak kecil itu memberanikan diri menjabat tangan gadis itu lalu menyebutkan namanya.

"Ali."

Dan sejak saat itu keduanya seperti sepakat membagikan kesakitan mereka masing-masing, setiap mendapatkan siksaan dari Istri Ayahnya maka Ali akan berlari ke rumah tua dan menunggu Prilly di sana.

Hubungan mereka terjalin erat tanpa mereka sadari bahwa benang Takdir sedang mengikat kedua hati mereka.

**

"Apa Dokter? Jangan! Tolong selamatkan anak saya!!" Miranda menjerit histeris ketika Dokter mengatakan harus mengangkat janin di dalam kandungannya.

Ali berdiri kaku di sisi ranjang menatap datar Miranda yang mulai meronta-ronta meskipun tidak maksimal karena kondisi tubuhnya yang semakin melemah.

Dokter tidak bisa berbuat banyak ketika kemungkinan janin itu tidak dapat lagi bertahan lebih lama dari ini dan jika mereka tetap mempertahankan janin ini maka nyawa sang Ibu akan terancam.

Dokter-dokter yang berdiri dibelakang Dokter senior yang mengabari Miranda tentang berita duka ini hanya menundukkan kepalanya. Mereka tidak berani mengeluarkan suara apapun sebelum akhirnya Ali mengeluarkan titahnya.

"Selamatkan Adik saya Dokter!"

Para Dokter langsung menganggukkan kepalanya dan berjalan keluar ruangan untuk menyiapkan segala kebutuhan untuk proses pengangkatan janin dari rahim Miranda.

Miranda menatap nyalang Kakaknya. "Apa-apaan kamu Kak? Hah? Ini anakku bagaimana mungkin kamu tega membunuhnya hah?!"

Ali memilih diam, dia biarkan Miranda meluapkan perasaannya. Dia tahu Miranda terpukul, Adiknya kecewa dan juga kehilangan tapi mau bagaimana lagi Ali tidak mungkin mengambil resiko apapun jika mereka nekad mempertahankan janin itu tidak ada jaminan baik Adiknya atau janin itu keduanya akan selamat bahkan buruknya keduanya akan sama-sama meninggal.

Ali tidak mungkin membiarkan Miranda meninggal, bagaimana Tantenya yang begitu mencintai Miranda.

"Jangan bunuh anakku! Tolong jangan!!" Teriakan lemah Miranda kembali terdengar, wanita itu menangis terisak-isak sambil memeluk erat perutnya.

"Ini Takdir Miranda! Cobalah menerimanya."

Miranda menatap Ali dengan tajam. "Takdir katamu? Takdir macam apa yang menimpaku seperti ini hah? Aku akan kehilangan bayiku! Dan kau tidak akan pernah tahu bagaimana sakit dari rasa kehilangan itu!!" Miranda mencerca Ali tanpa sadar.

Wajah Ali sontak mengeras dan tatapan tajamnya mampu membuat Miranda seketika bungkam. Aura di sekitar Ali benar-benar membuat nyali wanita itu menciut seketika.

"Aku tidak pernah merasa kehilangan heum?" Tubuh Miranda bergetar seiring dengan suara datar namun penuh penekanan yang keluar dari mulut Ali.

"Jangan berkata seolah-olah hanya kau yang paling menderita di sini Miranda!" Raut wajah Ali semakin berubah kaku dengan kedua tangan mengepal di sisi tubuhnya dia tatap Miranda yang sudah menundukkan kepalanya.

"Kau mengalami semua ini itu karena tingkah dan ulahmu sendiri Miranda jangan lupakan itu. Jika kau ingin marah bukan pada takdir pada dirimu sendiri. Pada dirimu yang begitu mudah terbujuk rayu dan terlalu gampangan untuk ukuran seorang perempuan terhormat." Setelah mengatakan itu Ali beranjak keluar tanpa menoleh bahkan ketika tangisan Miranda terdengar olehnya.

Dia tidak suka ketika Miranda bertingkah seolah-olah hanya wanita itu yang menderita dan salah satu sifat Miranda yang dibenci oleh Ali adalah wanita itu tidak pernah mau mengakui kesalahannya. Miranda hanya bisa menyalahkan orang lain atas balasan dari setiap perbuatan yang dia lakukan.

Salahkah Ali jika dia menolak mentah-mentah wanita yang memiliki sifat seperti itu?

*****

Lingkar CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang