"Lepasin tangan Adik gue." Tetiba Bang Riza dateng mukul Mas Rifki supaya ngelepasin tangan gue.
"Abang!" Kaget gue narik lengan Bang Riza mundur, kalau gak gue tahan, Bang Riza bisa lebih emosi lagi dari ini, gue belum lupa apa yang Bang Riza lakuin sewaktu dia tahu kalau Mas Rifki nyelingkuhin gue dulu.
"Mas!" Kak Gea juga terlihat cukup kaget dengan sikap Bang Riza yang mukul orang.
"Gue udah bilang jangan pernah muncul dihadapan Adik gue lagi apa lo lupa? Sekali lagi gue tahu lo ngusik hidup Adik gue, lo akan tahu akibatnya." Melepas genggaman gue dilengannya, Bang Riza berbalik menggenggam tangan gue erat keluar dari restaurantnya gitu aja.
"Abang! Sakit." Lirih gue karena genggaman Bang Riza yang terlalu kuat.
"Dek! Kamu itu bener-bener, apa kamu akan ngebiarin laki-laki gak tahu diri kaya gitu megang kamu cuma karena gak mau Abang tahu? Abang selalu bilang, jadi Adik Abang itu gak boleh bodoh, siapa peduli kalau Abang mukul orang di restaurant Gea?" Bentak Bang Riza ke gue. Gue yang sadar kalau gue salah hanya diam tertunduk sembari mengusap lengan gue.
"Kamu mikir apa sih Dek? Kamu baik?" Bang Riza mengusap wajahnya dan mulai ikut meriksain lengan gue.
"Heummm, maaf, Aya cuma gak mau Abang ribut lagi." Cicit gue belum berani natap Abang.
"Kalau memang dengan ribut bisa membuat laki-laki itu sadar kenapa enggak?" Bang Riza nyentil kening gue dan mulai mengusap kepala gue seperti biasa.
"Mas! Mas mau kemana? Mas belum makankan?" Tetiba Kak Gea dateng narik tangan Bang Riza, ikut nyusulin kita ternyata, kirain beneran malu pacarnya berantem didepan orang rame.
"Mas memang dateng bukan untuk makan! Kamu laper Dek? Kalau memang laper kita masuk lagi buat makan dulu." Gue menggeleng pelan, mana mau gue masuk lagi setelah acara ribut kaya tadi? Muka gue mau ditaruh dimana?
"Ini semua gara-gara lo, lo itu bisanya cuma bawa masalah untuk Mas Riza tahu gak? Lo yang diselingkuhin kenapa Mas Riza yang perlu turun tangan? Memang lo siapa?" Semprot Kak Gea terlihat sangat tidak suka ke gue, ish.
"Gea!" Mas Riza masih nyoba nenangin pacarnya.
"Apa Mas? Aku benerkan? Dari dulu sampai sekarang dia itu bisanya cuma nyusahin, setiap kali dia bikin masalah kudu Mas yang nyelesain, Mas jangan terlalu ngemanjain dia bisakan? Lama-lama ngelunjak, harusnya udah di angkat anak itu bersyukur bukan malah nyusahin." Lanjut Kak Gea tanpa peduli perasaan gue.
"Anak pungut aja belagu, orang tuanya aja kagak je_
"Gea! Tutup mulut kamu." Bentak Bang Riza juga terlihat sama tidak sukanya.
Entah kenapa kata-kata Kak Gea yang ini cukup menyakiti perasaan gue, gue bahkan hanya bisa menyunggingkan senyuman gue dengan tatapan berkaca-kaca, menengadahkan wajah gue menatap langit hanya berharap air mata gue bisa tertahankan.
"Mas ngebentak aku cuma demi dia? Memang dia siapa? Apa dia lebih penting dari aku?" Tanya Kak Gea tak terima.
"Dia Adik Mas, berapa kali harus Mas ingetin itu sama kamu?" Jawab Mas Riza masih dengan nada suara yang sama.
"Tapi dia itu bukan adik kandung Mas, kenapa Aku harus peduli sama dia kalau nyatanya dia itu gak punya hubungan darah sama Mas? Dia itu cuma_
"Mas gak peduli! Mau punya hubungan darah atau enggak Mas gak peduli, Mas yang membesarkan dia, Mas yang merawat dan menjaga dia apa itu belum cukup untuk membuat Mas layak menjadi Abangnya?"
"Dengar Gea! Mas gak mau denger lagi ucapan kamu yang kaya gini, dia Adik Mas dan selamanya akan seperti itu, siapapun gak punya hak menyakiti Adik Mas, siapapun gak punya hak untuk merendahkan Adik Mas dan itu juga berlaku untuk kamu."
"Masuk Dek!" Bang Riza membukakan pintu mobilnya untuk gue.
Selama perjalanan gue hanya menatap keluar jalan dnegan pemikiran entah kemana? Lagi-lagi karena gue Bang Riza ribut dengan Kak Gea, lagi-lagi karena gue Bang Riza berantem didepan orang rame, itu semua karena gue, apa layak gue dianggep Adik setelah jadi alasan untuk itu semua?
"Dek! Mas minta maaf untuk sikap Gea." Ucap Bang Riza sesekali melirik gue, gue menggeleng pelan sebagai tanda Bang Riza gak perlu minta maaf, gue paham, bahkan mungkin banyak orang diluar sana yang mikir kaya gitu.
Gue masih fokus menatap keluar jalan tanpa berniat mengeluarkan sepatah katapun, gue gak yakin gue bisa nahan isak tangis gue kalau seandainya gue buka suara, langit malam seolah lebih baik untuk jadi penenang hati gue sekarang.
"Kenapa?" Tanya gue karena Bang Riza menepikan mobilnya tetiba.
"Abang gak mungkin ngebawa kamu pulang dengan raut wajah kaya gini Dek, Mama bakalan khawatir, pergunain waktu kamu, Abang tunggu diluar." Jawab Bang Riza keluar dari mobil lebih dulu.
Setelah yakin Bang Riza menatap kearah lain, tangis gue pecah seketika itu juga, hati gue sakit dengan semua ucapan Kak Gea, gue tahu, gue sadar dan gue gak akan pernah lupa dengan status gue yang cuma anak angkat tapi bagaimanapun kata-katanya cukup menyakitkan.
Gue menekuk kedua kaki gue dan menenggelamkan wajah gue disana, menangis dengan cukup terisak dengan harapan setelahnya hati gue bisa sedikit lebih lega, ada saatnya gue beneran berharap kalau gue beneran anak kandung Mama, ada saatnya gue berharap kalau Bang Riza beneran Abang kandung.
Hanya karena status gue terjebak dengan keadaan, hanya karena status gue terus direndahkan, walaupun Mama sama Bang Riza gak pernah memperlakukan gue sebagai anak angkat tapi tetap ada saatnya gue lelah dengan semua ucapan orang diluar sana.
Mereka ngomong kalau gue beruntung tapi disaat bersamaan mereka seolah mengatakan kalau gue harus lebih tahu diri, senyum dan sikap baik yang mereka berikan hanya karena melihat siapa orang yang ada dibelakang gue, gak banyak orang yang bisa nerima orang lain sebagai keluarga mereka tapi Mama sama Bang Riza melakukannya.
Cukup lama gue berlarut dengan isak tangis gue, menegakkan wajah gue dan mulai melirik keluar mencari keberadaan Abang gue sekarang, mendapati Bang Riza duduk bersandar di salah satu bangku kosong membuat gue mengusap air mata gue dan ikut keluar mendudukkan tubuh gue disebelahnya.
"Adek tahu! Walaupun semua orang didunia ini mengatakan hal sama seperti yang dikatakan Gea, Abang dengan Mama gak pernah peduli dengan hal itu, bagi kami, Adek adalah sumber kebahagiaan." Ucap Abang melepaskan jaketnya dan memakaikannya untuk gue.
"Heummm, Aya tahu!" Ucap gue mulai kembali terisak.
"Kalau Adek tahu itu lebih dari cukup jadi jangan dengerin orang lain Dek, mereka gak tahu apapun, meraka gak ngerasain apapun, ini tentang kita, ini keluarga kita, cukup Abang! Mama dan kamu yang tahu." Gue kembali mengangguk pelan.
"Aya minta maaf, gara-gara Aya, Abang berantem sama Kak Gea juga." Lirih gue memperbaiki duduk gue.
"Kenapa Adek harus minta maaf kalau gak ngelakuin kesalahan apapun? Untuk yang tadi memang Gea harus sadar dengan ucapannya, Abang memang cinta sama Gea tapi Adek juga harus tahu."
"Bagi Abang! Keluarga masih diurutan paling pertama."

KAMU SEDANG MEMBACA
Why Him? (End)
Romance"Ma! Masa nikahnya sama Abang sih Ma? Gak memperluas keterunan ini mah, dari kecil sampe tua masa muka Abang juga yang kudu Aya liatin?" "Ma! Mama liatin anak gadis Mama, disuruh nikah udah kaya disuruh masuk medan perang, memang kurangnya Riza dima...