(7)

20.8K 1.9K 123
                                    

Assalamualaikum, idul adha mubarrak manteman semua, maaf lahir batin ya 😊

Nah sebelumnya Aya minta maaf, banyak yang nanya, duh Aya kenapa upnya lama-lama banget, bahkan hampir dua mingguan gak up, niat ngelanjutin gak sih? Niat nulis gak sih? Ngegantung banget!

Nah untuk yang nanya kaya gini, duh Aya sama sekali gak ada maksud buat ngegantungin atau gimana, mungkin sebagian udah ada yang tahu, nenek Aya meninggal seminggu yang lalu, jadi selama nenek sakit sampai udah gak ada, Aya sama sekali gak nulis.

Jadi bukan gak niat atau gak bertanggung jawab sampai bikin story pada ngegantung, tapi keadaan memang lagi gak memungkinkan, setiap kali Aya gak up lama, Aya selalu punya alasan jadi semoga manteman bisa ngerti ya, tengkyu tengkyu tengkyu 😊

.
.
.

"Ma, Aya berangkat ya, Mama baik-baik, kalau kangen tinggal telfon insyaallah Aya langsung pulang." Gue memeluk Mama erat dengan tangan Bang Riza yang sesekali ikut mengusap kepala gue.

"Giliran anak perempuannya yang pindah sedihnya kebangetan Ma, giliran Riza yang kudu stay di rumah sakit berhari-hari gak ketemu kebangetan banget nganggurinnya." Protes Bang Riza.

"Tar kalau kalian punya anak perempuan juga bakalan ngerti sama perasaan Mama sekarang." Gue sama Bang Riza sepakat tertawa garing cengengesan gak jelas, nikah aja baru seminggu udah bahas cerai eh si Mama malah ngomongin anak, kan secara tertampar.

"Tar ya Ma, tar kalau misalnya Riza atau Aya punya anak perempuan nanti baru tu Mama ingetin lagi, tar tapi, tar." Satu pukulan mendarat dilengan Bang Riza.

"Senengkan kamu, bisa-bisanya kamu ngelepasin istri kamu tinggal jauh dari rumah Za, heran Mama." Ucap Mama melemparkan tatapan kesalnya ke Bang Riza.

"Ma, ini biar Aya belajar hidup mandiri, lagian Riza ngizinin Aya tinggal diasrama bukan berarti Riza gak bertanggung jawab sama sekali ke Ayakan Ma? Pokoknya Mama tenang, dalam pengawasan Riza, Aya aman." Dan Bang Riza kembali mengusap kepala gue.

"Ish apaan sih Bang, hijab Aya berantakan ini." Protes gue nepuk tangan Bang Riza, lagian kenapa kudu diusap terus coba? Gue bukan anak kecil lagi.

"Ini tandanya Abang sayang." Bang Riza menyunggingkan senyumannya.

"Kalau sayang semua orang juga tahu kalau kamu sayang banget sama Aya Za, yang jadi pertanyaannya kapan kamu bakalan cinta? Mencintai istri itu harus." Gue ikut nelen ludah gugup dengan ucapan Mama sekarag.

"Sama rasa sayang Abang aja Aya kenyang Ma, gak usah ditambah." Gue pura-pura mual sambil merhatiin mukanya Abang.

"Lagian seorang Abang mana bisa cinta sama adiknya Ma, Mama kebanyakan nonton TV ni." Abang ikut tertawa kecil.

"Mau cuma rasa sayang atau bahkan gak cinta sekalipun, status kalian berdua sekarang adalah suami istri dan itu sah, jangan terlalu menganggap remeh pernikahan, ini peringatan Mama untuk kalian berdua." Gue sama Bang Riza asli kicep ditempat.

"Yaudah jalan sana keburu kemaleman, nanti malah Mama yang kepikiran." Kita berdua nyalim bergantian dan langsung pamit sebelum pembicaraan makin melebar kemana-mana.

.
.
.

"Bang! Mau sampai kapan kita kaya gini?" Tanya gue buka obrolan ke Bang Riza yang masih fokus mengemudi.

"Baru juga satu minggu Ay, biarin Abang mikir pelan-pelan bisakan?" Gue menggerutu kecil mendapatkan jawaban Bang Riza.

"Terus Abang berencana hidup dengan status suami Aya sampai kapan? Sebulan? Setahun? Seberapa lama? Abang mikir sih mikir tapi jangan lamban banget juga, Aya gak nyaman kalau terus dapet sindiran Mama."

Ini baru seminggu tapi perasaan gue beneran gak enak kalau ngadepin Mama, ya walaupun Mama jelas tahu keadaan gue sama Bang Riza yang menikah terpaksa tapi yang namanya dapet sindiran pasti rasanya gak enak.

Belum lagi ide Bang Riza yang gak muncul-muncul, mikir pelan ya boleh aja tapi jangan sampai ngestak ditempat, Bang Riza mau gue jadi istrinya seberapa lama? Mau sampai semua orang tahu status kita berdua sekarang apaan?

"Sebegitu beratnya kamu hidup sebagai istri Abang?" Gue menyipitkan mata natap Bang Riza, kenapa malah jadi gini pertanyaannya? Gue nanya kenapa malah ditanya balik?

"Memang Abang gak keberatan hidup sebagai suami Aya?" Gue menatap Bang Riza sambil geleng-geleng kepala, suami? Istri? Kita berdua sama-sama tahu kalau kalau kedua status itu kami dapatkan dengan keterpaksaan, mana ada yang bisa nyaman kalau nyatanya dimulainya aja udah gak rela?

"Ay!" Dengan tetiba Bang Riza menepikan mobilnya.

"Heummm! Kenapa berhenti? Asrama masih lumayan jauh lo Bang." Tanya gue binggung.

"Kamu tahukan kalau Abang paling gak suka kalau tahu kamu bohong, terlepas dari status adik ataupun istri, Abang tetap gak suka jadi lebih baik sekarang kamu jujur, apa yang kamu takutin? Karena sekeras apapun Abang mikir, Abang tahu ada yang mengganjal dihati kamu." Bang Riza berbalik menatap gue.

Gue menghembuskan nafas dalam sembari membalas tatapan yang Bang Riza layangkan, walaupun gue bukan anak kandung tapi gue sama Bang Riza tumbuh bersama, lebih tepatnya gue tumbuh dalam pengawasan Bang Riza jadi banyak hal yang gak bisa gue sembunyiin, Bang Riza akan tahu lebih dulu kalau ada yang salah.

"Mungkin ini terdengar aneh untuk Abang tapi ucapan Mama tadi beneran Aya pikirin Bang, kita berdua gak bisa ngeremehin yang namanya pernikahan." Ucap gue.

"Jadi apa yang kamu pikirin? Apa yang jadi beban pikiran kamu?" Bang Riza lagi-lagi mengusap kepala gue.

"Aya takut kalau pernikahan kita berjalan terlalu lama, rasa nyaman akan muncul, Abang tahukan kalau kita udah nyaman bakalan kaya apa? Masalahnya gak akan sesederhana seperti rencana kita awalnya." Jujur gue.

Sama seperti Bang Riza yang berani jujur dengan perasaannya ke gue bahkan meminta bantuan gue mengenai Kak Gea, gue rasa gak ada salahnyajuga  gue jujur dengan pemikiran gue sekarang, masa depan gak ada yang tahu.

"Aya takut kalau Aya gak akan rela melepaskan Abang untuk perempuan lain nantinya." Lirih gue tertunduk, ini adalah kemungkinan terburuk yang gue pikirkan.

Bayangin kalau hal kaya gini kejadian, gue nyaman atau bahkan mungkin gue cinta, melepaskan Bang Riza gak akan mudah sama sekali, apa gue siap terluka lagi? Apa gue siap kehilangan lagi? Gimana dengan nasib gue sama Bang Riza nanti? Semuanya pasti bakalan beda, kita berdua gak akan bisa kembali kaya dulu.

"Ay, kamu khawatir dengan hal yang belum tentu kejadian, seperti kata kamu, masa depan gak ada yang tahukan? Mungkin aja masa depan kita sesuai rencana kita sekarang, kamu harus khawatir kenapa?" Bang Riza tersenyum menenangkan.

"Semua hal ada kemungkinannya Bang! Kalau enggak sesuai dengan rencana kita gimana? Kita akan gimana Bang?" Bang Riza bisa mikir sedikit lebih jauh kan? Ya memang masa depan gak ada yang tahu, karena gak ada yang tahulah jadi semua kemnungkinan itu ada.

"Okey, kalau memang yang kamu takutin kejadian, kamu punya dua pilihan, hidup selamanya sebagai istri pertama Abang dalam tanda kutip ada Gea sebagai istri kedua." Ish, pemikiran punya istri dua masih aja dipegang erat.

"Pilihan lainnya apa?" Tanya gue dengan raut wajah mulai kesal, gak bisa diajak serius memang.

"Atau pergunakan segala cara yang kamu punya untuk membuat Abang mempertahan kamu dan mencintai kamu lebih dari siapapun didunia ini."

Why Him? (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang