"Memang yang Abang omongin barusan hubungan kita, mempertahan atau melepaskan, akan Abang lakuin sesuai permintaan Adek!" Gue yang masih tidur memunggungi Abang cukup tertegun dengan ucapannya barusan.
Sebenarnya apa yang salah dari gue? Disaat kaya gini gue malah terus merutuki diri gue sendiri, mengingatkan diri gue kalau pertahanan gue gak boleh runtuh cuma karena mulut manis Abang doang, ini ni efek sering diselingkuhin jadi mau nerima orang lain jadi bagian terpenting rada susah, pikirannya negatif mulu tapi Bang Riza juga bukan orang lain, dia Abang gue, dia laki-laki yang udah ngebesarin gue.
Kalau jelas-jelas gue tahu orangnya itu Bang Riza, gue kenal Bang Riza liar dalemnya bagaimana? Terus sebenarnya yang gue takuti itu apa? Cinta sama Abang? Memang itu yang Mama mau, kalau runtuh memangnya kenapa? Toh itu suami gue sendiri, memang kalau pertahanan gue runtuh kenapa? Toh gue jatuh untuk suami gue sendiri.
"Bang! Abang memang bisa nerima Aya sebagai istri?" Entah kenapa lagi-lagi pertanyaan bodoh kaya gini yang gue pikirin.
"Abang sama kamu itu sama Dek! Apa bisa kita memandang satu sama lain dengan pandangan yang berbeda? Ini pasti menjadi pertanyaan yang selalu jadi pertimbangan terberat kita berdua, jujur Abang sendiri gak tahu tapi Abang mutusin untuk nyoba."
"Kenapa? Apa karena permintaan Mama?" Tanya gue lagi.
"Karena permintaan Mama memang tapi bukan itu sepenuhnya yang menjadi pertimbangan Abang, Adek pasti udah tahu semua kekurangan Abang dan mungkin Abang juga sama, Abang tahu semua kekurangan kamu."
"Terus?" Gue masih fokus.
"Menurut Abang, membangun rumahtangga itu hampir sama seperti membangun rumah, untuk menghasilkan rumah yang baik harus didukung dengan kualitas bahan yang baik, begitu juga rumahtangga, untuk menjadi rumahtangga yang baik, Abang juga perlu memilih calon anggota yang baik dan calon anggota pertamanya itu kamu." Gue kurang setuju dengan perumpamaan Abang.
"Bang! Tapi membangun rumah sama membangun rumahtangga itu beda, membangun rumah gak perlu pakai perasaan, nah kalau membangun rumahtangga nah itu perlu." Abang mengangguk pelan sembari tersenyum.
"Memang! Rumah yang hancur aja masih bisa dibangun lagi tapi semuanya gak akan sama seperti semula begitu juga rumahtangga, rumahtangga yang hancur bisa diperbaiki lagi tapi semuanya tidak akan pernah sama." Gue masih menautkan kening gue bingung, masih belum nyambung, rumah hancur sama rumahtangga hancur diotak gue masih jadi masalah, mana bisa rumah sama rumahtangga disamain?
"Belibet amat Bang! Intinya aja deh, Abang bisa gak mandang Aya sebagai istri?"
"Abang coba!" Udah gini doang intinya? Intinya singkat banget tapi perumpamaannya bikin pusing.
"Kamu mikirin apa lagi Dek?" Tanya Abang menepuk lengan gue.
"Tapi Aya belum nemuin alasan apapun untuk bertahan dengan status Aya sekarang." Kasih gue alasan untuk bertahan hidup sebagai istri dari seorang Riza, kasih gue alasan yang bisa membuat gue yakin kalau Bang Riza akan menjadi pilihan yang terbaik, ingat, gue mau yang terbaik bukan minta yang sempurna jadi jangan bilang gue berlebihan.
"Abang gak bisa ngasih alasan apapun, Abang juga gak bisa menjanjikan apapun, Adek tahu Abang, Adek tahu kekurangan dan kelebihan Abang jadi Abang yakin Adek juga bisa menilainya sendiri, pantaskah Abang menjadi pendamping Adek?" Gue menghela nafas dalam dan berbalik menatap Abang yang ternyata memang tidur dengan menatap punggung gue.
"Kalau bicara pantas atau enggak, harusnya pertanyaan kaya gini juga berlaku untuk Aya sendiri Bang! Pantaskah Aya?" Tanya gue balik, beberapa jam yang lalu Abang baru aja protes ke Mama masalah kekurangan gue yang banyak banget katanya itu, dengan segala kekurangan gue, apa Abang masih bersedia menerima gue apa adanya? Ini pertanyaan gue.
"Kurang tinggi? Kurang kurus? Kurang manja? Kurang peka? Itu bukan standar Abang memilih istri Dek, sifat yang Abang nilai, kebaikan dan ketulusan hati yang Abang mau, Abang merawat kamu dengan kedua sifat itu, ini adalah alasan kuat kenapa Abang mempertahankan status kita sekarang."
"Bukannya ada pepatah yang bilang, siapa yang menabur, dia yang menuai hasilnya?" Gue tersenyum aneh, pinter banget kalau ngalus, jadi maksudnya gue bibit gitu, terus dirawat sama Abang, sekarang tinggal petik hasil? Perumpamaan yang ngeselin tapi bener juga.
"Ah yang terakhir, mungkin Abang bukan laki-laki yang Adek pilih tapi siapa tahu ini yang cinta pilih? Cuma cintanya datang belakang." Dan pertahanan gue runtuh sudah.
Mungkin Abang memang bukan pilihan gue tapi gue yakin kalau memang jodoh itu artinya takdir yang memilih, gak ada salahnya ngasih kesempatan untuk diri gue sendiri, toh ini juga bukan pilihan yang membuat gue menderita, bahagia masih mungkin gue raih.
"Okey! Jadi Abang mau mulai dari mana nih?" Tanya gue mengangguk yakin.
"Mulai apanya?" Ogep bener.
"Katanya mau mulai hidup sebagai suami istrikan? Yaudah mau mulai dari apa? Kaya gini?" Tanya gue menggenggam tangan Bang Riza tetiba.
"Kaya gini!" Ucap Abang membawa gue kedalam dekapannya, awalnya terasa canggung tapi rasa nyaman yang entah muncul dari mana lebih membuat gue ngerasa aneh lagi.
"Atau gini?" Tanya gue memberanikan diri mengecup pipi Abang kilat.
"Atau begini?" Mari kita skip saudara-saudara.
.
.
."Abang! Bangun!" Ucap gue mengusap lengan Abang tapi yang dimaksud belum bergerak sama sekali, haruskah gue mengunakan cara biasa?
"Abang!" Teriak gue cukup keras ditelinganya dan Alhamdulillah Abang bangun walaupun dengan raut wajah kesal tidak beraturan.
"Cara ngebangunin Abang gak adem banget Dek? Gak baik untuk kesehatan kalau begini caranya." Protes Abang mengusap telinganya.
"Cara lain? Mending Abang bangun dulu, beberes kita shalat, tar cara lainnya kita pikirin ya." Tersenyum tanpa dosa, gue nepuk lengan Abang dan bangkit lebih dulu, gue sama Abang udah mutusin untuk memulai segala sesuatunya dari hal-hal kecil yang terkesan kecil.
Sekarang Abang memang suami gue tapi bukan berarti gue akan kehilangan sosok seorang Abang gue yang dulu, kami akan hidup seperti biasa, membiasakan diri kami berdua bicara seperti dulu, tertawa seperti dulu bahkan bertengkar seperti dulu, pelan-pelan tanpa ada paksaan siapapun, kalau kami berdua ready? Status suami istri akan membuat kami berdua memperlakukan satu sama lain seperti suami istri pada uamumnya.
"Bang! Aya turun duluan ya? Pakaian Abang udah Aya siapin juga, kalau beres Abang langsung turun makan." Ucap gue mencepol rambut gue tinggi.
Mendapat anggukan Abang, gue tersenyum dan turun ke bawah lebih dulu, menyiapkan pakaian Abang mungkin adalah satu dari banyak tugas istri yang mulai gue jalani, pelan-pelan asal pasti, jangan dipaksa yang penting happy kalau kata Abang mah.
"Abang mana Dek? Mama liat semalem Abang masuk ke kamar kamu, udah larut banget Mama liat Abang juga gak pindah masuk ke kamarnya kaya biasa, tidur bareng kamukan?" Ampun pertanyaan Mama gue gak main-main, to the point amat.
"Abang masih diatas Ma, bentar lagi turun." Jawab gue tersenyum aneh, mencoba mengabaikan pertanyaan Mama, gue mulai membantu Mama menyiapkan sarapan, semuanya berjalan aman sampai Abang turun dan memeluk gue titiba, ini jari gue sampe keiris sangking kagetnya coba.
"Abang ngagetin Aya!" Protes gue mendorong tubuh Abang untuk melepaskan dekapannya, gue menatap Abang kesal sembari mulai meriksain jari gue.
"Abang minta maaf!" Cicit Abang khawatir sekaligus ngerasa bersalah, sadar dengan ekspresi khawatir Abang seketika gue ikut ngerasa bersalah juga, ini adalah efek samping dari perubahan sikap Abang.
"Kalian ini bener-bener, belum cukup dikamar semaleman sekarang pagi-pagi mau terus berduaan juga?" Gue sama Bang Riza langsung batuk parah denger ucapan Mama dan mulai balik menatap canggung satu sama lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Why Him? (End)
Romance"Ma! Masa nikahnya sama Abang sih Ma? Gak memperluas keterunan ini mah, dari kecil sampe tua masa muka Abang juga yang kudu Aya liatin?" "Ma! Mama liatin anak gadis Mama, disuruh nikah udah kaya disuruh masuk medan perang, memang kurangnya Riza dima...