"Ma! Masa nikahnya sama Abang sih Ma? Gak memperluas keterunan ini mah, dari kecil sampe tua masa muka Abang juga yang kudu Aya liatin?"
"Ma! Mama liatin anak gadis Mama, disuruh nikah udah kaya disuruh masuk medan perang, memang kurangnya Riza dima...
"Aku udah ceritakan Sri kalau aku udah dapet menantu! Menantunya ya ini anakku sendiri, Aya istri Riza sekarang!" Mama tersenyum bahagia sedangkan gurat kekecewaan terlihat jelas diwajah Bunda Kak Alan.
"Aya istri Riza?" Tanya ulang Bunda seakan meyakinkan apa yang baru aja didengarnya.
"Istri Riza! Menantu aku." Jawab Mama ulang, gue yang berdiri diantara Mama sama bunda mulai sesak nafas dengan tatapan mereka berdua.
"Kenapa harus Aya? Bukanya selama ini Riza punya pacar?" Hancur banget otak gue kalau terus mikirin reaksi Bunda sekarang.
"Kamu kan tahu kalau aku gak pernah setuju sama pacarnya Riza dulu Sri, siapa sangka ngebesarin Aya sama kaya ngebesarin calon menantu jadinya." Hah! Mama gue.
"Ma, Aya naik ke atas ya! Mau beberes sama shalat dulu." Gak sanggup gue ngadepin tatapan Bunda, gue pamit masuk ke kamar adalah pilihan terbaik.
Kecewa? Siapa sih yang gak kecewa kalau keadaan malah jadi kaya sekarang? Gue, Abang, Kak Alan, bahkan Kak Gea, kami semua merasa kecewa, keluarga bahkan sahabat terdekat juga ikut merasakan hal yang sama, kami kecewa dari sudut pandang dan posisi kami masing-masing.
Dengan banyak hal yang tetiba berubah, status, perasaan, tempat tinggal, semuanya seolah paket lengkap untuk membuat gue dan keluarga belajar hidup dengan lebih dewasa, belajar memikirkan masalah gak cuma dari sudut pandang diri sendiri, saat situasi semakin sulit, membayangkan diri berada diposisi orang lain akan sangat membantu.
Gue susah! Diluar sama bahkan yang jauh lebih susah, hidup juga bukan hanya tentang bahagia, banyak cerita yang terukir setiap harinya, masalah muncul yang kita perlu hanyalah cara untuk bertahan, bahagia memang perlu tapi masalah bukan mengharuskan kita untuk lari.
Berbalik dengan keadaan gue sendiri sekarang ini mungkin terlihat sangat baik, Keluarga! Saudara dan suami, gue mendapatkan semuanya sekarang, bahagia harusnya adalah hal pasti tapi nyatanya sampai detik ini adalah beban berat yang masih mengganjal di hati gue, perasaan kecewa orang-orang disekitar gue adalah masalahnya.
Hubungan gue sama Abang juga terlihat berjalan baik tapi kata cinta masih belum bisa gue ucapkan, kenapa? Karena gue memang belum bisa merasakan itu semua, siapa Abang dalam hidup gue? Apa arti Abang dalam hidup? Seberapa besar perasaan Abang? Apa alasan yang membuat gue harus ikut berjuang? Gue akan mulai mencari satu-persatu jawaban untuk semua pertanyaan gue.
Sampai kapan? Butuh waktu berapa lama? Gue gak tahu! Yang gue lakukan sekarang hanya menjalani apa yang gue yakin benar, akhir akan bagaimana? Jodoh akan menemukan pilihannya sendiri.
. . .
"Ma! Bunda kayanya kecewa banget tadi." Tanya gue ke Mama sambilan makan malam, gue gak bisa nutup mata aja dengan perasaan Bunda.
"Mama rasa Bunda Alan memang harus tahu Dek! Kalau sampai Bunda Alan tahu dari orang lain bukannya Bundanya Alan akan merasa semakin kecewa? Lagian pernikahan itu bukan hal yang bisa kalian tutupi untuk waktu yang lama." Mama menghembuskan nafas berat yang membuat gue juga tertunduk pasrah.
"Ma! Boleh Aya tanya sesuatu?" Tanya gue ragu.
"Adek kalau mau tanya ya tinggal tanya Dek! Selama ini juga gak nanya dulu." Mama tersenyum yang membuat gue juga ikut menyunggingkan senyuman gue.
"Ma! Mama memang sama sekali gak keberatan kalau Aya yang jadi menantu Mama? Mama bisa aja nyari perempuan yang lebih baik untuk jadi pendamping Abang." Tanya gue sedikit ragu.
Mama bisa aja mencarikan perempuan yang jauh lebih baik dari gue dalam segala hal untuk Abang, kenapa harus gue? Kekurangan gue itu banyak tapi kekurangan terbesar gue adalah asal usul gue yang gak jelas, apa Mama sama sekali gak mempertimbangkan itu?
"Sewaktu Mama mengangkat Adek menjadi anak Mama, Mama memang sudah berniat menjadikan Adek menantu Mama nantinya, Abang juga tahu." Hah? Mama udah punya rencana kaya gini dari dulu dan Abang tahu?
"Apa Adek belum sadar dengan tatapan kesal Abang setiap kali ada yang bilang kalau kalian bukan keluarga karena tidak mempunyai hubungan darah?" Gue mengangguk pelan.
"Abang selalu bilang apa kalau ada yang ngomong begini Adek juga tahukan?" Gue masih setia mengangguk dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
"Abang akan menikahi Aya!" Cicit gue mengulang apa yang selalu Abang ucapkan.
"Ini adalah janji Abang ke Mama yang sekarang sudah Abang tepati! Ini cara Mama sama Abang menjadikan Adek keluarga yang sebenarnya." Mama mengusap pipi gue.
"Jadi sekarang Adek udah gak punya alasan untuk merasa rendah diri, punya hubungan darah atau tidak, setelah menikah dengan Abang, kita keluarga sesungguhnya sekarang." Setelah ucapan Mama, gue berusaha kerasa menelan makanan gue, bangkit dari duduk gue dan memeluk Mama erat.
"Ma! Makasih!" Cuma ini yang bisa gue ucapkan walaupun rasanya kata terimakasih gak akan pernah cukup.
"Adek gak perlu berterimakasih, Mama yang harusnya berterimakasih karena Adek bersedia menikah dengan Abang dan menjadi menantu Mama." Gue udah gak bisa mengeluarkan sepatah katapun.
"Udah gak perlu nangis begini, lanjutin makannya setelah itu istirahat." Gue mengangguk pelan dalam dekapan Mama
. . .
"Abang kapan pulang?" Tanya gue begitu sadar Abang mengecup kening gue.
"Setengah jam yang lalu." Jawab Abang mendudukkan tubuhnya disamping gue berbaring.
"Abang udah makan? Aya siapin." Memperbaiki rambut gue yang acak-acakan, gue bangkit dari tidur gue dan berniat nyiapin makan Abang.
"Gak papa Dek! Liat jam berapa sekarang, Abang sempat makan dirumah sakit tadi." Gue melirik jam dan sekarang memang udah larut banget.
"Dek! Abang mau tanya sesuatu." Gue tersenyum kecil dengan ucapan Abang, persis kaya gue tadi pas mau nanya sama Mama.
"Abang kalau mau nanya ya tinggal tanya gak harus izin dulu, kenapa?" Gue mengusap wajah gue dan mulai fokus dengan yang ingin ditanyakan Abang.
"Adek nampar Gea tadi siang di kampus?" Senyum gue menguap gitu aja, cepet banget ngelapornya.
"Kak Gea ngadu sama Abang?" Tanya gue balik, walaupun males gue cerita tapi kalau Abang nanya kudu gue jawab juga.
"Iya! Aya nampar Kak Gea, kenapa? Abang mau marah sama Aya?" Gue bahkan males natap Abang, sebegitu pentingnya urusan Kak Gea sampai harus di bahas malam-malam buta begini?
"Abang bukan mau marah sama Adek!" Ucap Abang menggeleng kecil dan tersenyum cukup manis.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Abang cuma mau tanya alasan Adek nampar Gea itu apa?" Abang mengusap bahu gue dengan tatapan yang terlihat sangat tenang.
"Kenapa gak Abang tanya langsung sama Kak Gea waktu Kak Gea ngelapor tadi?" Kesal gue, udah ngadu jangan setengah-setengah.
"Abang tanya sama Adek! Alasannya apa?" Apa harus gue jawab? Gue bahkan gak sanggup ngulang ucapan Kak Gea tadi.
"Aya punya alasan Aya sendiri, Abang tahukan kalau Aya gak akan mukul orang sembarangan?" Abang mengangguk pelan.
"Makanya Abang tanya alasannya sama Adek!" Abang megang erat kedua bahu gue, gue beneran gak sanggup ngulang ucapan Kak Gea tadi.
"Dek! Abang ta_
"Dia nuduh Aya jual diri untuk Abang Aya sendiri apa dia ngasih tahu?"