Why Him? (End)

(37)

"Saat ini! Detik ini? Abang mau semua orang tahu kalau Adek milik Abang seutuhnya." Gue langsung tertunduk dan menutup wajah gue pake tangan, Ya Allah, gak nyangka sama sekali gue kalau Abang ternyata membalas perasaan gue dari dulu.

"Kenapa nutup muka Dek?" Tanya Abang mengusap kepala gue.

"Ya Aya malu, lagian Abang juga kenapa blak-blakan banget? Harus diperjelas sampai sebegitunya?" Cicit gue masih belum berani natap Abang.

Gue bahagia? Sangat! Tapi siapa yang gak malu kalau ternyata kita baru tahu kalau orang yang kita suka rupanya tahu kita suka sama dia dari dulu, diem anteng seolah perasaan gue gak terbalaskan, nahan diri karena takut kehilangan, harusnya kalau gue tahu kaya gini akhirnya udah dari dulu gue akuin perasaan gue.

"Lucu banget Istrinya Abang." Ucap Abang kembali membawa gue dalam dekapannya, malu banget gue.

.
.
.

"Jadi kalian punya kabar apa untuk Mama?" Tanya Mama begitu gue sama Abang duduk dihadapan Mama dengan tangan bergandengan.

"Mama tahu aja!" Abang malah tersenyum malu, ya gimana Mama gak tahu kalau tangan gue gak dilepas kaya gini?

Setelah deklarasi cinta gue sama Abang tersampaikan, pagi ini Abang langsung ngebawa gue nemuin Mama untuk membuat pengakuan sekali lagi, gue menolak tapi semangat Abang keliatan jelas dan gue gak tega dan disinilah gue sama Abang sekarang.

"Jadi apa?" Ulang Mama lagi.

"Riza sama Adek udah mutusin untuk membatalkan rencana tiga bulan itu Ma, Abang gak akan melepaskan Adek mulai sekarang." Abang udah pake semangat empat lima sedangkan gue tertawa tertunduk gak kuat sama ekspresi Abang.

"Mama udah tahu! Keliatan jelas diwajah kalian berdua." Jawab Mama malah tertawa menatap gue sama Abang bergantian.

"Karena Mama sadar dengan perasaan kalian makanya Mama ngajuin syarat kalian menikah kaya gitu, kalau gak dengan cara Mama paksa, kalian berdua akan terus menolak kenyataan dan narik menjauhi satu sama lain." Senyum gue hilang seketika berganti dengan raut wajah gak percaya, jadi Mama udah tahu dari dulu juga?

"Ma!" Kesal gue melepas paksa tangan Abang dan berpindah duduk disebelah Mama.

"Mama udah pernah bilang kalau Mama gak mau kehilangan salah satu dari kaliankan Dek? Kalau bukan dengan cara ini, mungkin sampai sekarang Adek akan tinggal di asrama untuk menghindari dari Abang." Gue memeluk Mama setelah ucapannya.

"Dan kamu Bang! Udah tahu Adiknya pindah karena takut Abangnya marah, bukannya jujur kalau Abang juga suka, ini malah ikut-ikutan gak tahu apapun." Ucap Mama menatap Abang kesal.

"Tapi sekarang udah ngaku kan Ma jadi gak perlu di bahas lagi." Abang ikut bangkit berpindah duduk disebelah Mama.

"Way to you, Dek!" Ish dasar.

.
.
.

Why him? Gue juga gak tahu kenapa harus Abang orangnya, andai gue bisa mutar ulang waktu dan kembali memilih pasangan hidup, mungkin gue akan tetap memilih Abang gue sendiri lagi sebagai suami gue nantinya tapi jangan pernah tanya kenapa? Bukankah cinta datang tanpa perlu alasan?

Andai kata gue harus memberikan alasan untuk semua perasaan gue, mungkin kata takdir akan selalu menjadi jawaban paling tepat untuk semua pertanyaan gue, kata takdir terdengar sangat unik dan indah dalam waktu sekaligus, kata ini juga yang dengan suksesnya membuat hari-hari gue selalu jadi tak terduga.

Bertemu dengan Abang, menjadi Adik Abang sampai sekarang menikah dengan Abang, semua adalah hal tak terduga yang gak pernah gue sangka, perasaan gue terbalaskan juga sebuah takdir, perasaan gue terbalaskan dari dulu adalah suatu kebahagian yang gak pernah gue duga.

Ah kenapa gue gak jujur dari dulu? Pertanyaan kaya gini selalu gue sesali tapi kalau gue pikir lagi, semua itu datang diwaktu yang tepat, mungkin sekarang adalah waktu terbaiknya, cepat atau lambat, kalau jodoh gue gak bakalan kemanakan?

"Adek ngapain?" Tanya Abang ikut mendudukkan tubuhnya disebelah gue, merangkul bahu gue dan mengecup kening gue sekali.

"Ngelist daftar tamu Bang! Coba Abang liat, masih ada yang belum ada gak?" Ini cuma tinggal tamu gue sama Abang, kalau yang lain udah masuk list Mama.

"Gea?" Hah? Kak Gea?

"Abang mau ngundang Kak Gea?" Tanya gue ulang, gue gak salah dengerkan? Gak salah orangkan? Kenapa Abang malah mau ngundang Kak Gea?

"Adek ngundang Alankan?" Tanya Abang balik, memang hubungannya gue ngundang Kak Alan sama Abang ngundang Kak Gea apaan?

"Alan ataupun Gea itu sama! Mereka kita undang untuk memperjelas hubungan kita, cara terbaik untuk memutus harapan mereka, buat mereka ngerti kalau mereka udah gak punya kesempatan sama sekali." Memang harus? Bukannya apa-apa tapi ngundang Kak Gea beneran gak perlu menurut gue.

"Bang! Tapi Abang tahukan gimana kejadian Aya berantem sama Kak Gea beberapa hari yang lalu?" Tanya gue lagi, Abang belum lupakan gimana gue nampar Kak Gea karena mulut asalnya?

"Lalu Alan apa bedanya?"

"Kalau Kak Alan itu anak temennya Mama Bang, gak mungkin gak diundangkan?" Jelas gue, ngundang Mama Kak Alan udah pasti Kak Alan dateng walaupun gak gue yang undang.

"Menurut Abang ini yang terbaik tapi kalau Adek keberatan juga gak papa, Abang ngerti." Dan pada akhirnya gue nurut sama Abang.

"Abang udah siap belum?" Tanya gue memperhatikan Abang, kenapa masih pake pakaian rumahan begini?

"Memang acaranya mulai jam berapa?" Tanya Abang masih santai, ya acaranya mulai selepas Isya tapi gak mungkin kita berdua dateng selepas Isya jugakan? Bisa ngamuk Ici kalau gue telat.

"Aya telat, Ici bisa ngamuk Bang." Gue nepuk paha Abang nyuruh beberes duluan, kirain gue udah beberes dari tadi makanya gue duduk santai meriksain list tamu dulu.

"Dek! Tolong handuk Abang." Teriak Abang dari dalam kamar mandi, memanglah ni orang tua satu, mandi bukannya handuk langsung dibawa sekalian.

"Nah! Buruan." Memberikan handuk Abang, gue meletakkan pakaian Abang diatas ranjang dan turun kebawah lebih dulu, Mama kayanya juga udah siap.

"Abang mana Dek?" Tanya Mama begitu ngeliat gue nurunin tangga sendirian.

"Masih mandi Ma." Ucap gue tersenyum kecil, ini ni efek nikah dijodohin, gak pake tunangan dulu, giliran temen tunangan pada gak tahu harus dateng jam berapakan?

Sekitaran dua puluh menitan gue sama Mama nunggu, Abang turun dengan pakaian yang udah rapi, jangan tanya muka gue sama Mama sekarang, harusnya Abang yang nunggu lah ini malah gue sama Mama.

"Duh duh mukanya pada kenapa? Maaf Abang telat." Abang mengecup kening Mama dan mengusap kepala gue dengan senyum manisnya.

"Udah buruan berangkat kalau Abang gak mau Ici sama Mas Uky bales telat dateng di acara resepsi kita."