(14)

18.4K 1.6K 78
                                    

"Apa kabur kaya gini bisa memastikan semua perasaan kamu? Kalau memang kita harus membuktikan perasaan kita berdua lebih dulu, baik! Ayo pindah dan hidup selayaknya suami istri pada umumnya Dek." Ucap Bang Riza dengan senyum yang sangat menenangkan menurut gue.

" Ucap Bang Riza dengan senyum yang sangat menenangkan menurut gue

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ayo pindah Dek!" Ulang Bang Riza masih dengan senyuman yang sama.

"Abang kenapa bisa masuk? Setahu Aya laki-laki gak boleh masuk sembarangan Bang!" Kesal gue bangkit dari ranjang, gak semua orang bisa masuk, bahkan untuk saudara aja cukup ketat aturannya kalau mau berkunjung.

"Apa Abang laki-laki sembarangan? Abang baru aja mempergunakan status Abang sebagai suami kamu untuk pertama kalinya." Bang Riza bahkan menyunggingkan senyumannya sekarang.

"Bang! Abang itu_

"Ikut Abang pulang Dek! Bawa barang kamu seperlunya, Abang tunggu diluar." Gak nunggu jawaban gue, Bang Riza menutup balik pintu kamar gue sama Ici gitu aja.

"Yang barusan beneran Bang Riza, Ay? Gue gak pernah tahu kalau Abang lo punya sisi semanis ini, apa ini yang diliat Gea dari Bang Riza? Pantes mau." Celutuk Ici belum sepenuhnya sadar kayanya.

"Ci, harus gitu gue ikut Abang? Tar kalau keadaannya makin runyam gimana?" Gue masih belum yakin harus ikut sama Bang Riza apa enggak.

"Ya Allah! Ay, ayolah, gue kan udah jelasin tadi, gak ada salahnya nyoba mastiin perasaan lo, lo jangan terlalu mikirin orang lain bisakan? Pikirin dulu diri lo sendiri baru urus perasaan orang lain, udah sini gue bantuin beberes barang lo buruan tar Bang Riza kelamaan nunggu juga kasian, gak kasian lo sama suami?"

"Enggak!" Jawab gue mulai beberes.

Berselang hampir dua puluh menitan, gue keluar dengan satu koper yang dibantu bawain sama Ici, mendapati Bang Riza yang ikut turun dari mobilnya mengambil alih barang gue juga cukup membuat gue narik nafas dalam, apa yang gue lakuin ini udah bener?

"Hati-hati sama jagain Aya ya Bang! Mukanya masih pucet." Ucap Ici nyikut lengan gue, apaan coba? Ngomong sama Bang Riza kenapa malah nyikut gue? Kan aneh.

"Kamu juga hati-hati, Uky cukup berpengalaman asal kami tahu." Balas Bang Riza untuk ucapan Ici, gue sama Ici sepakat saling tatap sekarang.

"Kalau ngadepin Mas Uky doang mah Ici lebih berpengalaman Bang." Bang Riza mengangguk pelan dan masuk ke mobilnya lebih dulu, Ici juga langsung nyubit lengan gue karena kesal diabaikan Bang Riza, aduh Ici kaya gak kenal Bang Riza aja, udah dianggukin aja harusnya Ici bersujud syukur, kalau sama orang lain mah boro-boro, paling cuma diliatin doang.

"Lo juga hati-hati, kalau galau cukup kabarin gue jangan malah kabur, bosen gue ngeliat muka lo selalu muncul tetiba." Kali ini gue yang nyikut lengan Ici, kalau ngomong jarang benernya ni anak.

.
.
.

"Mau makan dulu?" Tawar Bang Riza tetiba, gue yang memang lebih milih fokus merhatiin jelan hanya menoleh dan mengangguk pelan untuk pertanyaan Bang Riza.

Setelah ajakan Bang Riza untuk pindah, mau sadar atau enggak, suasana diantara kita berdua beneran berubah canggunh, kaya gini aja, setelah gue iyain ya selebihnya hening, gue fokus ke arah lain dan Bang Riza fokus dengan kemudinya, sangking heningnya ni, kita udah di depan tempat makan aja gue baru sadar.

"Abang yakin mau makan disini?" Tanya gue yang jujur aja gak yakin, dari sekian banyak tempat kenapa kita harus dateng ditempat makan keluarga Kak Gea?

"Abang yang gak yakin atau kamu yang gak yakin Dek? Udah jangan kebanyakan mikir, Abang juga harus bicara sama Gea." Dan gue melenguh pasrah, pantes ngajak makan, ternyata ada maksudnya.

"Mas!" Gue sama Bang Riza sepakat mengalihkan pandangan kita berdua dan udah ada Kak Gea yang melambaikan tangan dengan senyum yang cukup merekah.

"Maaf Mas lama, kamu udah pesen makan?" Gue hanya tersenyum canggung kaya obat nyamuk kalau duduk diantara mereka berdua, Abang pun satu, kenapa harus ngajak gue kalau ketemu Kak Gea sih? Kan suasanya jadi makan canggung, ibarat katanya ni, Bang Riza lagi duduku diantara istri sama pacarnya.

"Kamu mau makan apa Dek?" Masih inget nanyain gue ternyata?

"Apa aja Bang, samain aja." Gue tersenyum tipis dan mengeluarkan handphone gue nyari kesibukan.

"Mas mau bicara sama kamu." Ucap Bang Riz ke Kak Gea, gue mulai ngotak-ngatik handphone gue gak mau nimbrung, kalau bisa pindah meja, pindah dah gue.

"Sama kamu juga Dek!" Lanjut Bang Riza mengantongkan handphone gue juga, gue yang memang gak tahu apapun menatap kesal Bang Riza dan mulai ikut mendengarkan.

"Mas akan tinggal berdua sama Aya untuk tiga bulan kedepan Ge, kalau dalam tiga bulan Mas gak akan jatuh cinta sama Aya, Mama akan setuju menerima kamu jadi menantunya." Ucap Bang Riza menggenggam tangan Kak Gea.

"Mas! Mas becanda? Gea gak setuju, ini tu cuma akal-akalan Mama kamu aja untuk nentang hubungan kita, atau lo yang minta Mamanya Bang Riza ngasih persyaratan kayq gitu? Jawab lo!" Tuduh Kak Gea ke gue.

Gue yang mendapatkan tuduhan gak beralasan Kak Gea jelas cukup kesal, udah dibantuin bukannya terima kasih tapi malah nuduh sama bisanya ngancem, ini ni alasannya Kak Gea sama Bang Riza bisa cocok, sama-sama egois.

"Ge! Ini sama sekali gak ada sangkut pautnya sama Aya! Kita harusnya berterimakasih karena Aya uah mau ngebantuin kita bukannya malah nuduh Aya yang bukan-bukan, bagaimanapun Aya itu Adik Mas, apa gak bisa kamu pengertian sedikit?" Bujuk Bang Riza nenangin.

"Tapi Gea tetap keberatan Mas, gimana kalau Mas nanti jatuh cinta sama Aya? Atau gimana kalau Aya yang jatuh cinta sama Mas? Mas bisa jamin semuanya?" Ternyata ada yang ditakutin sama Kak Gea juga, ini juga yang selalu jadi ketakutan gue.

"Itu gak akan sayang, Mas gak akan punya perasaan apapun sama Aya, Aya juga gitu, iya kan Dek?" Bang Riza mengusap kepala gue dengan senyuman terlihat jelas diwajahnya.

"Heummmm!" Gumam gue ikut menyunggingkan senyuman gue ala kadarnya.

"Bang! Aya ke toilet sebentar." Izin gue, sebenernya gue terlalu males ngeliat Bang Riza ngebujuk Kak Gea sama handphone gue juga disita, mending gue ke toilet natap keran air, lebih bisa bikin tenang.

"Loh Aya! Ngapain disini?" Gue yang baru aja keluar dari toilet cukup kaget dengan kehadiran Mas Rifki, ah kenapa kudu ketemu mantan gue dimari? Udah selingkuh tapi masih gak tahu diri berani nyapa gue seolah gak punya salah apapun.

"Apa kabar Ay?" Tanyanya lagi.

"Cukup baik sebelum ketemu Mas disini." Gue menatap Mas Rifki gak suka, lagian ni orang gak punya malu apa? Duh kalau sampai Bang Riza tahu Mas Rifki ada disini, abis gue.

"Mau makan ba_

"Duh permisi Mas, Aya gak punya waktu." Begitu gue berniat ninggalin Mas Rifki, lengan gue digenggam Mas Rifki cukup kuat yang membuat gue meringis kesakitan.

"Mas lepasin, gak baik kalau orang liat." Ucap gue nyoba ngelepasin diri dari Mas Rifki.

"Lepas? Orang-orang gak akan ada yang peduli Ay, mereka cuma akan mikir kalau kita berdua hanya sepasang kekasih yang lagi ribut, siapa yang berani ikut campur?" Senyum Mas Rifki cukup membuat gue kesal sekarang.

"Mas lepas, lepas Mas atau Aya teriak sekarang?" Teriak sama dengan jadi perhatian orang, walaupun mali tapi itu lebih baik dari pada abis sama ni orang.

"Coba aja teriak kalau kamu berani! Bukannya Riza ada didepan? Apa kamu mau ngebuat Riza malu cuma karena narik perhatian orang lain disini? Adiknya ketahuan ribut di restaurant pacarnya sendiri? Wow! Ayo co_

"Lepasin tangan Adik gue." Tetiba Bang Riza dateng mukul Mas Rifki supaya ngelepasin tangan gue.

Why Him? (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang