(2)

31.6K 2.4K 36
                                    

"Saya terima nikah dan kawinnya Ayaka Hnayaaa dengan mas kawin tersebut tunai."

"Sah." Gue menghembuskan nafas berat begitu mendengar kata sah keluar dari mulut Pak penghulu, sah sudah gue menjadi istri dari Abang gue sendiri, walaupun cuma Abang angkat tapi gue hidup dan tumbuh bareng dia, Bang Riza udah kaya Abang kandung gue.

Gimana caranya gue mandang Bang Riza setelah ini? Dia udah bukan Abang gue lagi tapi dia suami gue sekarang, ya gue memang sayang sama Bang Riza tapi sayang bukan berarti gue cintakan? Pernikahan tanpa cinta bakalan kaya apa?

"Aya, salim dulu Nak." Ucap Mama mengusap lembut lengan gue, hah? Sejak kapan Bang Riza udah duduk didepan gue gini?

"Salim sayang." Ulang Mama mengingatkan.

Dengan tatapan kaget bercampur rasa canggung berat, gue memberanikan diri menyambut uluran tangan Bang Riza dan gue kecup singkat, dikit, ujung jarinya doang.

"Za, cium kening, kaya pengatin baru gitu." Ucap Mas Uky nyikut lengan Bang Riza gak jelas.

"Lo_

"Udah buruan, mau gue foto ini." Mas Uky makin gak kira-kira nyikut lengan Bang Riza dengan tatapan meledek Bang Riza sekaligus gue secara bergantian.

"Buruan Za, Mama juga mau ikut foto." Dapet tatapan maut dari Mama, Bang Riza maju dua langkah dan menghapus jarak kami berdua, menatap gue sekilas dengan wajah datarnya dan beberapa detik kemudian, kecupan singkat, dikit gak kena-kena amat mendarat aneh di kening gue.

"Yaelah Za, kaku amat hidup lo, udah sah juga, ngecup yang bener, sama Gea anteng ba_

"Mulut lo!" Bang Riza langsung natap Mas Uky pake tatapan membunuh, gue hanya tertunduk gak tahu harus gimana, belum berlalu 10 menit tapi nama Kak Gea udah dibawa-bawa.

"Makanya sini gue ajarin, gue praktekin di jidat lo." Satu tepukan mendarat tanpa aba-aba dijidat Mas Uky sekarang, mulut sahabat Bang Riza yang satu ini memang gak pernah pake saringan tapi asliannya baik kok.

"Makanya yang bener, sekali kali buruan." Ulang Mas Uky udah siap dengan kamera ditangannya.

"Bang_

"Diem." Dan detik itu juga Bang Riza menyentuh kepala gue dan mengecup kening gue cukup lama.

"Nah ginikan enak gue liatnya, jadi kepingin nikahkan." Ish.

Setelah acara foto-foto dan nyalamin beberapa tamu, gue milih beberes dikamar gue sendiri dan terpaksa memberanikan diri masuk ke kamar Bang Riza karena digusur paksa sama Mama.

"Ma, aneh Ma." Protes gue nolak masuk ke kamar Abang.

"Apa mau Mama yang anterin? Sekalian Mama kunciin didalem berdua sama Abang mau?" Gue langsung natap Mama horor, dari pada dikurung lebih baik jalan suka rela kayanya.

"Bang." Cicit gue begitu mendapati Bang Riza duduk termenung disofa kamarnya, termenung dalam artian mandangin layar handphonenya cukup lama.

"Heumm, kenapa?" Tanya Bang Riza datar bahkan gak natap gue sama sekali.

"Abang udah makan?" Tanya gue gak yakin, sebenernya gue tahu kalau Bang Riza belum makan apapun dari tadi, gue juga.

"Kalau kamu laper duluan aja." Jawab Bang Riza sekilas dan bangkit dari sofa, narik handuk sembarangan dan berjalan masuk ke kamar mandi.

Menatap punggung Bang Riza yang hilang dibalik pintu, gue tersenyum dan beberapa detik kemudian kembali tertunduk pasrah, bukankah seharusnya gue bahagia? Bukannya seharusnya pengantin itu bahagia? Tapi ini apa?

Setelah kalimat akad terucap dari mulut Bang Riza, gue ngerasa kalau semuanya gak akan mudah, bahagia akan terasa sangat sulit untuk gue raih, apa yang perlu gue banggakan dengan pernikahan gue sekarang? Gue menikah dengan kenyataan kalau lelaki yang sekarang sudah menjadi suami gue akan menikahi perempuan lain suatu saat nanti.

Cepat atau lambat, Bang Riza akan mewujudkan keinginannya, menikahi wanita yang dicintainya bahkan mungkin juga akan melepaskan gue, apa yang perlu gue bahagiakan disaat jelas-jelas kehidupan gue gak akan bahagia.

Istri? Gue adalah istri yang seakan gak punya hak apapun atas suami gue, gue istri yang dinikahi karena paksaan orang tuanya, gue istri yang dinikahi karena dipaksa oleh situasi, gue istri yang bukan dia nikahi karena keinginannya sendiri, itu kenyataannya.

"Abang keluar, kayanya lama jadi kamu gak perlu nunggu." Gue hanya menatap Bang Riza datar dan membuang muka memperhatikan kearah lain.

"Ah satu lagi, jangan sampai Mama tahu Abang keluar." Ucap Bang Riza menggenggam gagang pintu.

"Bang." Panggil gue yang membuat Bang Riza memberhentikan langkah.

"Kenapa?" Gue menatap Bang Riza lama dan berakhir mengurungkan niat gue untuk nanya, harusnya gue gak nipu diri karena gak harus gue tanyapun gue udah tahu kemana tujuan Bang Riza sekarang.

"Gak papa." Mengabaikan Bang Riza, suara pintu yang ditutup membuat gue menghempaskan tubuh gue pasrah diranjang.

"Kuat Ay, gak akan pernah ada yang salah dengan takdir Allah." Ucap gue membatin.

.
.
.

Sekarang jam udah nunjukin pukul satu dini hari tapi yang gue tunggu kedatangannya belum juga pulang, gue tahu Bang Riza udah ngingetin untuk gak nunggu tapi gue bisa apa disaat hati gak selaras dengan pemikiran dan keinginan gue?

Dari tadi gue juga gak keluar kamar karena gak tahu harus ngasih jawaban apa ke Mama kalau seandainya Mama nanya Bang Riza kemana nanti, gue yang diminta untuk ngebantuin Bang Riza mendapatkan Kak Gea bukan malah menjadi penghalang, itu keinginan Bang Riza sebelum benar-benar setuju menikahi gue.

Bang Riza yang gue kenal selama ini mungkin memang bukan lelaki alim tapi Bang Riza juga bukan lelaki jahat, selama ini walaupun gue bukan adik kandungnya tapi Bang Riza menjaga gue dengan cukup baik.

Bang Riza yang terkesan acuh dan lebih semaunya tapi selalu memastikan gue pulang ke rumah dengan aman, memperhatikan dengan siapa aja gue bergaul dan gak jarang kalau gue dapet omelan karena ngebantah ucapannya, Bang Riza selayaknya seorang Abang yang sangat baik untuk gue.

"Kamu jadi Adek Abang bisa pinteran dikitkan? Itu orang ngedeketin kamu cuma mau ngincer Abang jadi untuk apa kamu ladenin?" Ini adalah kalimat Bang Riza sewaktu ada Kakak kelas gue yang naksir dia tapi malah memperalat gue sebagai jalan pintas, begitu Bang Riza tahu udah abis, gue abis tu Kakak kelas jangan lo tanya lagi, hilalnya kaga pernah keliatan lagi didepan gue.

Banyak yang membuat gue bahagia bahkan bangga menjadi Adik dari seorang Riza tapi akan bagaimana nasib gue sekarang? Gue gak tahu, belum genap satu hari aja sikap Bang Riza mulai berubah, dingin bahkan terkesan gak peduli.

Gue harus bersikap bagaimana? Ikut bersikap dingin dan semaunya? Itu malah kaya gue yang ga tahu diri, udah di angkat jadi keluarga dan dikasih makan sampai sebesar ini tapi berani ngediemin Bang Riza? Apa gue bisa?

Cukup lama gue uring-uringan di kamar, mikir sambilan nahan laper, gue gak akan turun kebawah, kalau ketemu Mama abis gue, nyari aman aja, nutupin seperti mau Abang dan diam seolah semuanya baik di depan Mama.

"Kamu ngapain?" Gue yang lagi mikir gak karuan aslian kaget sama kehadiran Bang Riza yang sekarang udah berdiri didepan gue, ya ampun ni orang kapan munculnya?

"Abang udah pulang?" Pertanyaan bodoh banget menurut gue, yailah udah pulang, kalau belum pulang terus yang berdiri didepan lo sekarang siapa Ay? Setan.

Mengabaikan Bang Riza yang mulai beberes, gue juga bangkit dan mencepol tinggi rambut gue ala kadar, mau turun, gue laper mau makan, kudu disegerakan karena perut gue udah meronta minta diisi.

"Mau kemana lagi?" Tanya Bang Riza yang membuat gue memberhentikan langkah, kenapa harus pake kata lagi? Perasaan gue gak kemana-mana dari tadi.

"Mau turun makan." Jawab gue seadanya.

"Terus dari tadi kamu dikamar ngapain bukannya turun makan? Abang udah bilang jangan tunggukan?" Gue mengangguk pelan.

"Kalau Aya turun tadi dan ketemu Mama dibawah, Aya gak tahu mau ngasih jawaban apa seandainya Mama nanya Abang kemana."

Why Him? (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang