(4)

23.7K 2K 66
                                    

"Oya, semalem Kakak ketemu Bang Riza sama Gea di restaurant tempat biasa." Gue tersenyum mendengar ucapan Kak Alan, udah ketebak kalau Bang Riza pasti nemuin Kak Gea.

Sampai detik ini gue sendiri gak tahu apa yang gue rasain, setelah menikah bohong rasanya kalau gue bilang gue bahagia karena nyatanya itu gak mungkin, sama halnya perasaan gue ke Kak Alan yang gak bisa gue pastikan, perasaan gue ke Bang Riza juga sama.

Apa gue cemburu ke Kak Gea? Mau terpaksa atau enggak nyatanya Bang Riza harusnya milik gue sekarang tapi aneh juga rasanya menggunakan kata cemburu untuk perasaan gue sekarang, kenapa? Karena gue gak cinta sama Bang Riza, untuk sekarang gue menyayangi Bang Riza selayaknya abang kandung gue.

Terlepas dari hubungan kita berdua sekarang, gue belum bisa merubah pandangan gue setiap kali natap Bang Riza, apa pantas gue menggunakan kata cemburu untuk lelaki yang gak gue cinta? Tapi situasi gue sama Bang Riza sekarang juga sangat enggak nyaman untuk membayangkan dia keluar berdua dengan perempuan lain.

"Ay! Kenapa malah bengong?" Kak Alan nepuk lengan gue.

"Kakak percaya takdir?" Tanya gue tanpa sadar, hidup gue seakan dipermainkan dengan satu kata itu.

"Bertemu kamu adalah salah satu takdir Kakak dan sekarang kamu tanya apa Kakak percaya takdir? Tentu jawabannya iya karena kalau Kakak menolak percaya itu artinya Kakak menolak kehadiran kamu juga." Gue mengangguk pelan.

"Apa pernikahan gue sama Bang Riza juga termasuk takdir?" Gumam gue.

"Kamu ngomong apa Ay?" Kak Alan menatap gue bingung dan lagi-lagi gue hanya bisa menyunggingkan senyuman gue.

Pernikahan gue sama Bang Riza apa penting untuk Kak Alan tahu? Gue juga belum sempat nanya ke Bang Riza masalah ini, mungkin Bang Riza gak mau orang-orang tahu gue siapanya sekarang, cukup mereka tahu kalau gue adalah adik dari seorang Riza.

"Oya dirumah kamu lagi ada acara apa? Bukannya kamu pulang kalau memang ada acara? Kali ini apa?" Baru juga gue pikirin, Kak Alan malah nanya hal kaya gini, ya memang semenjak kuliah, gue lebih milih tinggal di asrama kampus dan pulang kerumah kalau memang ada acara atau hal penting aja.

"Cuma syukuran." Jawab gue gak sepenuhnya bohong, kemarin memang lebih kaya syukuran kecil, syukuran pernikahan gue sama Bang Riza maksudnya.

"Untuk?"

"Fokus ke jalan Kak, Aya masih muda." Gue terpaksa mengalihkan pembicaraan, kalau dilanjutin gue gak bisa menjamin bakalan melebar sampai kemana.

Hampir dua puluh menitan akhirnya kita berdua sampai diparkiran kampus, awalnya gue turun dengan perasaan jauh lebih baik tapi nafas gue kembali tercekat begitu ngeliat Kak Gea yang juga baru dateng dianter Bang Riza.

"Loh Mas, bisa barengan gini?" Tanya Kak Alan menyunggingkan senyumannya, ah mungkin ada yang belum tahu, Kak Gea itu seangkatan sama Kak Alan jadi dia juga Kakak letting gue.

"Heummm!" Gumam Bang Riza mengiyakan.

"Pantes muka lo ceria banget Ge, baru ketemu semalem eh sekarang pake dianter jemput pula, terang-terangan banget nyebar cintanya Mas?" Gue hanya berusaha menyunggingkan senyuman gue, bukannya pemandangan kaya gini udah biasa gue liat? Terus apa masalahnya?

"Apa lo beda? Bukannya lo juga memperlakukan Aya dengan cara yang sama?" Balas Bang Riza dengan tatapan datar.

"Keliatan banget ya Mas? Biar cepet dapet lampu ijo dari Tante." Ini ngomongnya kenapa makin gak jelas? Lampu ijo? Dikata jalan.

"Tapi kayanya lo akan kesulitan dari pihak Abangnya, Gue gak gak akan melepaskan Aya semudah_

"Kak, Aya masuk sekarang ya?" Pamit gue motong ucapan Bang Riza, gue gak ngurusin urusan dia jadi ngapain dia ngurusin masalah gue? Males gue ngeladenin yang beginian jadi jangan plin-plan.

"Kamu cuma punya satu kelaskan? Tunggu Kakak ditempat biasa, Kakak jelasin yang mau kamu tahu." Gue mengangguk pelan.

.
.
.

"Ay!" Gue berbalik dan mendapati Kak Gea yang berlari kecil kearah gue, Kak Gea ngapain?

"Kenapa Kak?" Tanya gue tersenyum tipis.

"Asal kamu tahu, Kakak gak peduli sekarang kamu siapanya Mas Riza tapi inget, jangan mengharapkan hal lebih dari Mas Riza, cepat atau lambat Mas Riza tetap akan jadi milik Kakak." Gue mengangguk pelan.

"Aya tahu jadi Kakak gak perlu khawatir, ada lagi? Aya punya kelas pagi soalnya." Gak mendapatkan jawaban apapun gue rasa gak ada yang perlu dibahas lagi.

"Jangan jatuh cinta sama Mas Riza." Gue menghela nafas dengan ucapan Kak Gea sekarang.

"Apa Kakak juga ngomong kaya gini sama Abang? Kalau memang iya Aya rasa Kakak gak perlu khawatirin apapun, karena mau Aya suka atau enggak, selama Abang setia semuanya akan percuma."

"Kak, selama ini apa Aya pernah jadi penghalang untuk hubungan Kakak sama Abang? Enggakkan? Dan untuk sekarang Aya rasa semuanya juga cukup jelas, Abang akan kembali ke Kakak kalau memang itu takdirnya."

"Apa Kakak gak percaya sama Abang?" Tanya gue menatap Kak Gea dengan senyuman, gue gak punya alasan untuk membenci Kak Gea.

"Kamu yang gak bisa dipercaya." Jawab Kak Gea membalas tatapan gue.

"Kalau itu yang jadi masalahnya Kakak gak perlu khawatir, kalau memang tiba waktunya Kakak sama Abang nikah, hubungan Aya sama Abang akan kembali kaya dulu."

"Apa karena Alan? Apa Mas Riza tahu kalau adiknya menyimpan rasa yang begitu dalam untuk lelaki lain?" Gue tersenyum, apa kalau Abang tahu semuanya akan berubah? Abang tetap gak akan peduli.

"Kak Alan gak ada hubungannya dengan kita jadi jangan melibatkan orang-orang terdekat Aya dalam masalah kita, Kak Alan gak perlu tahu apapun." Gue gak mau Kak Gea melibatkan Kak Alan untuk menjadi alasan perpisahan gue sama Bang Riza nantinya.

"Oke! Setidaknya Kakak bisa tenang kalau ternyata kamu gak punya perasaan apapun untuk Mas Riza, harusnya kamu sadar diri, anak pungut tetap orang lain." Gue mengangguk pelan.

"Aya tahu pasti itu." Tersenyum meremehkan, Kak Gea meninggalkan gue begitu aja dengan tatapan yang entahlah, gue sendiri gak ngerti.

"Semua harusnya lebih baik." Gumam gue tertunduk, waktu akan cepat berlalukan? Gue hanya perlu bersabar sampai Bang Riza akan melepaskan gue kalau tiba waktunya.

Why Him? (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang