(END)

41.8K 1.6K 76
                                    

Riza Point Of View.

"Gimana bisa kamu gak tahu Bang? Adek hamil kamu gak tahu?" Gue hanya tertunduk mendengarkan ucapan Mama, memang semua salah gue, gue yang gak terlalu ambil pusing dengan kondisi istri gue sendiri.

"Berapa kali udah Mama minta kamu untuk bawa Adek cek? Katakanlah Adek gak tahu tapi sebagai seorang Abang, seorang Suami terlebih seorang Dokter, bukannya kamu lebih paham dengan gejalanya Bang?" Gue mengiyakan.

"Ini udah Adek gak tahu apapun, kamu malah ikut-ikutan gak mau ambil pusing, udah tahu Adek itu takut rumah sakit makanya nolak terus waktu Mama suruh cek, bukannya seharusnya Abang punya cara untuk membujuk?"

"Ini bukannya di bujuk malah didukung keras kepalanya."

Mama menggenggam kedua tangannya erat masih menunggu Aya sadar, mendapati Aya kehilangan kesadaran tepat didepan mata gue beneran membuat gue harus mikir ulang, pantaskah gue menjadi Abang bahkan Suaminya?

"Riza minta maaf Ma, ini memang salah Riza." Hanya kata maaf yang bisa gue ucapkan untuk menenangkan kemarahan Mama, bukannya hanya sekedar menenangkan Mama tapi menenangkan kekhawatiran gue sendiri juga.

"Bang! Abang udah dewasa, Abang bahkan berkeluarga sekarang, mau sampai kapan Mama harus ikut campur setiap kali kalian punya masalah? Sekarang Alhamdulillah Mama masih sehat tapi kalau suatu saat Mama udah gak ada kalian mau gimana?" Mama beralih mengusap bahu gue lengkap dengan raut wajah khawatirnya.

"Mama marah bukan karena Mama gak sayang tapi karena Mama mau Abang lebih bertanggungjawab, lebih siap siaga, memang berlebihan itu tidak baik tapi jangan terlalu menganggap remeh masalah kecil, ini akibatnya." Gue gak bisa membalas apapun, gue memang salah.

Selama ini, gue membiarkan Mama melakukan semuanya, sampai detik ini gue bisa memiliki Aya juga karena usaha Mama, gue yang terlalu bodoh dengan ikut mendiamkan perasaan Aya selama, gue diam disaat gue tahu jelas perasaan Aya ke gue itu bagaimana.

Gue gak mau orang-orang akan menganggap gue aneh, bagaimana mungkin seorang Abang menikahi Adiknya? Gue bodoh karena lebih mementingkan penilaian orang sebagai acuan gue menentukan pilihan.

Mama berhasil menghapus pemikiran bodoh gue ini sampai akhirnya gue setuju untuk kenikah, menikah dalam artinya gue jiga sudah bersiap untuk berpisah, pemikiran gue ini juga sama bodohnya, apa ada yang lebih bodoh dari gue? Ada! Aya jauh lebih bodoh karena menyetujui permintaan bodoh gue.

Alasan awal lain kenapa gue yang sangat menolak tawaran Mama menikahi Aya adalah ini, gue takut, karena gue sudah sangat terbiasa dengan status saudara sampai gue gak bisa membedakan bagaimana gue harus bersikap sebagai seorang Abang dan Suami disaat bersamaan.

Ada banyak cara yang sudah Mama lakukan untuk menyadarkan perasaan gue, Mama melakukan semua acara untuk membuat gue dan Aya bersama, bukan karena Mama memaksa tapi Mama melakukan semua itu karena Mama lebih tahu perasaan kami hanya lewat tatapan kami berdua.

Apa yang bisa gue perbuat tanpa Mama? Gak ada, Mama adalah segalanya untuk gue sedangkan Aya adalah nyawanya, gue gak pernah lupa dengan kalimat gue ini bahkan saat gue masih bersama Gea.

Mengenai Gea, gue memang pernah mencintai Gea sebelum benar-benar mengakui perasaan gue untuk Aya, gue menyayangi Gea dan waktu itu Mama setuju karena Mama yakin kalau waktu yang gue habiskan bersama Gea akan berhasil membuat gue melupakan perasaan gue untuk Aya tapi sekarang apa, nyatanya semua itu gak berhasil.

Dua tahun yang lalu lagi-lagi adalah salah satu pembuktian kalau pilihan Mama gak pernah salah, ketika gue mengalami kecelakaan dan Gea meninggalkan gue, Mama memastikan kalau pilihan gue selama ini salah, Gea bukan yang terbaik untuk gue, gue hanya memaksakan kemauan gue untuk tetap bersama Gea walaupun gue tahu sikap Gea seperti apa.

Why Him? (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang