(5)

23.7K 1.9K 59
                                    

"Lo beneran udah nikah sama Bang Riza? Gimana ceritanya? Lo sehatkan Ay? Sadar penuh kan lo?" Cerocos Ici gak pake rem.

Gue menatap lurus papan tulis didepan kelas masih dengan tangan Ici yang nepukin pipi gue seolah belum percaya dengan apa yang baru didengernya, jangankan Ici, gue sendiri masih separuh sadar kayaknya sama status gue sekarang.

"Ay lo serius?" Ulang Ici nepuk pipi gue cukup keras, berasa di gampar gue.

"Sakit we Ci, terus lo kira gue lagi becanda gitu? Haha." Mendadak tawa gue pecah.

"Wah parah lo, kalau lo beneran nikah sama Bang Riza terus itu Kak Alan lo kemanain? Si Gea gimana?Mereka berdua tahu?" Tawa gue sirna seketika mendengar ucapan Ici, kalau Kak Gea dibawa-bawa gue mah paham karena hubungan Bang Riza sama Kak Gea memang serius tapi kenapa Kak Alan terus ikut dibawa-bawa? Gak Kak Gea sendiri, gak Ici pun sama.

"Kak Gea tahu dan akan gue jelasin Ci, kasih gue waktu tapi kenapa lo terus bawa-bawa Kak Alan?Hubungannya sama Kak Alan apaan sih Ci? Kenapa semua orang yang tahu pernikahan gue malah nyerempet ke Kak Alan? Gue nikah apa hubungannya sama Kak Alan coba?" Tanya gue gak habis pikir.

"Lo yakin lo gak tahu? Lo beneran gak tahu atau memang gak mau tahu Ay? Dari dulu gue selalu bilang lo sama Bang Riza miripkan? Ini ni salah satu sifat kalian yang mirip, dingin sama gak peduli sama orang disekitar lo." Gue mengernyitkan kening gue ikut mikir.

"Lo ngatain gue?"

"Gue bukan ngatain tapi itu kenyataan, kebenaran, fakta." Dan Ici balik nepuk pipi gue.

"Sadar Ay sadar, Kak Alan itu suka sama lo, lo kenal Kak Alan berapa lama? Apa lo gak peka sama sekali? Kak Alan bahkan nolak semua perempuan yang ngedeketin dia karena siapa? Itu semua karena lo."

"Lo serius? Memang gue sebagus itu? Memang gue secantik itu?" Memang gue secantik apa sampai bisa bikin Kak Alan nolak semua perempuan yang ngedeketin dia, gue biasa aja malah lebih ke kaya bego-bego lemot.

"Gue serius Ay, tapi kalau soal cantik kudu gue pertimbangin lagi deh, muka lo nambah tua bahkan baru tiga hari kita gak ketemu soalnya." Kampet bangetkan si Ici.

"Terus itu tadi kenapa lo bisa bareng Kak Alan? Udah balik tu orang?" Gue tersenyum aneh sekarang.

"Tua ya gue? Haha." Senyum gue makin kaya orang bego kayanya.

"Gila beneran kayanya lo!"
.
.
.

"Sekarang jelasin." Ucap gue begitu kita berdua duduk di tempat makan biasa, tempat Bang Riza sama Kak Gea ketemu semalem juga pastinya.

"Bunda sakit, sempat dirawat empat hari di RS itu makanya Kakak gak ngabarin apapun ke kamu, kalau kamu pulang ke rumah berarti memang ada hal pentingkan? Kakak gak mau kamu khawatir." Gue menatap Kak Alan gak percaya sekarang, hah! Kak Alan ngilang karena Bunda sakit dan gak ngabarin gue? Wah parah.

"Terus sekarang Bunda gimana? Harusnya Kakak ngomong dari tadi jadi ngapain kita duduk disini? Mending nemuin Bunda." Kak Alan tersenyum kecil dengan jawaban gue.

"Kenapa senyum? Ada yang lucu memangnya?" Tanya gue kesal.

"Karena Kakak sama Bunda tahu reaksi kamu bakalan kaya gini makanya Kakak gak ngomong apapun, Bunda juga gak mau kamu kepikiran, sekarang Bunda jauh lebih baik jadi kamu gak perlu khawatir."

