"Riza belum lupa Ma! Mama adalah seluruh dunia Riza dan Aya adalah nyawanya, itu masih berlaku sampai sekarang!" Bang Riza mengusap wajahnya terlihat jelas sangat frustasi.
Gue masih setia berdiri didepan pintu mendengarkan semua pembicaraan Mama sama Bang Riza, entah kenapa ada sedikit rasa bahagia mendengarkan ucapan Bang Riza barusan, gue merasa menjadi orang yang cukup beruntung karena ternyata Bang Riza memang tulus menyayangi gue bukan cuma omongannya doang.
"Kalau memang itu arti Mama sama Aya untuk kamu, apa susahnya merelakan Gea?" Mama baralih mendudukkan tubuhnya diranjang sedangkan Bang Riza hanya berdiri mendengarkan semua pertanyaan Mama.
"Ma, Mama sama Aya memang seluruh dunia dan hidup Riza tapi Gea lain ceritanya Ma, sampai detik ini, Riza masih belum bisa melihat perempuan lain sebagai pendamping terbaik untuk Riza, Aya dan Gea sama pentingnya, tapi sayang dengan cinta itu beda Ma." Heummm! Gue juga tahu kalau sayang sama cinta itu beda.
Kalau memang sayang sama cinta itu sama, itu artinya gue sudah mencintai Abang gue tapi sama halnya apa yang dirasain Bang Riza sekarang, gue juga belum bisa menganggap Bang Riza lebih dari seorang saudara, yang gue rasain sekarang hanya sebatas rasa takut kalau nantinya perasaan gue akan berubah.
"Ma! Riza mohon kasih Riza sama Gea kesempatan! Riza yakin Gea bisa menyayangi Mama sama seperti Aya melakukannya, Gea akan bisa merawat Mama bahkan mungkin jauh lebih baik dari Aya." Mungkin!
Gue kembali menghembuskan nafas berat mendengar ucapan Bang Riza, baru hitungan menit gue ngerasa bahagia untuk semua ucapan Bang Riza tapi sekarang perasaan gue kembali terhempas gitu aja oleh rasa sayang Bang Riza ke Kak Gea, mungkin Kak Gea juga sangat berarti.
"Riza! Mama meminta kamu menikah bukan untuk mencarikan Mama seseorang perawat, Mama minta kamu menikah bukan untuk penjadikan istri kamu perawat Mama, kamu yang Mama pikirkan, Mama mau seseorang yang menjadi istri kamu bisa menjaga, merawat dan menyayangi kamu dengan baik."
"Dan Riza yakin Gea bisa melakukannya." Balas Bang Riza terlihat sangat yakin.
"Apa kamu sangat yakin perasaan kamu sama Aya tidak akan berubah Za?" Tanya Mama bangkit dari duduknya, Bang Riza yang awalnya hanya berdiri menatap Mama juga berjalan mendekat setelah pertanyaan Mama.
"Jawab pertanyaan Mama, apa kamu sangat yakin perasaan kamu tidak akan berubah? Kalau memang iya, baik! Mama akan merestui hubungan kamu dan Gea tapi dengan satu syarat."
"Apa?"
"Kalau memang kamu sangat yakin dengan masa depan! Keluar dari rumah dan hidup dengan Aya selama tiga bulan, hanya kalian berdua, perlakukan Aya selayaknya seorang istri dan biarkan Aya melakukan semua tugasnya sebagai istri kamu juga, kalau dalam tiga bulan perasaan kalian tidak berubah, ceraikan Aya dan Mama akan terima Gea sebagai menantu Mama."
"Ma itu beneran gak mungkin! Gimana bisa Riza sama Aya hi_
"Kalau kamu menolak Mama anggap kamu setuju untuk bersama dengan pilihan Mama seumur hidup kamu, semua pilihannya ada sama kamu." Rasanya udah cukup apa yang gue dengerin sekarang, gue gak perlu masuk atau memperpanjang apapapun lagi, gue udah tahu apa pilihan Bang Riza.
Mengurungkan niat gue untuk masuk ke kamar Bang Riza, gue mengenakan hijab gue dan keluar dari rumah nyetop taksi balik ke asrama, gue hanya meninggalkan selembar kertas bertuliskan gue balik ke asrama di kamar dan gue berharap mereka ngerti, apa mereka akan terus melakukan sesuatu tanpa nanya pendapatkan gue dulu? Bersediakan gue? Keberatankah gue dengan permintaan mereka?
Gue tahu kabur kaya gini gak akan memberikan solusi apapun tapi kalau gue minta izin secara baik, Mama sama Bang Riza gak akan setuju, gue cuma mau nenangin pikiran gue, gue juga harus mikir, gue juga mau yang terbaik untuk masa depan gue, apa gue salah?
Selama perjalanan, gue hanya memandang keluar jalan dengan bulir air mata yang sesekali lolos, gue mengusap air mata gue dan narik nafas dalam menguatkan hati gue, kalau memang hanya dengan ini cara gue membalas budi mereka, gue bersedia ngelakuin itu semua.
"Ci, tolong kasihin ongkos taksi didepan." Ucap gue begitu membuka pintu kamar asrama gue.
"Loh! Lo ke_
"Bayarin dulu taksinya baru lo nanya!" Ici menatap gue kesal dan berlari kecil kelur mgebayarin taksi yang udah nunggu.
Gue melepaskan hijab gue dan membaringkan tubuh gue asal, badan gue yang rasanya baru mendingan malah balik remuk kalau kaya gini caranya, baru sebentar perasaan gue bahagia luar biasa, eh sebentar kemudian perasaan gue jatuh terpuruk, kelindes truk lagi, harga saham aja kaga gini-gini amat perubahannya.
"Ay! Lo kenapa lagi? Bang Riza marah sama lo makanya lo kabur kemari?" Mulutnya Ici bener-bener minta disekolahin.
"Apa pernah Bang Riza marah ke gue sampe bikin gue kabur dari rumah? Gue sama Bang Riza kalau berantem palingan adu mulut doang tapi kali ini berat Ci, masa depan gue jadi taruhannya." Kesal gue kalau inget omongannya Bang Riza sama Mama.
"Memang lo punya masa depan?" Wah kacau ni anak! Gue menatap Ici melongo gak percaya dan beberapa detik kemudian berbalik arah tidur membelakangi Ici, gak sanggup gue ngadepin yang modelan begini juga.
"Becanda Ay becanda, gitu doang ambekan lo, udah cerita ke gue, serius ni lo kenapa? Jelasin dari A sampe Z deh biar gue ngerti, biar gue paham." Ici narik tubuh gue paksa, gue melenguh dan bangkit duduk diranjang menghadap Ici.
"Mama gue udah tahu masalah perjanjian cerai gue sama Bang Riza!" Ekspersi kaget Ici masih standar.
"Terus?"
"Terus Mama kecewa dong! Gue ngerasa bersalah pasti, gue yang berniat nenangin diri eh malah gak sengaja denger perdebatan Bang Riza sama Mama, hitungan menit gue bahagia, menit selanjutnya gue balik jatuh keselokan lagi." Ici masih santai.
"Terus?" Tangan gue udah siap melayang ke kepala Ici sekarang tapi gue tahan, sabar Ay! Temen laknat memang begini.
"Terus Mama debat doang sama Bang Riza ya_
"Gue gak mau tahu reka ulang adegan perdebatan Mama sama Abang lo yang gue tanya intinya aja, singkat buruan." Potong Ici, Ya Allah.
"Intinya, Mama ngasih waktu tiga bulan untuk gue sama Bang Riza hidup serumah, cuma berdua, hidup selayaknya suami istri pada umumnya dan setelah tiga bulan kalau perasaan gue sama Bang Riza gak berubah, Abang boleh menceraikan gue dan Mama akan nerima Kak Gea sebagai menantunya." Gue melenguh pasrah.
Awalnya gue pikir Ici bakalan kaget dengan jawaban gue lah ternyata ni anak malah tepuk tangan kesenengan, gila! Apa yang perlu di banggakan coba dari penjelasan gue barusan? Bagusnya dimana? Keuntungannya di gue apa?
"Otak lo jalan gak sih Ci? Waras kagak sih? Ah lo bener-bener." Gue udah geleng-geleng kepala.
"Lo aja yang bego, gue yang otaknya jarang di pake aja masih bisa ngerti jalan pikiran Mama lo tapi lo malah kabur kemari kagak jelas? Salut gue sama Mama lo, asli, jadi panutan."
"Apaan sih Ci? Maksud lo gimana?" Gue beneran gak ngerti.
"Bang Riza anaknya siapa sih? Anak Mama lokan? Didunia ini yang paling ngerti Bang Riza siapa coba? Mamanyakan? Ini adalah cara Mama lo untuk ngasih kesempatan lo sama Bang Riza sadar dengan perasaan lo berdua, apa gue salah? Kalau jadi cinta bagus, kalau tetep gak cinta, pisah juga bukan masalah besar, toh kalian gak saling cinta." Otak gue masih loading.
"Pergunain tiga bulan yang Mama lo kasih buat mikirin perasaan lo sama Bang Riza sebenernya gimana Ay, itu maksud Mama lo." Dan satu timpukan mendarat di kepala gue.
"Memang gitu ya? Gue gak yakin Ci, asli gue _
"Tok tok." Gue menggantungkan ucapan gue begitu ada yang ngetuk pintu kamar gue.
"Bukain sana." Gue nyuruh Ici yang lebih deket ke pintu, muka kesal Ici beneran keliatan jelas dan gue gak peduli.
"Siapa?" Dan begitu pintu Ici buka, gue langsung menatap orang yang berdiri di ambang pintu kamar gue gak percaya.
"Apa kabur kaya gini bisa memastikan semua perasaan kamu? Kalau memang kita harus membuktikan perasaan kita berdua lebih dulu, baik! Ayo pindah dan hidup selayaknya suami istri pada umumnya Dek."

KAMU SEDANG MEMBACA
Why Him? (End)
Romance"Ma! Masa nikahnya sama Abang sih Ma? Gak memperluas keterunan ini mah, dari kecil sampe tua masa muka Abang juga yang kudu Aya liatin?" "Ma! Mama liatin anak gadis Mama, disuruh nikah udah kaya disuruh masuk medan perang, memang kurangnya Riza dima...