"Dia nuduh Aya jual diri untuk Abang Aya sendiri apa dia ngasih tahu?" Sebulir air mata gue jatuh tepat didepan mata Abang yang langsung gue usap cepat, tuduhan Kak Gea kali ini beneran ngancurin habis perasaan gue.
Bukankah yang terpenting bagi seseorang itu adalah harga dirinya? Lantas dimana harga diri gue sampai Kak Gea bisa bicara sesukanya hatinya kaya gitu? Belum cukup dengan tuduhan beratnya Kak Gea malah ngucapin kalimat itu depan orang lain.
Sekarang apa yang akan dipikirin sama orang-orang tentang gue? Udah anak angkat, gak tahu diri terus jual diri pula, gue harus ngadepin orang-orang gimana selama di kampus? Berita kaya gini nyebarnya pasti cepet, gue kuliah masih tiga sampai empat semester lagi, gimana caranya gue bertahan?
"Bang! Aya_
"Abang yang salah." Potong Abang langsung memeluk gue.
Dalam dekapan Abang, gue memenjamkan mata pasrah diikuti deru nafas gue yang semakin mencekat, gue berusaha keras menegarkan hati gue, gue berusaha keras menghibur perasaan gue sekarang tapi begitu satu usapan tangan Abang menyentuh kepala gue, gue mulai menangis dalam diam.
"Abang yang salah! Abang yang terlalu menganggap remeh semua ucapan kasar Gea ke Adek selama ini, Abang minta maaf." Gue menggeleng pelan walaupun air mata gue belum bisa tertahan.
"Aya yang harusnya minta maaf, karena menikah dengan Aya, Abang semakin banyak beban, andai Abang menikahi perempuan lain mungkin_
"Abang gak akan berpaling untuk perempuan lain." Potong Abang membekap bibir gue dengan tangannya.
Melepaskan dekapannya secara perlahan, tangan yang semula membekap bibir gue mulai beralih mengusap pipi gue pelan, membantu menghapus air mata gue dengan tatapan yang entah sejak kapan berubah menjadi sangat khawatir.
Menangis dalam diam mungkin adalah kalimat yang tepat untuk menggambarkan keadaan gue sekarang, duduk berhadapan dengan Abang, sesekali menengadahkan kepala karena bulir air mata gue yang belum bisa berhenti juga, gue menangis tanpa mengeluarkan suara, gue gak mau Mama khawatir.
Abang yang juga masih setia menggenggam tangan gue dalam diam, sesekali menghapus air mata gue, mengusap kepala gue dengan tatapan khawatir sekaligus rasa bersalah yang semakin menjadi, kami berdua hanya duduk berhadapan untuk saling menguatkan.
Hampir setengah jam gue menangis dengan Abang yang setia menemani gue, terkadang menangis memang adalah solusi terbaik untuk mengurangi beban, melegakan hati gue sampai gue sadar dengan wajah kelelahan Abang yang baru gue perhatikan sekarang.
"Jauh lebih baik?" Tanya Abang yang gue angguki pelan.
"Resepsi kita akan berlangsung tiga hari dari sekarang!" Gue yang awalnya tertunduk malas langsung menatap Abang kaget setelah ucapannya.
"Abang_
"Dan ini bukan untuk Adek bantah." Potong Abang bangkit dari duduknya, berjalan mengunci pintu dan mematikan lampu kamar gitu aja.
"Ayo tidur! Abang takut Adek sakit."
.
.
."Dek!" Panggil Abang yang hanya gue balas dengan gumaman gak jelasnya gue.
"Dek bangun! Adek gak kuliah?" Tanya Abang mengusap pelan bahu gue, gue menggeleng untuk pertanyaan Abang, gue memang punya kelas pagi ini tapi badan gue rasanya beneran gak enak, kayanya kecapean habis nangis semalaman sama ditambah banyak pikiran juga.
"Bang! Abang kalau mau berangkat ke rumah sakit gak papa, maaf Aya gak sempat nyiapin keperluan Abang hari ini." Gumam gue membuka mata gue perlahan.
Melihat tatapan lemah gue, Abang yang ternyata udah rapi seperti biasa kembali melepaskan dasinya setelah mulai memegang kening dan pipi gue bergantian, sakitkah? Lagi? Nyusahin lagi gue kayanya, banyak pikiran dan kelaparan adalah dua penyebab utama demam gue selama ini.
"Ini yang Abang khawatirin." Gumam Abang yang masih bisa gue denger.
"Abang! Makasih." Cicit gue memaksakan sedikit senyuman, Abang hanya menjitak kepala gue kecil sebagai jawabannya.
Memperbaiki selimut gue, Abang keluar dari kamar dengan tatapan khawatir bercampur kesal, paling Abang turun ngambilin makan atau obat buat gue dan bener aja, gak lama Abang turun, Abang balik masuk ke kamar dengan satu nampan ditangannya.
"Jangan di kompres Abang tahukan?" Protes gue begitu ngeliat ada handuk basah, gue memang sering demam dan gue juga udah sering protes kalau harus di kompres.
"Terus Adek mau gimana? Mau Abang pake cara lain?" Balas Abang terlihat kesal.
"Apapun asal jangan di kompres." Abang mengangguk pelan dan melepaskan kemejanya tetiba.
"Abang ngapain?" Tanya gue bingung.
"Ini cara lain Abang." Abang ikut membaringkan tubuhnya disebelah gue dan memeluk gue erat, ini caranya mah kalau bayi yang sakit baru dipake.
"Abang kira Aya anak kecil apa?" Tanya gue dalam dekapan Abang.
"Anak kecil mana ada yang memenuhi syarat untuk menikah?" Ditanya malah nanya balik, pertanyaan yang seakan menjadi tamparan jawaban Abang untuk pertanyaan gue.
"Memang Abang gak kerja? Dirumahkan ada Mama, Aya gak papa." Gue demam doang gak harus bikin Abang liburkan?
"Adek bisa berhenti nanya? Atau mau Abang pake cara lain untuk ngebuat Adek diem juga?" Dan gue langsung nutup rapat mulut gue, setiap cara yang Abang tawarin ujung-ujungnya selalu mengkhawatirkan.
"Bang! Dulu! Setiap kali Abang bilang ke orang-orang kalau Abang akan menikahi Aya, Aya pikir Abang gak pernah serius, Aya pikir itu cuma cara Abang untuk nutup mulu mereka." Ucap gue buka obrolan.
"Mama bilang apa aja?" Gue tersenyum kecil yang membuat Abang ikut menyunggingkan senyumannya.
"Abang kaya gak tahu Mama, memang yang Mama bilang bener?" Apa Abang tahu kalau Mama memang udah berencana lama menjadikan gue menantunya?
"Dan sekarang kenyataannya Adek istri Abang, Adek punya jawabannya." Gue mengangguk pelan, jadi bener.
"Kalau cinta?" Kali ini gue sedikit ragu untuk pertanyaan gue sendiri.
"Apa Adek belum melihat cinta dari semua sikap dan perlakuan Abang?" Ini jawaban apa pertanyaan balik?
"Bang! Mengenai resepsi kita Abang beneran udah yakin?" Rasanya ngadain resepai tetiba setelah ucapan Kak Gea beneran ngusik pemikiran gue, apa orang gak akan mikir kalau tindakan Abang sekarang malah kaya membenarkan tuduhan Kak Gea?
"Dek! Abang capek mikirin omongan orang lain, bukannya yang terpenting adalah kita berdua bahagia? Abang tahu Adek khawatir, Abang tahu Adek punya pertimbangan tapi bukannya menunda resepsi akan semakin memperburuk keadaan? Mereka semua tahu kita menikah itu adalah pilihan terbaik." Gue belum memberikan jawaban apapun.
"Terlalu mikirin omongan orang juga percuma, kita bener mereka pikir salah, kita salah ya memang menurut mereka kita udah salah, Abang cuma gak mau Adek terlalu banyak mikir dan ujung-ujungnya sakit kaya gini." Gue menghela nafas dalam dan semakin menyamankan posisi gue.
"Kalau Adek sendiri?" Gue sedikit mendongak untuk pertanyaan Abang.
"Aya sendiri apa?" Tanya gue bingung.
"Adek cinta sama Abang?" Gue langsung keselek angin dapet pertanyaan modelan begini dari Abang.
"Aya_
"Bang! Adek udah se_
Mama masuk tetiba dan menggantungan kalimatnya begitu ngeliat keadaan gue sama Abang sekarang, Abang sendiri yang cukup kaget juga langsung melepaskan dekapannya dari tubuh gue, meloncat kaget dari ranjang dengan tangan yang mulai menggaruki kepalanya aneh.
"Ma!" Abang malah tersenyum makin aneh sekarang, gue yang gak sanggup ngeliat ekspresi Abang cuma narik selimut gue nahan tawa, untung pakaian gue lengkap gak kaya Abang.
"Kalian kenapa gak kunci pintu?" Cicit Mama ikut tertawa dan nutup balik pintu kamar.

KAMU SEDANG MEMBACA
Why Him? (End)
Romance"Ma! Masa nikahnya sama Abang sih Ma? Gak memperluas keterunan ini mah, dari kecil sampe tua masa muka Abang juga yang kudu Aya liatin?" "Ma! Mama liatin anak gadis Mama, disuruh nikah udah kaya disuruh masuk medan perang, memang kurangnya Riza dima...