"Kakak yakin? Ini gak cuma omongan Kakak doangkan? Bunda beneran udah baikkan? Mending kita pulang."

"Bunda baik Aya, makan dulu setelahnya Kakak anterin kamu pulang."

"Pulang ke rumah Kakak tapi_

"Heum, kamu ngapain pulang ke rumah Kakak? Kaya menantu aja khawatir sampai sebegitunya." Gue tersenyum aneh dengan ucapan Kak Alan.

"Ke rumah Kakak mau nemuin Bunda bukan mau nemuin anaknya, hubungannya menantu apaan?" Gue mengehembuskan nafas berat dan mulai menyuap makanan gue.

.
.
.

"Assalamualaikum!" Ucap gue begitu menginjakkan kaki dirumah.

"Waalaikumsalam." Balas Bang Riza yang membuat gue cukup kaget, tumben baru jam segini udah dirumah? Biasanya juga menjelang mangrib atau gak lepas Isya baru keliatan wujudnya.

"Mama kemana Bang?" Tanya gue masih mengusap dada, aneh aja rumah berasa sepi begini, Mama keluarkah?

"Jam berapa sekarang? Bukannya kamu cuma punya satu kelas?" Tanya Bang Riza bahkan gak menjawab pertanyaan gue, ditanya malah ditanya balik.

"Heumm tadi ikut Kak Alan kerumahnya, Bunda sakit jadi Aya jenguk." Jelas gue gak terlalu ambil pusing, gue bahkan berniat ninggalin Bang Riza yang duduk disofa dan beranjak naik masuk ke kamar gue sebelum tangan Bang Riza mendadak narik tas gue.

"Kenapa?" Tanya gue melirik Bang Riza biasa.

"Kamu pacaran sama Alan?" Gue tersenyum kecil dengan pertanyaan Bang Riza, tumben Bang Riza nanya masalah pribadi gue? Biasanya gak mau tahu.

"Kenapa? Harus gitu Aya jawab?" Balas gue nanya balik, gue rasa masalah pribadi gue gak harus gue bahas sama Bang Riza, kita berdua ngurus urusan masing-masing dan itu perjanjiannya.

"Gak perlu sih, Abang cuma ngingetin, gak semua laki-laki bisa dipercaya, Abang gak mau kamu berakhir seperti satu tahun lalu." Gue mengangguk pelan, kejadian setahun yang lalu, kejadian disaat gue ditinggalin sama pacar gue yang ternyata selingkuh sama adik kelas gue sendiri.

"Heumm, Aya tahu jadi Abang gak perlu khawatir." Gue siap naik masuk ke kamar gue sebelum lagi-lagi Bang Riza narik tas gue.

"Apaan sih Bang? Aya belum sholat asar ini." Kesal gue, ngapain narik tas gue disaat gue mau masuk ke kamar? Kalau mau ngomong ya ngomong terus.

"Apa ada yang salah dari seorang Abang khawatir sama Adiknya? Terlebih kalau adiknya itu perempuan?" Gak ada yang salah sih tapi sekali lagi ini masalah pribadi gue jadi jangan ikut campur.

"Gak ada yang salah tapi sikap Abang itu, ah udah lah, pokoknya Abang gak perlu khawatir, yang perlu Abang khawatirin itu diri Abang sendiri, buruan nemuin cara ngebujuk Mama buat nerima Kak Gea, okey?" Gue tersenyum cukup manis dan asli kudu gigit jari karena tas gue yang belum di lepas.

"Apaan lagi sih Bang?" Gue udah gak tahu harus kaya apa ngadepin kelakuan Abang gue sekarang.

"Gea nemuin kamu? Ucapan Gea jangan terlalu diambil hati, Gea gak sejahat itu." Gue mengusap wajah gue dan balik menyunggingkan senyuman termanis menurut gue.

"Aya tahu Abang jadi Abang gak perlu khawatir, lagian Aya juga harus baikkan sama Kak Gea, gimanapun nantinya Kak Gea bakalan jadi Kakak Ipar Aya."

"Okey, Abang akan cari cara secepatnya untuk ngebujuk Mama jadi kamu sabar sebentar, kalau semuanya beres, kita akan balik kaya dulu." Bang Riza melepaskan tas gue, bangkit berdiri mengusap kepala gue sekilas dan berjalan menaiki tangga lebih dulu.

Why Him? (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang